Lompatan Langit Bocah Serimpi
Pagi itu, langit desa Serimpi masih malu-malu membuka tirainya. Di halaman rumah yang separuhnya tanah, separuhnya rumput liar, seorang bocah bernama Galang sedang menatap dua batang bambu kurus dengan tatapan penuh harap—dan sedikit khawatir.
"Itu egrang atau tangga ke langit, Bu?" tanya Galang polos pada ibunya.
Ibunya hanya tertawa. "Kalau kamu jatuh, bisa jadi jalan pintas ke rumah tetangga sebelah!"
Galang menghela napas. Egrang itu buatan Pak Darto, tetangganya yang suka ngopi tapi jarang ngaduk. Dibilangnya, bermain egrang bisa bikin kaki kuat, badan tegap, dan yang penting: "Disukai banyak orang." Entah maksudnya orang-orang atau kambing-kambing yang sering nonton dari kejauhan.
Dengan kaus biru belel dan celana coklat favorit yang sudah berlobang di lutut kiri, Galang naik ke atas pijakan egrang seperti penari sirkus. Badannya goyah, seperti daun kelor tertiup angin.
Tapi ada semangat di matanya. "Hari ini aku akan berjalan lebih tinggi dari Mas Togar!" teriaknya—walau sebenarnya masih takut jatuh.
Dan dari balik semak, tiga ekor ayam menonton. Satu dari mereka tampak mengangguk—entah karena kagum atau bingung.
---ooOoo---
Mas Togar adalah legenda hidup di kampung Serimpi. Ia satu-satunya anak SMP yang pernah berjalan pakai egrang dari rumahnya sampai ke warung Bu Minah sambil makan kerupuk. Tanpa jatuh. Tanpa berhenti. Bahkan katanya, sempat mengucapkan salam pada Pak RT di tengah jalan.
Galang sangat mengagumi Mas Togar. Tapi juga kesal. Soalnya setiap kali Galang belajar egrang dan jatuh, Mas Togar selalu muncul dari semak-semak, seperti ninja pensiunan.
"Galang, kamu itu bukan naik egrang, tapi uji nyali!" ejek Mas Togar sambil tertawa dan memberikan tepukan pelan di punggung Galang—yang rasanya seperti ditepuk nasib.
Galang tak menyerah. Ia mulai latihan setiap sore, ditemani suara jangkrik dan ayam tetangga. Egrangnya mulai bersahabat, walau kadang-kadang masih ngambek dan bikin dia tersungkur.
Geng egrang elite—yang anggotanya hanya Mas Togar dan dua bocah lain yang lebih sering duduk di warung ketimbang latihan—menyebut Galang "si penantang langit", dengan nada setengah mengejek, setengah kagum.
Suatu hari, Mas Togar datang membawa tantangan: lomba egrang keliling lapangan desa saat acara tujuhbelasan. Galang menelan ludah. "Kalau menang, kamu bisa masuk geng kami," kata Togar, "Kalau kalah… ya, tetap jadi legenda jatuh tercepat."
Galang pun tersenyum—kecut.
---ooOoo---
Sejak menerima tantangan dari Mas Togar, Galang tak bisa tidur nyenyak. Bukan karena takut kalah—tapi karena ia terus membayangkan dirinya jatuh dengan gaya dramatis dan masuk berita desa. Judulnya: "Bocah Terbang Tanpa Sayap, Mendarat di Timbunan Jerami."
Ia tahu satu hal: kalau ingin menang, harus latihan lebih giat—dan diam-diam. Maka dimulailah operasi rahasia: Latihan egrang di balik lumbung padi milik Mbah Karyo. Lokasinya tersembunyi, jauh dari tatapan Mas Togar dan ayam-ayam komentator itu.
Galang membawa bekal: dua batang bambu egrang, sebotol air, dan sepotong pisang goreng sisa pagi tadi. Ia latihan setiap sore, meski kadang tergelincir gara-gara kulit pisang sendiri.
Di balik lumbung itu, ia menemukan gaya baru: langkah ‘kodok berani’, teknik melompat dengan irama—yang sebenarnya terjadi karena dia hampir jatuh, tapi sempat nyelamatin diri.
Suatu sore, Mbah Karyo memergoki Galang dan hanya berkata, "Wah, hebat kamu. Nanti kalau berhasil, ajari Mbah ya. Siapa tahu bisa ke pasar naik egrang, biar hemat sandal."
Galang tertawa. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa melampaui Mas Togar. Bukan karena tinggi badannya, tapi karena semangatnya sudah melompat jauh lebih tinggi.
Dan lomba tinggal tiga hari lagi...
---ooOoo---
Hari itu datang juga. Lapangan desa Serimpi sudah penuh sejak pagi. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut, dan suara mikrofon Pak RT yang bindeng menambah semangat—atau justru menambah kebingungan.
"Selamat pagi... eh, siang... eh pokoknya selamat, ya!"
Galang berdiri di antara para peserta lomba egrang. Tangannya berkeringat, kakinya gemetar, tapi dalam dadanya ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan: semangat, atau mungkin efek pisang goreng basi semalam?
Mas Togar ada di sebelahnya, lengkap dengan senyum percaya diri dan peluit gantungan di leher—padahal bukan panitia. "Siap kalah, Galang?" bisiknya.
Galang tak menjawab. Ia cuma menatap ke depan, ke garis finish di ujung lapangan. Saat peluit dibunyikan, semua peserta mulai melangkah, terseok, tertatih—kecuali satu: Galang.
Ia tidak buru-buru. Langkahnya mantap, pelan tapi pasti, seperti sedang menyusuri awan. Setiap gerakan mengingatkannya pada sore-sore di balik lumbung, pada jatuh bangun, pada tawa Mbah Karyo, dan pada impiannya: menjadi lebih dari sekadar bocah kampung.
Penonton bersorak saat Galang mendekati garis akhir. Bahkan ayam-ayam desa entah kenapa ikut berkokok riuh. Dan di detik terakhir, Galang melompat kecil... dan mendarat sempurna.
Mas Togar melongo. "Dia... menang?"
Pak RT sampai lupa pidato penutup. Galang hanya tersenyum, lalu berkata pelan, "Langit itu bukan soal tinggi, Mas. Tapi soal seberapa berani kamu naik."
TAMAT
Komentar
Posting Komentar