Rahasia di Balik Kipas Angin Anggun
Pagi itu, udara di Kampung Cendol terasa lebih tenang dari biasanya. Tapi itu bukan karena angin bertiup lembut atau ayam-ayam malas berkokok—melainkan karena kipas angin buatan tahun 1982 milik Bu Wagini tiba-tiba berhenti berputar. Sontak, seisi kampung gempar.
Namun yang lebih menggemparkan adalah kemunculan seorang wanita misterius di warung kopi Wak Darso. Ia muncul begitu saja, seperti mie instan yang hanya butuh tiga menit. Namanya: Nadia Sarasvati. Kulitnya putih bersih seperti kertas struk belanja yang belum sempat masuk dompet. Matanya tajam, bibirnya merah delima, dan rambutnya acak-acakan seperti habis debat sama kucing.
Wak Darso ternganga. Saking kagetnya, ia menumpahkan kopi ke celananya sendiri. "Aduh, panas! Ini kopi atau lava Gunung Merapi?!"
Nadia hanya tersenyum tipis, lalu berkata dengan suara yang dalam namun lembut, "Saya mencari seseorang... dan sebuah kipas angin."
Warga Kampung Cendol pun langsung bergosip.
"Jangan-jangan dia mantan Wak Darso yang dulu kabur ke Paris?"
"Paris? Yang di Prancis?"
"Bukan, Paris van Java, Mang!"
Dan begitulah, cerita dimulai. Dengan kipas angin mogok dan wanita cantik berbau misteri. Tapi tunggu dulu... siapa sebenarnya Nadia?
---ooOoo---
Sejak kemunculan Nadia, kehidupan di Kampung Cendol mendadak berubah drastis. Wak Darso mendadak rajin mandi, bahkan dua kali sehari—padahal sebelumnya, hujan deras saja belum tentu bisa bikin dia basah.
"Siapa sih dia sebenarnya?"tanya Bu Wagini sambil ngulek sambal. "Jangan-jangan mata-mata dari PLN, mau nyabut listrik ilegalku!"
Sementara itu, Nadia terus menyelidiki kipas angin tua itu. Ia berjalan menuju rumah Bu Wagini, tempat terakhir kipas itu menghembuskan angin. Tapi begitu ia masuk, ia malah tersedak.
"Ini... aroma apa ya?" tanyanya sambil menutup hidung.
"Ah itu, terasi buatan suami saya. Cita rasa internasional. Pernah bikin bule pingsan di terminal!" jawab Bu Wagini bangga, padahal bulenya waktu itu cuma nyasar.
Nadia mengangguk sambil menyeka air mata—bukan karena terharu, tapi karena asap sambal level 99. Lalu matanya tertuju pada sesuatu di bawah meja. Sebuah surat lusuh terselip di bawah kipas angin.
Ia membukanya. Tertulis dengan tulisan tangan seperti cakar ayam mabuk: "Untuk N, maafkan aku. Suatu hari, kipas ini akan membimbingmu ke kebenaran…"
Nadia terdiam. Matanya berkaca-kaca.
"Siapa yang tulis surat ini?" tanyanya pelan.
Bu Wagini menjawab, "Itu? Wah, kayaknya tulisan suami saya. Tapi jangan percaya 100%, dia pernah nulis ‘aku cinta kamu’ di bon utang warung sebelah."
Kampung Cendol makin heboh. Warga mulai percaya kalau kipas angin itu bukan benda biasa. Ada rahasia besar di dalamnya… atau paling nggak, debu setebal novel.
---ooOoo---
Hari berikutnya, Nadia terlihat duduk di bawah pohon jambu, memandangi kipas angin seperti sedang menyusun strategi perang. Warga kampung pun mulai resah—bukan karena kipas itu, tapi karena si Acong, tukang tambal ban, tiba-tiba ikut-ikutan pakai jas dan dasi, berharap bisa menarik perhatian Nadia.
"Eh Cong, ngapain pake jas di tengah hari bolong?"
Acong menjawab dengan bangga, "Ini namanya branding, Mang. Biar kelihatan mapan!"
Padahal dia duduk di kursi tambal ban bolong, sambil ngemil cireng isi angin.
Nadia lalu membawa kipas ke bengkel Pak Lurah—bukan karena Pak Lurah ahli elektronik, tapi karena dia satu-satunya orang yang punya obeng. Mereka membuka kipas itu dengan hati-hati. Isinya... bukan motor atau sirkuit, melainkan sekeping koin emas dan sobekan peta yang penuh bercak sambal.
"Astaga, ini bukan kipas biasa!" seru Pak Lurah. "Ini... ini kayaknya bagian dari peta harta karun! Atau... peta warung padang?"
Nadia tampak serius. "Saya yakin... ini peninggalan Ayah saya. Ia hilang 15 tahun lalu, dan meninggalkan pesan: 'ikuti angin, maka kau akan menemukan jawaban.'"
Semua warga terdiam.
Lalu Acong nyeletuk, "Berarti kita harus... naik baling-baling bambu?!"
Suasana hening sejenak.
Kemudian semua tertawa. Bahkan si kucing kampung yang biasanya judes, mendadak ikut ngekek sambil guling-guling di teras.
Namun di balik tawa itu, tersimpan rasa penasaran yang makin menggelora. Ada sesuatu yang menanti di ujung perjalanan ini... sesuatu yang lebih besar dari sambal dan tambal ban.
---ooOoo---
Setelah penemuan koin emas dan sobekan peta, Nadia memutuskan untuk membentuk Tim Pencari Angin—nama yang dipilih setelah nama "Detektif Sambal" ditolak secara demokratis oleh Bu Lurah yang alergi cabe.
Anggota tim:
Nadia (ketua, tentu saja)
Wak Darso (penasihat spiritual... katanya)
Acong (logistik, alias bawa kerupuk)
Bu Wagini (ahli sambal & doa bersama)
Kucing kampung yang terus ikut, entah kenapa
Mereka berkumpul di Balai Kampung, duduk melingkar sambil menatap sobekan peta yang sekarang menempel di papan pengumuman (menggantikan jadwal ronda yang sudah basi).
"Ini petanya ke mana?" tanya Nadia serius.
Wak Darso maju, matanya menyipit. "Berdasarkan pengalaman saya membaca denah perumahan subsidi, arah panah ini mengarah ke... kandang ayam belakang gudang padi."
Semua serempak menoleh.
"Lho, serius, Wak?" tanya Acong.
"Ya nggak tahu, ini petanya kebalik dari tadi..."
Ternyata benar. Setelah dibalik, peta mengarah ke bukit kecil di pinggir kampung yang biasa dipakai anak-anak buat main layangan dan... ngumpet kalau dikejar utang.
Saat perjalanan menuju bukit, tiba-tiba seekor ayam melewati mereka sambil... kentut. Kuat. Berbau. Sangat berdampak.
"Eh itu ayam makan apa sih? Gas elpiji?" tanya Bu Wagini sambil nyemprot minyak angin ke hidung.
Semua terbatuk-batuk, bahkan kucing pun kabur.
Tapi sesampainya di bukit, mereka melihat sebuah batu besar yang bentuknya mirip... kipas angin. Di bawahnya tertulis ukiran tua: "Yang mengerti angin, akan mengerti jalan pulang."
Nadia terdiam. "Ini... pasti pesan dari Ayah."
Semua menatapnya. Angin berhembus pelan.
Acong berseru, "Atau ini cuma iklan kipas zaman dulu?"
Suasana hening. Lalu meledak jadi tawa.
Namun Nadia tahu, ini bukan akhir. Ini baru awal dari rahasia yang lebih besar… dan lebih berangin.
---ooOoo---
Sore itu, setelah berhasil menggali sedikit di bawah batu berbentuk kipas, Tim Pencari Angin menemukan sebuah kotak kayu tua. Kotaknya berdebu, berkarat, dan penuh semut galau yang tampaknya sedang cari jati diri.
"Buka aja, jangan-jangan isinya... voucher Indomaret," kata Acong penuh harap.
Ternyata bukan. Isinya: surat kuno, selembar foto hitam putih, dan… sebungkus Indomie goreng tahun 90-an yang masih utuh.
"Lho, ini mi-nya masih ada," kata Bu Wagini.
Nadia mendekat dan membaca isi surat. Suaranya pelan tapi menggema: "Nadia, jika kau menemukan ini, berarti kau berhasil. Aku tidak hilang... aku menyamar. Di Kampung Cendol, ada yang ingin mencurinya. Bukan kipasnya, tapi rahasianya."
Nadia tercengang. "Ayahku... hidup?"
Wak Darso menimpali, "Mungkin dia hidup... mungkin juga kerja di luar negeri. Banyak orang Cendol kerja di Taiwan."
Tiba-tiba Bu Lurah datang tergopoh-gopoh.
"Nadia! Aku tahu siapa Ayahmu!"
Semua menoleh. Deg-degan. Bahkan kucing menahan napas.
"Dia... adalah Pak Kirun, penjaga pos ronda!"
"HAH?!" serentak semua teriak, termasuk Acong yang tersedak kerupuk.
"Tapi... Pak Kirun bisu!" kata Nadia.
"Bisu pura-pura!" jawab Bu Lurah. "Biar nggak disuruh ronda tiap malam!"
Semua langsung lari ke pos ronda. Dan benar saja… Pak Kirun sedang duduk sambil ngudud, lalu begitu melihat Nadia, ia tersenyum, berdiri… dan berkata dengan suara lantang:
"Lama nian kamu nemu kipasnya, Nduk."Semua ternganga. Bahkan ayam yang lewat pun jatuh terpeleset saking kagetnya.
Pak Kirun bukan hanya Ayah Nadia. Ia adalah penjaga rahasia besar Kampung Cendol, yang selama ini pura-pura jadi patung ronda tiap malam.
---ooOoo---
Pak Kirun—alias Ayah Nadia—akhirnya duduk bersama di Balai Kampung. Semua warga berkumpul, dari yang tua sampai yang baru bisa merangkak, demi mendengar kisah yang sudah lama tersembunyi. Bahkan kambing tetangga pun ikut duduk, seolah ngerti betapa seriusnya suasana.
"Dulu," kata Pak Kirun dengan suara berat dan jenggot yang entah muncul sejak kapan, "Kipas itu diciptakan oleh sahabatku: Profesor Djembrong. Ia menemukan bahwa kipas angin bisa menyimpan data rahasia lewat putarannya—seperti CD, tapi lebih murah dan bisa dipakai pas gerah."
Semua mengangguk—meskipun nggak paham.
"Namun, suatu hari, rahasia itu ingin dicuri oleh orang dalam kampung sendiri. Maka aku sembunyikan kipas itu, dan pura-pura menghilang. Aku menyamar sebagai Pak Kirun si bisu supaya nggak dicurigai. Dan ya... kadang-kadang aku nonton sinetron lewat ventilasi rumah Bu Wagini. Maaf."
Semua terdiam.
Lalu Bu Wagini nyeletuk, "Waduh, jadi yang ngomentarin sinetron ‘ih dia jahat banget!’ itu suara kamu, Kir?"
Pak Kirun tertawa, lalu memandang Nadia. "Maaf, Nduk. Ayah tak bisa hadir di ulang tahunmu ke-10. Tapi Ayah selalu di dekatmu... walau dari balik tembok ronda."
Nadia memeluknya. Tangis pecah. Bahkan Wak Darso sempat menyeka air mata pakai daun singkong.
Dan kipas itu? Ditempatkan di museum kecil Kampung Cendol, di sebelah tempat jual gorengan.
Acong jadi juru bicara museum, walau sering lupa narasi dan malah promosi tambal ban.
Kampung Cendol kembali damai. Tapi sejak saat itu, tiap angin berhembus lewat kipas, warga percaya:
Ada kenangan, ada kisah, dan mungkin... ada nasi bungkus yang lupa diambil.
Dan ya, Nadia akhirnya menetap di kampung. Dia jadi guru Bahasa Inggris, ngajarin anak-anak, dan kadang, ngajarin Wak Darso bedain "yes" dan "yasudah".
TAMAT, tapi mungkin belum sepenuhnya…
Komentar
Posting Komentar