Rahasia Bunga yang Tertinggal
Sore itu, langit mulai berwarna jingga, seolah malu-malu untuk beranjak ke malam. Di tepi taman tua yang jarang dikunjungi orang, duduklah seorang gadis dengan gaun merah menyala. Di pangkuannya, setangkai besar bunga krisan putih berdesakan, seakan mereka juga ingin ikut berbicara. Gadis itu, yang semua orang kenal sebagai Livia, tampak seperti sedang menunggu sesuatu—atau seseorang. Namun, dari tatapan matanya, yang ada hanyalah bayangan kenangan yang tak ingin dia lepaskan.
"Bunga ini terlalu berat, atau aku yang terlalu lemah?" gumam Livia sambil tersenyum tipis. Seekor kucing liar mendekat, mengendus ujung gaunnya, lalu pergi begitu saja, mungkin kecewa karena tak ada makanan di sana.
Orang-orang yang melintas sering bertanya-tanya: mengapa setiap minggu Livia datang ke taman ini, selalu dengan buket bunga yang sama? Tak seorang pun berani menanyakan langsung, takut jawaban yang didapat justru membuat mereka tak bisa tidur malam itu.
Hari itu angin bertiup sedikit lebih kencang, membawa satu kelopak bunga jatuh ke tanah. Livia menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia bergumam pelan, "Mungkin sudah saatnya aku bicara..."
---ooOoo---
Keesokan harinya, Livia kembali ke taman yang sama, membawa buket krisan putih yang tampak lebih segar dari kemarin. Ia meletakkannya di pangkuan, sambil sesekali memutar tangkai-tangkainya, seperti seseorang yang sedang memikirkan teka-teki sulit.
Seorang kakek tua yang sering memberi makan burung merpati menghampiri, "Nak, kalau boleh tahu, kenapa selalu krisan putih? Bukan mawar atau tulip?" tanyanya sambil menyuapkan remah roti ke kawanan burung.
Livia tersenyum samar. "Karena krisan tidak pernah berbohong, Kek. Mereka layu ketika waktunya tiba, tidak berpura-pura bertahan."
Kakek itu mengangguk, seolah paham, meskipun jelas terlihat ia tak mengerti apa-apa. "Ah, anak muda memang punya bahasa sendiri. Zaman saya dulu, kalau suka ya langsung bilang suka. Sekarang semua penuh teka-teki," gumamnya sambil berlalu.
Livia terkekeh kecil. "Mungkin aku memang rumit," ujarnya pada dirinya sendiri. Angin sore kembali berhembus, membawa aroma tanah basah. Ia menatap buket krisan itu dengan mata yang penuh rahasia, seakan di antara kelopaknya tersembunyi cerita yang belum siap ia buka.
Hari itu, ia memutuskan sesuatu: besok ia akan membiarkan satu bunga tertinggal di taman ini.
---ooOoo---
Keesokan harinya, Livia datang lebih pagi dari biasanya. Matahari baru saja naik, dan embun masih betah menggantung di daun-daun. Di bangku taman itu, ia duduk sambil menatap buket krisan putih di pangkuannya. Jemarinya bermain-main pada salah satu tangkai, seakan memilih bunga mana yang harus ia tinggalkan.
"Yang ini saja," gumamnya, memilih krisan yang kelopaknya sedikit lebih kecil. "Kau yang paling berani untuk tinggal."
Ia meletakkan bunga itu di atas bangku, berdiri, lalu berjalan menjauh. Namun baru lima langkah, ia menoleh lagi. Anehnya, bunga itu tampak seperti menatapnya balik—meskipun jelas itu hanya bunga.
Beberapa anak kecil yang lewat melihat bunga itu. "Eh, siapa yang meninggalkan ini? Cantik banget!" seru salah satu dari mereka. Mereka berdebat apakah bunga itu boleh diambil atau tidak, lalu memutuskan untuk meninggalkannya di situ, "biar yang punya balik lagi," kata mereka.
Livia mengamati dari jauh sambil tersenyum. Entah kenapa, hatinya terasa lebih ringan, seakan beban yang ia bawa selama ini ikut tertinggal bersama bunga itu. Namun di sudut pikirannya, ada kegelisahan: bagaimana jika seseorang menemukan bunga itu dan membaca rahasia yang tersembunyi di dalamnya?
---ooOoo---
Sore itu, seorang pemuda bernama Raka duduk di bangku taman yang sama, lelah setelah seharian berkeliling kota. Saat hendak merebahkan punggungnya, ia menemukan sesuatu yang aneh: setangkai krisan putih dengan gulungan kertas kecil yang terselip di antara tangkainya.
"Wah, bunga ini punya pesan rahasia?" gumamnya sambil membuka kertas itu dengan hati-hati. Tulisan di dalamnya rapi namun singkat:
"Jika kau menemukan bunga ini, berarti kau juga menemukan bagian dari cerita yang belum selesai."
Raka mengernyit. "Cerita yang belum selesai? Maksudnya apa?" Ia menatap sekeliling, mencari-cari apakah ada yang memperhatikannya. Tidak ada siapa pun, kecuali seekor kucing liar yang tampak kecewa karena ia tidak membawa makanan.
Tanpa sadar, Raka tertawa kecil. "Baiklah, bunga misterius, aku penasaran. Kalau ada kelanjutannya, aku akan mencarinya." Ia pun menyelipkan bunga itu di tasnya, bertekad kembali esok hari.
Sementara itu, Livia dari kejauhan melihat semuanya. Senyumnya campur aduk: lega sekaligus cemas. Ia tidak menyangka ada yang benar-benar menemukan bunga itu. "Kalau begitu, permainan sudah dimulai," gumamnya.
---ooOoo---
Keesokan paginya, Raka kembali ke taman dengan rasa penasaran yang makin membuncah. Ia duduk di bangku yang sama, memegang krisan putih yang ditemukannya kemarin. "Baiklah, siapa pun kau yang menulis pesan ini, aku sudah di sini," gumamnya.
Dari kejauhan, Livia datang membawa buket krisan baru. Ketika melihat bunga yang ia tinggalkan kemarin di tangan Raka, langkahnya terhenti sejenak. "Ah… jadi kau yang menemukannya," katanya pelan, cukup keras untuk didengar Raka.
Raka menoleh, terkejut. "Kamu… yang meninggalkan ini?" tanyanya sambil menunjukkan bunga itu.
Livia tersenyum samar. "Mungkin. Atau mungkin itu memang sudah seharusnya kamu yang menemukannya."
Mereka berdua terdiam beberapa saat, lalu Raka tertawa kecil. "Kau tahu, ini terasa seperti awal cerita film misteri. Aku Raka, si penasaran abadi."
Livia terkekeh. "Dan aku Livia, si penulis cerita yang belum selesai."
Sejak hari itu, taman tua yang biasanya sunyi mulai dipenuhi percakapan mereka. Sementara krisan-krisan putih terus berganti, satu hal tetap sama: rasa penasaran yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih hangat, lebih dalam.
Namun di hati Livia, satu rahasia besar masih tersimpan—dan ia tahu suatu hari Raka harus mengetahuinya.
BERSAMBUNG ....
Komentar
Posting Komentar