Langkah-Langkah Lela
Di sebuah desa kecil bernama Lereng Wungu, hiduplah seorang gadis bernama Lela yang selalu mencuri perhatian… bukan karena kecantikannya saja, tapi karena gayanya yang… bagaimana ya, unik. Ia gemar mengenakan gaun berwarna mencolok seperti pelangi yang kelebihan semangat, dan lebih sering bicara dengan ayam tetangga daripada manusia. "Soalnya ayam lebih jujur," katanya suatu sore sambil mengelus kepala Si Jengki, ayam jago paling cerewet di desa.
Pagi itu, Lela berdiri di tepi jalan tanah, memandang langit yang mulai menguning. Ia tampak seperti tokoh utama dari novel yang belum ditulis. Rambut panjangnya menari pelan di tiupan angin, dan tatapan matanya… ah, tatapan itu seolah tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain.
Tapi tunggu dulu, Lela bukan gadis biasa.
Ia percaya bahwa suatu hari akan terjadi sesuatu besar dalam hidupnya—entah dijemput pangeran naik bajaj terbang atau menemukan lubang waktu di balik rak dapur. Dan pagi ini, ia merasa... ini harinya.
Sambil melangkah keluar rumah, Lela sadar ada yang aneh. Kaki kirinya dingin. Ia menunduk—ya ampun! Ia lupa memakai sebelah sepatu. Lagi.
"Astaga... kalau begini terus, aku bisa jadi legenda, tapi bukan karena prestasi. Karena sepatu ganjil,"gumamnya sambil tertawa kecil.
Namun sebelum ia sempat kembali ke rumah, seekor kucing oranye melintas dengan gulungan kertas kecil di mulutnya. Kucing itu berhenti tepat di depan Lela dan menjatuhkan kertas itu ke tanah. Lela memungutnya.
Tulisan tangan di sana berbunyi: "Datanglah ke bukit jam lima sore. Bawa keberanianmu. Dan dua sepatu, kalau bisa."
Lela mendecak. "Siapa pula yang tahu aku suka nyeker?"
Ia menatap ke arah bukit yang jauh… dan tersenyum.
---ooOO0OOoo---
Pukul lima kurang lima belas. Lela berdiri di bawah pohon kelapa yang miring sebelah, lengkap dengan dua sepatu—meski yang kanan warnanya masih agak kecokelatan karena tertinggal di got minggu lalu. Ia menatap bukit di kejauhan, yang biasa disebut warga sebagai Bukit Cemara, padahal cuma ada satu pohon cemara dan itu pun tumbuh miring seperti menyesal hidup.
Sambil berjalan, Lela berpikir keras.
"Siapa yang bisa ngirim pesan lewat kucing? Pak RT? Kayaknya nggak punya bakat jadi penyihir… atau mungkin Bu Inem yang suka jual kue dan bisik-bisik katanya dulu pernah belajar hipnotis?"
Langkahnya mantap. Tapi begitu sampai di pertengahan bukit, ia disambut pemandangan tak biasa. Sebuah kursi goyang tua berdiri sendirian di tengah rerumputan. Dan di atas kursi itu… duduk seekor kucing oranye. Yang sama. Kali ini mengenakan topi kecil dari kulit jeruk.
Lela mengedip. "Kau siapa? Garfield edisi lokal?"
Kucing itu menjilat kakinya, lalu berdiri, berjalan beberapa langkah dan duduk kembali—kali ini di atas batu. Di belakang batu itu muncul seorang pria tua bertopi lebar, berjenggot putih dan membawa… teko teh?
"Selamat datang, Lela,"ucap pria itu ramah. "Saya sudah menunggumu."
"Eee… saya cuma ikut kucing," jawab Lela gugup.
"Begitu pun saya,"kata pria itu sambil menuang teh. "Kucing ini sebenarnya pemimpin tertinggi kelompok kami. Tapi dia pemalu."
Lela melirik ke kucing yang kini menjilat daun. Ia mulai curiga apakah ia sedang syuting acara prank atau sudah tersesat dalam naskah dongeng.
"Tunggu, kelompok apa maksudnya?" tanya Lela, mulai duduk bersila.
Pria itu tersenyum. "Kelompok yang mencari... si Terpilih."
Lela menelan ludah.
"Terpilih buat apa nih? Ngaduk teh?" katanya setengah bercanda.
Pria tua itu menatap langit yang mulai merah jingga, dan menjawab, "Untuk membuka jalan ke Perpustakaan Rahasia. Yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang berani... dan lupa sepatu."
Lela menoleh ke kucing. Si kucing mengangguk. Atau mungkin hanya menguap. Tapi tetap saja, Lela merasa sesuatu yang besar akan terjadi.
---ooOO0OOoo---
Setelah teh habis, matahari hampir tenggelam di balik bukit. Langit menyala seperti cat air yang tumpah di kanvas, dan Lela masih belum sepenuhnya paham apa yang sebenarnya terjadi. Tapi rasa penasarannya jauh lebih besar daripada rasa takutnya. Itu biasa. Lela sudah biasa salah naik angkot dan nyasar sampai ke desa tetangga.
Pria tua itu berdiri, mengangkat tongkat yang tampaknya dulu bekas gagang sapu. Ia menggurat tanah membentuk lingkaran kecil. Kucing oranye melompat ke tengah lingkaran dan mengeong pelan, seperti membaca mantra dalam bahasa meong.
Tiba-tiba, tanah bergetar ringan.
"Eh, ini serius?" tanya Lela, setengah berharap ini semua hanya mimpi akibat makan ketoprak jam tiga pagi.
Namun di depan matanya, tanah mulai terbuka perlahan, memperlihatkan tangga batu menurun yang diterangi cahaya temaram. Udara dari bawah terasa hangat dan berbau… kertas tua, dan sedikit seperti minyak kayu putih.
"Selamat datang di Perpustakaan Rahasia Waktu," kata pria tua itu. "Tempat di mana cerita yang belum selesai menunggu penulisnya."
Lela nyaris tertawa. "Saya? Menulis? Pak, saya nulis daftar belanja aja sering nyasar beli terasi."
Tapi ia mengikuti langkah pria tua itu turun ke dalam.
Perpustakaan itu sungguh menakjubkan. Rak-rak melengkung seperti labirin, berisi buku tanpa judul, semuanya kosong… kecuali satu.
Sebuah buku besar terbuka di atas meja, dan halaman pertama bertuliskan:
"Langkah-Langkah Lela — Ditulis oleh: ..."
Lela terdiam. Tangannya bergetar saat menyentuh pena yang tiba-tiba muncul di samping buku. Pria tua itu tersenyum."Kadang, cerita terbaik dimulai bukan karena seseorang merasa siap… tapi karena dunia merasa dia sudah saatnya melangkah."
Kucing oranye kini duduk di atas rak paling atas, matanya menatap Lela penuh arti. Atau mungkin hanya mengantuk lagi.Dan di saat itu, Lela tahu: hidupnya akan berubah. Bukan karena ia tahu akhir dari cerita ini, tapi karena ia akhirnya mulai menulisnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar