Rahasia Bunga yang Tertinggal (lanjutan)

Hari-hari berikutnya, Livia dan Raka semakin sering bertemu di taman tua itu. Percakapan mereka ringan, mulai dari cerita makanan favorit hingga keisengan siapa yang bisa menebak jumlah merpati yang datang sore itu. Namun di balik tawa mereka, Livia menyimpan sesuatu yang sulit diucapkan.

Suatu sore, ketika langit mulai berwarna ungu, Raka akhirnya bertanya, "Livia… kenapa selalu krisan putih? Seperti ada sesuatu yang kamu sembunyikan."

Livia terdiam, menunduk memandangi buket di pangkuannya. "Krisan ini… bukan sekadar bunga," katanya pelan. "Setiap kelopaknya mewakili janji yang belum kutepati."

Raka mengerutkan kening. "Janji pada siapa?"

Livia menarik napas panjang, lalu tersenyum kecut. "Seseorang yang sangat berarti. Dan aku belum siap kalau kamu tahu semuanya sekarang."

Raka tidak mendesak, hanya berkata, "Aku akan menunggu. Sama seperti aku penasaran dengan cerita yang belum selesai itu."

Livia tertawa kecil, lega sekaligus takut. "Mungkin suatu hari aku akan menceritakannya… kalau kamu masih di sini."

Angin sore bertiup lembut, menggoyangkan kelopak-kelopak krisan seolah ikut menyimpan rahasia itu rapat-rapat.

---ooOoo---

Keesokan harinya, Livia datang lebih pagi dari biasanya. Kali ini tanpa buket krisan, hanya membawa sebuah buku catatan tua yang sampulnya sudah lusuh. Ia duduk di bangku favoritnya dan membuka buku itu, seolah mencari sesuatu di antara halaman-halaman yang penuh coretan.

Raka muncul tak lama kemudian, membawa dua gelas teh hangat. "Aku pikir kau suka teh daripada kopi," ujarnya sambil duduk di sampingnya.

Livia tersenyum samar. "Kau ingat saja," katanya, menerima gelas itu.

Raka memperhatikan buku catatan di pangkuannya. "Itu… rahasia yang kamu simpan?" tanyanya setengah bercanda.

Livia menutup buku itu cepat-cepat. "Mungkin," jawabnya sambil tersenyum misterius. "Di dalamnya ada cerita lama, tentang seseorang yang memberiku krisan putih pertama kali. Sejak hari itu, aku tidak pernah berhenti membawanya ke taman ini."

Raka ingin bertanya lebih jauh, tapi menahan diri. Ia tahu setiap jawaban akan datang pada waktunya.

Tiba-tiba, secarik foto tua jatuh dari buku itu. Raka melihat sekilas: seorang gadis kecil bergaun merah sedang memegang setangkai krisan, berdiri di samping seorang anak laki-laki yang wajahnya samar namun terasa familiar.

Livia menatap foto itu lama, wajahnya sulit dibaca. "Mungkin waktunya sebentar lagi," bisiknya.

---ooOoo---

Raka mengambil foto yang jatuh itu, menatapnya dengan seksama. Anak laki-laki di samping gadis kecil bergaun merah itu tampak samar, namun ada sesuatu yang aneh—senyumnya terasa akrab. "Livia… siapa anak ini?" tanyanya hati-hati.

Livia menghela napas panjang, lalu mengambil foto itu kembali. "Dia… seseorang dari masa laluku. Dulu kami sering bermain di taman ini. Krisan putih pertama datang darinya, sebagai janji bahwa kami akan selalu bertemu di sini, berapapun lamanya waktu berlalu."

Raka menatap sekeliling taman, mencoba membayangkan dua anak kecil yang pernah berlari-lari di antara pohon-pohon tua ini. "Apakah kamu masih mencarinya?"

Livia tersenyum pahit. "Mungkin. Atau mungkin aku hanya mencari bagian diriku yang tertinggal waktu itu."

Raka terdiam, lalu bergurau, "Jangan-jangan anak laki-laki itu aku? Aku kan juga suka teh, dan mungkin aku pernah jadi imut waktu kecil."

Livia tertawa kecil, ketegangan di wajahnya mereda. "Entahlah, Raka. Tapi kalau benar itu kamu, dunia ini memang punya selera humor yang unik."

Meski ringan, ucapan itu membuat Raka gelisah. Ada sesuatu dalam foto itu yang terus menghantuinya, seakan kunci rahasia Livia perlahan mengarah kepadanya.

---ooOoo---

Sejak melihat foto itu, Raka tidak bisa berhenti memikirkannya. Ada sesuatu pada senyum anak laki-laki di sana yang terus mengganggu pikirannya, seperti potongan puzzle yang hampir pas. Malam itu ia mengaduk-aduk laci lama di rumahnya, mencari album foto masa kecil yang sudah lama tidak dibuka.

Di antara tumpukan foto, ia menemukan satu yang membuatnya terdiam lama: dirinya, kecil, berdiri di sebuah taman dengan krisan putih di tangan. Di sampingnya ada seorang gadis kecil bergaun merah. Raka merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Tidak mungkin…," gumamnya.

Keesokan harinya, ia membawa foto itu ke taman dan menunjukkannya pada Livia. "Lihat ini. Itu aku, kan?"

Livia menatap foto itu lama, matanya membesar. "Jadi… kau benar-benar dia?" bisiknya, suara nyaris tak terdengar.

Angin sore bertiup kencang, menyebarkan kelopak krisan di sekeliling mereka. Untuk pertama kalinya, Raka merasakan teka-teki yang selama ini menghantuinya hampir menemukan jawaban. Namun ia juga merasakan ketegangan aneh, seperti ada sesuatu yang lebih besar menunggu untuk terungkap.

"Livia… ada apa sebenarnya? Kenapa kau terus membawakan krisan putih itu?" tanyanya perlahan.

Livia menggigit bibirnya, lalu berkata lirih, "Aku harus memberitahumu semuanya… di sini, besok sore. Ini akan jadi akhir dari cerita yang belum selesai itu."

---ooOoo---

Sore itu, langit berwarna emas, seolah tahu sesuatu penting akan terjadi. Livia berdiri di taman dengan buket krisan putih terakhir di tangannya. Raka datang, napasnya sedikit memburu, membawa foto masa kecil yang kemarin.

"Livia… aku di sini," katanya, mencoba terdengar tenang.

Livia menatapnya lama, lalu menyerahkan buket krisan itu. "Bunga ini… adalah janji yang tak pernah bisa kutepati waktu kecil," ucapnya pelan. "Dulu kita sering bermain di taman ini. Kau memberiku krisan dan bilang, ‘Kalau suatu hari kita berpisah, kita akan bertemu lagi di bawah langit sore.’ Tapi sebelum aku sempat menjawab, keluargaku pindah mendadak. Sejak itu, aku selalu membawa krisan putih ke sini, berharap janji itu masih berarti."

Raka merasakan hatinya menghangat sekaligus perih. "Jadi… selama ini aku yang kau tunggu?"

Livia tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Dan aku takut… kalau kau sudah melupakan semuanya."

Raka tertawa kecil, meski ada rasa haru di suaranya. "Bagaimana aku bisa lupa janji paling konyol tapi paling tulus yang pernah kubuat?"

Mereka berdua duduk di bangku tua itu, diam namun penuh arti. Di sekeliling, kelopak krisan beterbangan, seolah ikut merayakan berakhirnya cerita yang lama tertunda—dan awal bab baru yang baru saja dimulai.

---ooOoo---

Musim berganti, tapi bangku tua di taman itu kini tak pernah lagi sepi. Livia dan Raka masih sering datang, kadang membawa buket krisan putih, kadang hanya datang dengan cerita-cerita ringan dan tawa.

Setiap kali melihat kelopak bunga beterbangan, Livia tersenyum. "Ternyata janji masa kecil tidak pernah benar-benar hilang, ya?"

Raka mengangguk sambil menggoda, "Ya, meskipun butuh puluhan buket krisan dan waktu bertahun-tahun untuk akhirnya menepatinya."

Taman tua itu pun menjadi saksi bisu bahwa beberapa janji memang hanya menunggu waktu. Dan di bawah langit sore yang sama, dua hati yang pernah terpisah akhirnya kembali menemukan satu sama lain.

Kini setiap kali Livia membawa krisan putih, bukan lagi untuk janji yang tertunda, tetapi untuk mengingatkan bahwa janji itu sudah ditepati.

Seolah-olah alam pun ikut berbisik: beberapa cerita memang membutuhkan waktu untuk menemukan akhirnya.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja