Kompas Tanpa Arah: Misteri Candi Tersembunyi

Di kaki bukit yang diselimuti kabut pagi, berdiri dua candi tua yang telah lama menjadi bisik-bisik masyarakat sekitar. Tak seorang pun benar-benar tahu siapa yang membangunnya atau untuk apa, tetapi legenda-legenda yang melekat padanya selalu mampu membuat anak-anak merinding dan orang dewasa saling melempar senyum penuh rahasia.

Di antara reruntuhan itu, seorang perempuan muda bernama Laksmi berdiri sambil memandangi relief-relief batu yang sudah dimakan usia. Gaun biru kehijauan yang dikenakannya bergoyang diterpa angin sepoi. "Hmm... kalau benar ini tempat yang katanya penuh rahasia, kenapa malah sepi begini?" gumamnya sambil menghela napas panjang.

Ia mencoba melangkah ke dalam pelataran, tetapi seketika kakinya tersandung batu kecil. "Astaga! Kenapa batu di sini selalu punya niat jahat, ya?" Laksmi terkekeh sendiri, meski ada sedikit rasa was-was di dadanya. Ia merasa seperti ada yang mengawasi, meskipun pandangannya tak menangkap siapa pun.

Seketika, terdengar bunyi lirih dari balik candi utama—seperti desir angin yang membawa bisikan. Laksmi menghentikan langkahnya. Dadanya berdegup lebih cepat.

"Kalau ini film, mungkin sekarang aku sudah jadi karakter pertama yang hilang," gumamnya, setengah bercanda namun tak bisa mengusir rasa penasaran itu.

Laksmi mendekat, berharap jawaban.

---ooOoo---

Laksmi berhenti tepat di depan pintu masuk candi utama. Di dalamnya gelap, seolah menyembunyikan sesuatu yang menunggu sejak ratusan tahun lalu. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan jantungnya yang berpacu. "Oke, Laksmi… kalau ketemu hantu, bilang saja mau numpang selfie," gumamnya, setengah bercanda untuk menenangkan diri.

Langkahnya bergema di antara dinding-dinding batu. Relief-relief di sepanjang lorong tampak aneh, seakan mengikuti setiap gerakannya. Ada satu pahatan yang membuatnya berhenti: seorang wanita bergaun mirip dirinya, lengkap dengan ikat pinggang bermata biru. "Serius? Kembaranku dari abad ke berapa ini?" ia terkekeh, tapi segera merasa merinding.

Lalu terdengar lagi suara lirih, kali ini lebih jelas. Bukan angin. Seperti suara seseorang yang berbisik, "Temukan kunci… sebelum senja."

Laksmi mundur selangkah, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutan. "Kunci? Kunci apa?" tanyanya, meskipun tahu tidak akan ada yang menjawab. Ia menatap pahatan itu sekali lagi, lalu memperhatikan sebuah lubang kecil di bagian pinggang relief.

Tiba-tiba, lantai di bawahnya bergoyang halus, seakan ada mekanisme tua yang baru saja aktif. "Oh, hebat… sekarang aku resmi masuk film petualangan," katanya, menahan tawa gugup.

---ooOoo---

Lantai yang bergoyang tadi berhenti, meninggalkan Laksmi dengan jantung yang berdentum cepat. Ia menunduk, memastikan pijakannya aman. "Kalau ini jebakan, semoga paling parah cuma terjatuh di tumpukan bantal," gumamnya mencoba tetap santai.

Pandangan Laksmi kembali ke lubang kecil di relief itu. Bentuknya seperti muara kunci, tetapi anehnya pas dengan hiasan di sabuk yang ia kenakan—sebuah batu biru bundar yang diwariskan neneknya. "Jangan bilang ini kebetulan," bisiknya sambil mendekatkan sabuknya.

Begitu batu biru itu menyentuh lubang, terdengar bunyi klik pelan. Relief itu perlahan bergeser, memperlihatkan ruang rahasia di balik dinding. Udara dingin menyeruak, membawa aroma lembap bercampur tanah tua. "Baiklah… jelas ini undangan masuk. Tolak sopan atau terima tantangan?" Laksmi mengangkat bahu. "Tantangan, tentu saja."

Ia melangkah masuk ke ruang rahasia itu. Cahaya dari celah pintu jatuh pada serangkaian ukiran aneh di dinding: peta yang menampilkan candi ini dan sebuah titik jauh di tengah hutan. Di bawahnya, terdapat tulisan kuno yang samar.

Sebelum sempat mendekat, ia mendengar bunyi gemerisik dari balik ruangan, seperti seseorang yang sedang berjalan. "Eh, jangan bercanda… aku tidak sendiri di sini, kan?" gumamnya, bulu kuduk mulai berdiri.

---ooOoo---

Laksmi menahan napas, menatap ke arah suara itu. Dari kegelapan, muncul siluet kecil, tak lebih tinggi dari pinggangnya. Saat langkahnya mendekat, ternyata itu hanyalah seekor monyet abu-abu dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Astaga! Hampir saja aku buat status ‘penampakan’," gumam Laksmi, setengah lega setengah kesal.

Monyet itu menatapnya, lalu memanjat dinding, menunjuk-nunjuk ukiran peta dengan gerakan tangannya. "Serius? Kamu pemandu wisata bagian sini?" Laksmi terkekeh. Seolah mengerti, monyet itu mengeluarkan suara ‘cek-cek’ keras, lalu meloncat ke lantai, mendekat ke sebuah batu pipih yang menonjol di sudut ruangan.

Dengan sedikit dorongan dari monyet, batu itu bergeser, membuka peti batu kecil yang tersembunyi. Di dalamnya, ada benda bundar yang mirip kompas, tetapi jarumnya berputar aneh, tidak pernah menunjuk ke arah yang sama. Laksmi mengambilnya hati-hati.

Begitu kompas itu berada di tangannya, ukiran dinding menyala samar, menyorot sebuah kalimat dalam aksara kuno: "Ikuti arah tanpa arah, temukan apa yang hilang."

"Hmm… arahnya tanpa arah? Itu semacam teka-teki, ya? Aku bahkan bingung sama petunjuknya," keluh Laksmi.

Monyet itu tiba-tiba melompat ke bahunya, mencubit lengan bajunya, seolah berkata: Ayo sekarang!

---ooOoo---

Dengan kompas aneh di tangan dan monyet kecil bertengger di bahunya, Laksmi melangkah keluar dari ruang rahasia. Udara sore mulai menipis, langit berwarna jingga, seolah memberi tanda bahwa waktu mereka terbatas. Jarum kompas terus berputar, kadang berhenti sejenak lalu bergerak lagi ke arah lain. "Ini bukan kompas, ini spinner anak zaman dulu," keluhnya sambil mengangkat alis.

Namun setiap kali jarum berhenti, monyet itu menunjuk ke satu arah dengan tangan mungilnya. "Baiklah, kapten. Kamu yang paham permainan ini," ujar Laksmi, mengikuti arah jarum yang tak menentu itu.

Perjalanan membawa mereka ke hutan di belakang candi, tempat pepohonan menjulang dan sinar matahari nyaris tak menembus. Di antara akar-akar raksasa, mereka menemukan sebuah batu dengan ukiran serupa pada peta di dinding tadi. Laksmi mendekat, menyentuhkan kompas ke ukiran itu.

Sekejap kemudian, bumi di bawahnya bergetar pelan. Batu itu membuka jalur ke lorong bawah tanah yang diterangi cahaya biru redup.

Laksmi menatap monyet di bahunya. "Kita sudah sejauh ini. Mau balik atau lanjut?"

Monyet itu hanya menjawab dengan suara kecil, "Cek-cek," sambil menunjuk ke dalam lorong.

Laksmi tersenyum tegang. "Baiklah… kita cari tahu apa yang hilang."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja