Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Di sebuah pagi yang cerah di desa Kalanganyar, mentari baru saja naik perlahan dari balik pohon jati. Suara burung prenjak bersahut-sahutan, seperti sedang membicarakan gosip terbaru di balai desa. Udara segar membawa aroma tanah basah dan wangi daun kelor yang direbus di dapur-dapur penduduk.

Di halaman rumah joglo yang berdiri anggun dengan atap limasan merah bata, tampak seorang gadis berjalan santai. Ia mengenakan kebaya hijau zamrud yang serasi dengan kain batik cokelat keemasan yang dililit rapi di pinggangnya. Rambut hitam legamnya disanggul ke samping, dihiasi bunga kamboja putih yang segar dipetik dari halaman. Senyumnya yang mengembang seperti tahu goreng hangat di pagi hari membuat siapa pun yang melihatnya ingin menyapa.

Namanya Raras Ayu. Tapi seluruh desa lebih suka memanggilnya "Mbakyu Raras"

— entah kenapa, padahal usianya baru dua puluh satu. Ada yang bilang karena sikapnya lemah lembut, ada pula yang berseloroh karena ia pandai menyeduh teh manis paling pas manisnya se-desa Kalanganyar.

Pagi itu, Mbakyu Raras tidak hanya sekadar berjalan-jalan santai. Ia sedang menyusun rencana rahasia—sangat rahasia, bahkan lebih rahasia dari resep sambal terasi Mak Murni yang melegenda itu. Di balik senyumnya yang manis dan gerak langkahnya yang anggun, pikirannya sibuk memikirkan satu hal: bagaimana caranya bisa menyelinap keluar rumah nanti sore, tanpa diketahui simbok-nya, demi menghadiri latihan tari "Bedhaya Semang"

.

Masalahnya, sejak kejadian tahun lalu—ketika Raras tiba-tiba menghilang dari rumah hanya untuk mengejar karcis pertunjukan wayang kulit di kecamatan sebelah—sang simbok jadi lebih waspada daripada penjaga gudang beras di musim paceklik.

Raras menatap pagar kayu di sudut halaman. Di baliknya, jalan setapak kecil yang berliku ke arah sanggar tari sudah menantinya. Tapi tentu saja, misi sore nanti harus dirancang sehalus kain sutra. Ia pun mulai menyusun strategi.

Pertama, ia harus membuat simbok tertawa sampai lupa waktu. Maka siang nanti, ia akan menghidangkan tempe mendoan kesukaan simbok yang ditaburi bawang goreng lebih banyak dari biasanya. Lalu, ia akan menyelipkan cerita lucu tentang Pak RT yang salah sebut nama saat rapat warga—yang harusnya "Pak Sugeng"

, malah jadi "Pak Senggol". Ampun.

Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara khas sang simbok, "Raraaas… nggeh kowe neng endi tooo?!"

Raras langsung menjawab cepat, "Nggih Buk, kulo nembe ngendikan karo manuk prenjak. Katanya, besok akan hujan!"

Simbok terdiam sejenak, lalu terdengar suara batuk tertahan—entah karena geli atau bingung. Raras tersenyum puas. Satu langkah kecil menuju sukses.

Namun Raras tahu, misi ini belum selesai. Sore nanti adalah penentu. Apakah ia akan berhasil kabur secara elegan, atau justru dipaksa duduk manis sambil mengupas singkong untuk sore hari?

Dan tanpa ia sadari, dari balik pohon mangga di seberang jalan, sepasang mata kecil mengintipnya—milik Karyo, tetangga sebelah, bocah kelas empat SD yang hobi mengamati segala hal, termasuk gerak-gerik Mbakyu Raras.

Sore nanti, akan ada lebih dari satu rahasia yang terbongkar.

---oO0Oo---

Sore hari datang dengan langkah pelan seperti Pak Lurah kalau lagi ngantuk. Matahari mulai condong ke barat, cahayanya membentuk bayangan panjang dari pohon pisang yang tumbuh malu-malu di samping rumah. Angin berhembus lembut, membawa aroma daun jati kering dan suara jangkrik yang baru bangun tidur.

Di dapur, simbok sedang sibuk menumbuk sambal di cobek batu. Sesekali ia berhenti, mengelap keringat, dan mencicipi rasa sambalnya dengan jari. "Kurang terasi sedikit,"

gumamnya, sambil tak sadar bahwa di luar sana, sebuah rencana besar sedang berjalan.

Raras sudah siap. Ia mengenakan selendang batik di bahu, sedikit menyelipkan tusuk konde agar tampak lebih ‘tidak siap pergi’, dan—langkah paling penting—membawa bakul kecil berisi pisang goreng. "Kalau ketahuan di jalan, pura-pura mau antar makanan ke Bu Wagini,"

pikirnya, sambil terkikik sendiri.

Langkahnya pelan, menyelinap seperti kucing yang tahu ia sedang curi ikan di dapur. Tapi seperti yang sering terjadi dalam drama desa, ia lupa satu hal: Karyo.

Ya, Karyo—bocah usia sepuluh tahun dengan kemampuan mengamati yang melebihi CCTV pasar tradisional. Sejak siang tadi, ia sudah mencium gelagat mencurigakan dari Mbakyu Raras. Dari cara Raras menyisir rambut lebih lama dari biasanya, hingga cara ia meletakkan sandal menghadap ke luar pintu. Semua itu tak lolos dari catatan "laporan harian"

Karyo.

Dari balik pohon mangga, Karyo mencatat dalam hati:

• Subjek: Mbakyu Raras

• Tujuan: Diduga ke sanggar tari

• Alasan penyamaran: Antar gorengan

• Catatan tambahan: Membawa selendang (indikasi kuat akan menari)

Karyo pun bergerak. Ia melangkah cepat, tapi pelan—seperti ninja yang belum lulus ujian. Ia punya satu tujuan: mengikuti Raras, lalu memberitahukan ke simbok—tidak karena ingin mengadu, tapi karena… ya, karena seru aja. Lagipula, ia merasa dirinya adalah agen rahasia desa.

Sementara itu, Raras mulai melewati pagar dan berjalan menyusuri jalan kecil yang dikelilingi rumpun bambu. Hatinya deg-degan tapi juga bersemangat. Di sanggar nanti, ia akan berlatih untuk pertunjukan tari yang diadakan minggu depan, dan ia sudah terpilih menjadi penari utama. Ia tak ingin melewatkan kesempatan itu hanya karena larangan simbok yang sedikit… dramatis.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kecil dari belakang. Raras menoleh—tak ada siapa-siapa. Tapi daun bambu bergoyang. Ia curiga, lalu bicara pelan, "Karyo, keluar sekarang. Aku tahu kamu di situ."

Diam.

"Karyo, aku bawa gorengan loh…"

Tiba-tiba dari balik rumpun bambu, muncul kepala kecil dengan ekspresi malu-malu kucing. "Mbak… jangan bilang simbok ya…"

ucapnya sambil nyengir.

Raras menghela napas. "Kamu ngintilin aku dari tadi?"

Karyo mengangguk. "Tapi bukan buat ngadu. Aku juga mau lihat latihan tari."

Raras memandang Karyo, lalu tersenyum. "Ya sudah, tapi janji jangan ribut, ya? Kalau ketahuan simbok, bukan cuma aku yang dipaksa kupas singkong. Kamu juga."

Karyo terdiam sebentar, lalu mengangguk cepat seperti ayam minum. "Siap, Mbak!"

Akhirnya, dua sosok itu—gadis ayu berkebaya hijau dan bocah berkemeja kotak—berjalan bersama menuju sanggar di ujung jalan, diiringi matahari sore yang menguning, dan suara burung emprit yang ikut menyemangati.

Dan entah bagaimana, sore itu menjadi awal dari cerita-cerita tak terduga lainnya. Karena ternyata, di sanggar nanti, bukan hanya tari yang akan mereka pelajari… tapi juga rahasia lama tentang Raras dan asal usul keluarga yang belum pernah ia dengar.

(Bersambung? Atau cukup sampai di sini? )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa