Gadis dari Hutan Kenangan
Pagi itu, hutan Cemara di pinggir Desa Lembayung diselimuti kabut tipis. Burung-burung bersenandung pelan, seolah-olah mereka belum sepenuhnya bangun. Suasana tenang itu tiba-tiba berubah ketika seekor kelinci putih melompat ke jalan setapak, diikuti oleh seorang gadis dengan gaun bermotif bunga yang seakan mencuri cahaya pagi.
Namanya Aira. Usianya mungkin baru delapan belas, atau sembilan belas tahun kalau dihitung dengan gaya ayam jago menghitung waktu—kadang benar, kadang terlalu cepat. Rambutnya panjang terurai, dan matanya secerah embun pagi. Ia tidak berasal dari desa, tapi semua orang di sana mengenalnya… meskipun tak satu pun dari mereka tahu dari mana sebenarnya ia berasal.
Konon, Aira pertama kali muncul di hutan itu setahun lalu, duduk di atas batu besar sambil menyanyikan lagu yang tidak dikenal siapa pun. Sejak saat itu, ia sering terlihat berjalan-jalan, berbicara dengan bunga, bahkan tertawa sendiri—meski bukan karena gila, melainkan karena bunga-bunga itu juga, katanya, sering melontarkan lelucon receh.
“Kalau bunga matahari bisa tertawa, pasti dia malu punya leher sekaku itu,” katanya sambil tersenyum pada anak-anak desa yang menyimaknya dengan mata membulat.
Warga desa menyukai Aira, terutama Pak Dargo, si penjual tahu bulat, yang mengaku tahu cara menebak isi hati Aira hanya dengan mendengar cara dia berkata "hmm." Aneh, tapi begitulah Aira. Ada sesuatu yang membuat semua orang ingin tahu lebih banyak tentangnya, seperti teka-teki yang separuhnya hilang di balik pepohonan.
Dan pagi itu, di tengah kabut yang mulai menipis, Aira berdiri diam. Pandangannya tertuju pada seseorang—seorang pemuda yang baru saja tersesat masuk ke hutan. Ia belum pernah melihat wajah itu sebelumnya. Tapi jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“Lucu,” gumamnya. “Bukan karena dia tampan… tapi kenapa dia malah pakai sandal jepit ke hutan?”
Pemuda itu tampak kebingungan. Ia berdiri di tengah jalan setapak sambil mengamati ponsel yang sinyalnya sudah menyerah lebih dulu daripada semangatnya. Kaos putihnya mulai lembap oleh embun pagi, dan sandal jepitnya—dengan motif semangka yang mulai pudar—terus menyentuh tanah yang licin.
Aira menyipitkan mata, bukan karena kesal, tapi karena penasaran. Siapa gerangan manusia kota yang cukup nekat, atau cukup tersesat, untuk muncul begitu saja di tengah hutan Lembayung?
“Maaf… ini jalan ke… ke arah… eh… keluar?” tanya si pemuda, sambil menunjuk ke berbagai arah yang sama-sama dikelilingi pohon.
Aira tersenyum lebar. “Keluar dari mana? Kehidupan?” jawabnya.
Pemuda itu sempat tercengang. “Eh, maksud saya, keluar dari hutan…”
“Ah, itu. Bisa. Tapi sebelum keluar, biasanya orang-orang masuk dulu,” katanya sambil tertawa pelan.
Pemuda itu—yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Reno—hanya bisa ikut tertawa. Ada sesuatu dari gadis ini yang membuatnya tidak ingin segera pergi. Aira menawarkan untuk menunjukkan jalan keluar, tapi dengan syarat: Reno harus menemaninya sejenak ke ‘tempat rahasia’.
“Tidak berbahaya, kan?” tanya Reno setengah bercanda.
“Paling berbahaya kalau kamu alergi bunga, atau… tidak tahan mendengar puisi gagal,” jawab Aira sambil melangkah lebih dulu.
Di balik lelucon-lelucon ringan yang mereka tukarkan sepanjang jalan, ada rasa hangat yang perlahan tumbuh. Aira, dengan segala keanehan dan senyumnya yang sulit ditebak, mulai membuka sedikit celah dunianya.
Dan Reno… ia mulai merasa bahwa mungkin, tersesat di hutan ini bukanlah sebuah kesialan, melainkan undangan dari takdir untuk menemukan sesuatu yang hilang.
Atau seseorang.
Langkah Aira ringan seperti sedang berdansa di antara daun-daun kering. Reno berusaha mengikuti, meskipun beberapa kali sandal jepitnya nyaris tertinggal di lumpur. Ia bahkan sempat terpeleset pelan—dengan elegansi seekor bebek mabuk kopi. Tapi Aira tak tertawa. Ia justru menoleh dengan wajah serius, lalu berkata, “Itu pertanda kamu akan dapat keberuntungan. Atau keseleo.”
Setelah melewati semak belukar dan pohon cemara yang berdiri rapat seperti barisan pengawal kerajaan, akhirnya mereka tiba di sebuah tanah lapang kecil. Di tengahnya berdiri sebuah pondok kayu tua yang seolah muncul dari dongeng masa kecil—atapnya ditumbuhi lumut, dan jendelanya dikelilingi tanaman rambat dengan bunga biru pucat.
“Selamat datang di tempat rahasia,” kata Aira, “yang sebenarnya… tidak terlalu rahasia kalau kamu tanya ke burung-burung.”
Reno menatap heran. “Ini tempat tinggal kamu?”
“Bukan. Ini tempat teh,” jawab Aira sambil masuk ke dalam dan kembali dengan sebuah teko tua. “Teko ini, konon, bisa membaca suasana hati. Jadi, rasa tehnya akan menyesuaikan dengan perasaan kita.”
Reno nyengir. “Jadi kalau aku lagi galau, tehnya rasanya kayak es batu bekas nungguin chat dibalas?”
Aira tertawa—tawa pertamanya yang terdengar benar-benar lepas. Ia menuangkan teh ke dua cangkir tanah liat dan menyodorkannya pada Reno.
Saat Reno menyeruput, matanya membulat. “Lho, ini… kayak rasa teh tarik pas nonton hujan sore-sore, terus ada tukang cilok lewat.”
“Berarti kamu sedang bahagia,” bisik Aira sambil menatap Reno dengan sorot mata yang berbeda—lebih dalam, lebih tenang.
Namun suasana mendadak berubah ketika suara gemerisik terdengar dari balik pepohonan. Aira diam. Matanya menatap tajam ke arah suara itu.
“Jangan bergerak,” katanya lirih. “Mereka datang lebih cepat dari yang kukira…”
Reno menelan ludah. “Mereka? Siapa mereka?”
Aira hanya menjawab dengan satu kalimat, pelan dan nyaris seperti bisikan: “Penjaga rahasia…”
Dari balik semak-semak, muncullah… tiga ekor kambing.
Ya, kambing. Tapi bukan sembarang kambing.
Yang satu berbulu keriting seperti baru selesai dicatok, yang satu lagi mengenakan lonceng berbentuk hati, dan yang terakhir—sumpah demi sandal jepit Reno—sedang membawa seikat wortel di mulutnya.
Aira menghela napas lega sambil terkekeh. “Maaf ya, tadi dramatis banget. Itu mereka—penjaga rahasia. Namanya Kambing Uno, Duo, dan Trio. Mereka biasanya cuma datang kalau aku lupa menyiram tanaman.”
Reno bengong. “Aku kira kita mau disergap ninja pohon atau semacamnya…”
“Tentu tidak,” kata Aira, menepuk kepala Kambing Uno yang langsung mengembik seperti sedang menyanyi dangdut pelan.
Suasana mencair lagi. Aira lalu bercerita—tentang kehidupannya yang tidak biasa. Ia tumbuh di tempat itu, dirawat oleh seorang wanita tua yang pandai berbicara dengan alam. Ketika wanita itu pergi tanpa jejak, Aira memutuskan tetap tinggal. Hutan sudah seperti rumah, dan ia percaya setiap pohon menyimpan kenangan.
“Tapi aku juga ingin tahu dunia luar,” katanya lirih.
Reno memandangi Aira lama. Ia merasa seperti menemukan sesuatu yang tidak ia cari, tapi sangat berarti. Ia ingin mengajak Aira ke kotanya, mengenalkannya pada ramen instan dan sinyal 5G. Tapi ia tahu, sebagian dari gadis itu akan selalu menjadi bagian dari hutan ini.
Matahari mulai miring ke barat. Saat mereka berdiri di jalan setapak menuju desa, Aira berhenti.
“Aku akan ikut sampai sini saja,” ujarnya. “Kalau kamu rindu, teh di pondok itu selalu tahu kapan harus diseduh.”
Reno tertawa. “Aku bakal bawa termos, biar bisa dibawa pulang.”
Aira mengangguk, lalu melambaikan tangan. Di balik senyumnya, ada sesuatu yang tak terucap—seperti janji yang belum selesai ditulis.
Reno menatap ke belakang sekali lagi sebelum melangkah pergi. Ia tidak tahu kapan akan kembali, tapi ia yakin satu hal:
Terkadang, tersesat adalah cara semesta mempertemukan kita dengan rumah…yang tidak selalu berupa bangunan, tapi seseorang.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar