Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Rahasia di Balik Kipas Angin Anggun

Gambar
Pagi itu, udara di Kampung Cendol terasa lebih tenang dari biasanya. Tapi itu bukan karena angin bertiup lembut atau ayam-ayam malas berkokok—melainkan karena kipas angin buatan tahun 1982 milik Bu Wagini tiba-tiba berhenti berputar. Sontak, seisi kampung gempar. Namun yang lebih menggemparkan adalah kemunculan seorang wanita misterius di warung kopi Wak Darso. Ia muncul begitu saja, seperti mie instan yang hanya butuh tiga menit. Namanya: Nadia Sarasvati. Kulitnya putih bersih seperti kertas struk belanja yang belum sempat masuk dompet. Matanya tajam, bibirnya merah delima, dan rambutnya acak-acakan seperti habis debat sama kucing. Wak Darso ternganga. Saking kagetnya, ia menumpahkan kopi ke celananya sendiri. "Aduh, panas! Ini kopi atau lava Gunung Merapi?!" Nadia hanya tersenyum tipis, lalu berkata dengan suara yang dalam namun lembut, "Saya mencari seseorang... dan sebuah kipas angin." Warga Kampung Cendol pun langsung bergosip. "Jangan-j...

Rahasia Bunga yang Tertinggal (lanjutan)

Gambar
Hari-hari berikutnya, Livia dan Raka semakin sering bertemu di taman tua itu. Percakapan mereka ringan, mulai dari cerita makanan favorit hingga keisengan siapa yang bisa menebak jumlah merpati yang datang sore itu. Namun di balik tawa mereka, Livia menyimpan sesuatu yang sulit diucapkan. Suatu sore, ketika langit mulai berwarna ungu, Raka akhirnya bertanya, "Livia… kenapa selalu krisan putih? Seperti ada sesuatu yang kamu sembunyikan." Livia terdiam, menunduk memandangi buket di pangkuannya. "Krisan ini… bukan sekadar bunga," katanya pelan. "Setiap kelopaknya mewakili janji yang belum kutepati." Raka mengerutkan kening. "Janji pada siapa?" Livia menarik napas panjang, lalu tersenyum kecut. "Seseorang yang sangat berarti. Dan aku belum siap kalau kamu tahu semuanya sekarang." Raka tidak mendesak, hanya berkata, "Aku akan menunggu. Sama seperti aku penasaran dengan cerita yang belum selesai itu." Livia ter...

Rahasia Bunga yang Tertinggal

Gambar
Sore itu, langit mulai berwarna jingga, seolah malu-malu untuk beranjak ke malam. Di tepi taman tua yang jarang dikunjungi orang, duduklah seorang gadis dengan gaun merah menyala. Di pangkuannya, setangkai besar bunga krisan putih berdesakan, seakan mereka juga ingin ikut berbicara. Gadis itu, yang semua orang kenal sebagai Livia, tampak seperti sedang menunggu sesuatu—atau seseorang. Namun, dari tatapan matanya, yang ada hanyalah bayangan kenangan yang tak ingin dia lepaskan. "Bunga ini terlalu berat, atau aku yang terlalu lemah?" gumam Livia sambil tersenyum tipis. Seekor kucing liar mendekat, mengendus ujung gaunnya, lalu pergi begitu saja, mungkin kecewa karena tak ada makanan di sana. Orang-orang yang melintas sering bertanya-tanya: mengapa setiap minggu Livia datang ke taman ini, selalu dengan buket bunga yang sama? Tak seorang pun berani menanyakan langsung, takut jawaban yang didapat justru membuat mereka tak bisa tidur malam itu. Hari itu angin bert...

Kompas Tanpa Arah: Misteri Candi Tersembunyi

Gambar
Di kaki bukit yang diselimuti kabut pagi, berdiri dua candi tua yang telah lama menjadi bisik-bisik masyarakat sekitar. Tak seorang pun benar-benar tahu siapa yang membangunnya atau untuk apa, tetapi legenda-legenda yang melekat padanya selalu mampu membuat anak-anak merinding dan orang dewasa saling melempar senyum penuh rahasia. Di antara reruntuhan itu, seorang perempuan muda bernama Laksmi berdiri sambil memandangi relief-relief batu yang sudah dimakan usia. Gaun biru kehijauan yang dikenakannya bergoyang diterpa angin sepoi. "Hmm... kalau benar ini tempat yang katanya penuh rahasia, kenapa malah sepi begini?" gumamnya sambil menghela napas panjang. Ia mencoba melangkah ke dalam pelataran, tetapi seketika kakinya tersandung batu kecil. "Astaga! Kenapa batu di sini selalu punya niat jahat, ya?" Laksmi terkekeh sendiri, meski ada sedikit rasa was-was di dadanya. Ia merasa seperti ada yang mengawasi, meskipun pandangannya tak menangkap siapa pun. ...

Lompatan Langit Bocah Serimpi

Gambar
Pagi itu, langit desa Serimpi masih malu-malu membuka tirainya. Di halaman rumah yang separuhnya tanah, separuhnya rumput liar, seorang bocah bernama Galang sedang menatap dua batang bambu kurus dengan tatapan penuh harap—dan sedikit khawatir. "Itu egrang atau tangga ke langit, Bu?" tanya Galang polos pada ibunya. Ibunya hanya tertawa. "Kalau kamu jatuh, bisa jadi jalan pintas ke rumah tetangga sebelah!" Galang menghela napas. Egrang itu buatan Pak Darto, tetangganya yang suka ngopi tapi jarang ngaduk. Dibilangnya, bermain egrang bisa bikin kaki kuat, badan tegap, dan yang penting: "Disukai banyak orang." Entah maksudnya orang-orang atau kambing-kambing yang sering nonton dari kejauhan. Dengan kaus biru belel dan celana coklat favorit yang sudah berlobang di lutut kiri, Galang naik ke atas pijakan egrang seperti penari sirkus. Badannya goyah, seperti daun kelor tertiup angin. Tapi ada semangat di matanya. "Hari ini aku akan berja...

Gadis di Balkon Awan

Gambar
Kabut masih menari-nari di antara pucuk-pucuk menara saat Dara membuka matanya. Udara di balkon itu terasa seperti kapas yang baru dicuci—dingin, bersih, dan sedikit harum bunga melati. Ia berdiri di ujung balkon batu, memandangi lautan awan di bawah sana, seolah dunia telah berpindah ke langit. Dara tidak tahu bagaimana ia bisa sampai di sana. Yang ia ingat hanyalah duduk membaca buku di taman belakang rumah neneknya yang penuh semak mawar, lalu... tiba-tiba saja berada di sini, mengenakan celana emas yang entah milik siapa. Sejujurnya, ia tidak ingat pernah memiliki celana yang begitu berkilau kecuali saat acara pentas seni kelas lima. "Ini mimpi, atau aku sedang syuting iklan sabun mandi?" gumamnya sambil menepuk pipinya sendiri. Tapi suara burung bernyanyi dari balik tiang pilar menjawab keraguannya—ini bukan mimpi. Di kejauhan, menara-menara menjulang seperti jamur-jamur raksasa, dan di bawahnya... tak ada tanah. Hanya lautan awan dan warna-warna fajar ...

Narsion Sang Naga Penjaga Awan

Gambar
Di atas Puncak Awan Tersipu, sebuah gunung yang begitu tinggi hingga awannya suka menabrak batu karangnya, berdiri seekor naga berwarna biru kehijauan. Namanya Narsion. Ia bukan naga biasa. Selain bisa terbang dengan kecepatan setara layangan lepas saat tahun baru, Narsion juga punya kemampuan unik: ia bisa berbicara... dengan dirinya sendiri. "Ah, udara pagi! Tapi kenapa selalu dingin ya?" gerutunya sambil meringkuk di balik sayap merah menyala. Sayapnya memang besar dan gagah, tapi untuk urusan hangat-hangatan, tetap kalah sama selimut. Narsion adalah penjaga awan—tugas yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyangnya yang katanya dulunya penjual cuaca. Setiap pagi, tugasnya adalah memastikan awan tidak nyasar ke tempat wisata atau menumpuk di atas pasar. Tapi hari itu, awan-awan tampak gelisah. Mereka berkumpul di satu titik, berputar seperti sedang mengadakan rapat dadakan. Narsion mengernyit. “Hmm, jangan-jangan ada yang bikin ulah lagi…” Ia mengepak...

Senja di Antara Gedung-Gedung

Gambar
Di tengah hiruk pikuk kota yang sibuk dan tak pernah tidur, seorang perempuan berdiri diam di trotoar, seolah menjadi jeda dalam paragraf panjang kehidupan metropolitan. Namanya adalah Nara. Rambutnya merah keemasan disanggul rapi, senyumnya tipis tapi cukup untuk membuat tukang ojek di seberang jalan hampir lupa menarik gas. Hari itu ia mengenakan gaun kuning mustard yang mencolok, bukan karena ingin diperhatikan, tapi karena katanya, “kalau warnanya cerah, nasib juga jadi cerah.” Teori yang belum terbukti secara ilmiah, tapi cukup ampuh membuatnya percaya diri. Nara bukan siapa-siapa di kota ini, tapi juga bukan sembarang orang. Ia bekerja sebagai ilustrator freelance, lebih sering menggambar burung daripada mengurus surat pajak. Tapi yang membuatnya menarik bukan pekerjaannya, melainkan tatapannya—penuh rahasia, seperti lemari tua yang tak semua lacinya boleh dibuka. Sore itu, ia sedang menunggu seseorang. Atau mungkin sesuatu. Ia melirik jam tangan—tiga menit lewa...

Derak Terakhir Dokar

Gambar
Pagi itu , desa Tegaljaya diselimuti kabut tipis. Udara masih dingin, tapi suara roda dokar yang berderit pelan sudah terdengar dari ujung jalan. Pak Margo, kusir tua yang sudah tiga puluh tahun menarik dokar, menggigit ujung rokok cengkehnya yang belum menyala. “Ndut, pelan ya... kita antar Bu Tini ke pasar,” katanya pada kuda betina kesayangannya. Ndut mengangguk—atau mungkin hanya mengibas telinganya karena nyamuk. Tapi bagi Pak Margo, kuda itu sudah seperti teman lama. Mereka tak perlu banyak bicara untuk saling mengerti. Bu Tini, pedagang sayur langganan, sudah menunggu di depan rumahnya. Dengan keranjang penuh kangkung dan tempe bungkus daun jati, ia naik ke dokar sambil tersenyum. “Masih kuat ya dokarnya, Pak?” tanya Bu Tini sambil duduk. “Masih, Bu. Cuma rodanya kadang bunyi ‘kretek’ kayak lutut saya,” jawab Pak Margo, lalu tertawa kecil. Dokar bergerak perlahan menembus jalanan tanah yang sedikit becek. Matahari mulai muncul malu-malu di balik pepohonan....

Gadis dari Hutan Kenangan

Gambar
Pagi itu, hutan Cemara di pinggir Desa Lembayung diselimuti kabut tipis. Burung-burung bersenandung pelan, seolah-olah mereka belum sepenuhnya bangun. Suasana tenang itu tiba-tiba berubah ketika seekor kelinci putih melompat ke jalan setapak, diikuti oleh seorang gadis dengan gaun bermotif bunga yang seakan mencuri cahaya pagi. Namanya Aira. Usianya mungkin baru delapan belas, atau sembilan belas tahun kalau dihitung dengan gaya ayam jago menghitung waktu—kadang benar, kadang terlalu cepat. Rambutnya panjang terurai, dan matanya secerah embun pagi. Ia tidak berasal dari desa, tapi semua orang di sana mengenalnya… meskipun tak satu pun dari mereka tahu dari mana sebenarnya ia berasal. Konon, Aira pertama kali muncul di hutan itu setahun lalu, duduk di atas batu besar sambil menyanyikan lagu yang tidak dikenal siapa pun. Sejak saat itu, ia sering terlihat berjalan-jalan, berbicara dengan bunga, bahkan tertawa sendiri—meski bukan karena gila, melainkan karena bunga-bunga i...

Petualangan Bocah Gobak Sodor

Gambar
Angin sore menyapu halaman SD Negeri 3 Suka Maju, menggoyangkan daun jambu biji yang hampir rontok karena terlalu sering dipanjat anak-anak. Di bawah rindangnya, sekelompok bocah berseragam kusut berkumpul, bukan untuk belajar matematika atau IPA, tapi untuk satu hal yang jauh lebih penting: pertandingan gobak sodor. "Nah, ini nih... garisnya udah gue lukis pake batu kapur," ujar Sari, si pemimpin regu yang dikenal tegas seperti ibu RT kalau arisan. Rani, si ahli strategi yang biasa menyusun taktik seperti pelatih timnas, mengangguk sambil menggulung lengan bajunya. "Pokoknya, kali ini kita harus menang. Kelompok sebelah itu udah dua kali ngalahin kita. Harga diri kampung kita dipertaruhkan, guys!" "Gue sih cuma mau bales dendam karena kemarin disuruh bawa air minum buat mereka. Mereka menang, kita yang jadi tukang galon," keluh Didi, anak paling kecil tapi paling banyak alasan. Sementara itu, dari arah pojok lapangan, kelompok lawan mu...

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja