Petualangan Bocah Gobak Sodor

Angin sore menyapu halaman SD Negeri 3 Suka Maju, menggoyangkan daun jambu biji yang hampir rontok karena terlalu sering dipanjat anak-anak. Di bawah rindangnya, sekelompok bocah berseragam kusut berkumpul, bukan untuk belajar matematika atau IPA, tapi untuk satu hal yang jauh lebih penting: pertandingan gobak sodor.

"Nah, ini nih... garisnya udah gue lukis pake batu kapur," ujar Sari, si pemimpin regu yang dikenal tegas seperti ibu RT kalau arisan.

Rani, si ahli strategi yang biasa menyusun taktik seperti pelatih timnas, mengangguk sambil menggulung lengan bajunya. "Pokoknya, kali ini kita harus menang. Kelompok sebelah itu udah dua kali ngalahin kita. Harga diri kampung kita dipertaruhkan, guys!"

"Gue sih cuma mau bales dendam karena kemarin disuruh bawa air minum buat mereka. Mereka menang, kita yang jadi tukang galon," keluh Didi, anak paling kecil tapi paling banyak alasan.

Sementara itu, dari arah pojok lapangan, kelompok lawan mulai berjejer. Mereka tampil percaya diri, lengkap dengan selempang dari kain serbet ibu mereka, seolah-olah itu medali kemenangan.

"Wah, mereka udah latihan dari tadi pagi," bisik Lina dengan wajah panik.

"Aku juga tadi latihan... nguping strategi mereka dari balik pagar," jawab Tono sambil nyengir.

Satu per satu, anak-anak mulai mengambil posisi. Garis-garis putih kapur menjadi arena pertarungan. Wajah-wajah kecil itu kini serius, meski ada yang sesekali ketawa karena celana temannya bolong kena paku.

"Siap... MULAI!" teriak Pak RT yang kebetulan lewat dan langsung dipromosikan jadi wasit dadakan.

Begitulah, pertarungan dimulai. Suara tawa dan teriakan bersahutan, mengalahkan suara motor butut yang lewat.

Dan di sanalah awalnya semua bermula—kisah tentang persahabatan, strategi, dan rahasia-rahasia kecil yang akan membuat lapangan itu menjadi saksi petualangan tak terlupakan.

---ooOoo---

Pertandingan semakin panas. Teriakan anak-anak menggema di seantero lapangan seperti konser dadakan tanpa tiket. Tim Sari, yang menamakan dirinya "Laskar Garis Lapangan", tampak mulai kewalahan. Lawan mereka—anak-anak dari RT 02 yang terkenal suka latihan tiap Sabtu pagi sambil bawa termos teh manis—bermain lincah dan cepat.

"Didi! Jangan bengong! Itu bukan penjual cilok, itu lawan kita!" teriak Rani melihat Didi melongo ke pagar karena ada abang-abang lewat.

Didi buru-buru kembali fokus. "Aku cuma ngecek... siapa tahu itu strategi menyamar!" kilahnya, sambil tetap melirik ciloknya.

Sementara itu, Sari memutar otak. Ia menatap garis lapangan yang mulai menghapus oleh debu dan gerakan kaki. Sepatunya bolong di ujung, tapi semangatnya tidak. Ia tahu, jika mereka mau menang, mereka harus menggunakan jurus rahasia.

"Dengar ya, kita pake ‘Formasi Ular Sawah’," bisik Sari, gaya seperti agen rahasia. "Lina dan Tono jadi pengalih. Aku dan Rani tembus dari belakang. Didi... ya kamu tetap jangan bengong."

"Ular Sawah itu yang jalannya melintir-melintir?" tanya Tono polos.

"Iya, tapi ini versi kita. Yang penting tembus garis," jawab Sari sambil menepuk pundaknya.

Formasi pun dijalankan. Lina dan Tono mulai berlari-lari kecil sambil mengecoh penjaga garis. Mereka bikin gerakan aneh, mulai dari loncat-loncat seperti katak, sampai pura-pura keseleo.

Penonton yang duduk di bangku bambu pinggir lapangan mulai tertawa terbahak-bahak. Bahkan Pak RT sebagai wasit sampai bingung, ini olahraga atau pertunjukan komedi rakyat.

"Pak RT, yang itu pura-pura atau beneran jatuh?" tanya seorang ibu yang lewat sambil bawa belanjaan.

"Kayaknya pura-pura... soalnya pas jatuh, dia ngedipin mata ke temennya," jawab Pak RT sambil nyengir.

Tiba-tiba, dari sisi lapangan, Sari menerobos garis sambil berteriak, "Ular datang! Ular datang!"

"ULAAAAR!" jerit penjaga garis, ikut panik, dan malah lari sendiri keluar lapangan.

Satu poin berhasil direbut.

Laskar Garis Lapangan bersorak. Tapi ini baru awal. Masih ada strategi-strategi aneh lainnya yang belum keluar dari gudang rahasia mereka...

---ooOoo---

Pertandingan makin mendebarkan. Lapangan tanah itu kini penuh jejak kaki, kapur yang tadinya jelas kini tinggal bayangan samar, dan Didi sudah mulai ngos-ngosan padahal baru lari dua kali bolak-balik.

"Gue haus… kayaknya tadi cilok beneran," rengeknya sambil meletakkan tangan di pinggang, gaya seperti pemain bola profesional yang kecapean.

"Fokus, Didi! Kalau kita menang, nanti aku traktir kamu es lilin rasa kacang ijo," kata Rani menyemangati.

"Kalau kalah?"

"Kamu yang traktir aku," jawab Rani dengan senyum lebar.

Di tengah semangat yang naik-turun seperti sinyal WiFi sekolah, muncul ide gila dari Tono. Anak yang satu ini memang kadang terlalu kreatif. Ia mendekati Sari dengan penuh keyakinan.

"Sar, aku tadi nemu pisang goreng di kantin. Kalau kita taruh di dekat garis pertahanan mereka, mereka pasti lengah!"

"Strategi cemilan?" tanya Sari curiga, tapi juga penasaran. "Coba."

Tono pun segera beraksi. Ia mengambil sepotong pisang goreng sisa dari tasnya, yang sudah agak lemas tapi masih harum. Dengan penuh kehati-hatian, ia berjalan ke tepi garis dan berpura-pura mengikat tali sepatu.

"Taraaaa... jebakan wangi!" bisiknya sambil meletakkan pisang goreng di atas tanah.

Dan seperti yang diprediksi, salah satu pemain lawan tiba-tiba berhenti. "Eh, ini siapa yang jatuhin makanan?"

"Aku sih kalau nggak puasa udah aku ambil," kata satunya lagi sambil tertawa.

Dalam momen itulah, Lina melesat seperti peluru odol dilempar, menembus garis sambil melompat ala ninja ke tengah lapangan. Sorak-sorai kembali pecah.

Pak RT sebagai wasit mulai mencatat skor di buku warung, karena lupa bawa kertas. "Dua-satu buat Laskar Garis Lapangan!" teriaknya.

Namun, strategi mereka mulai dikenali. Lawan tidak tinggal diam. Mereka mulai memperketat barisan seperti tentara jaga istana. Bahkan ada yang mulai berbaris dengan tangan rapat di belakang, mirip formasi barongsai kurang kepala.

"Kayaknya kita butuh strategi pamungkas," ujar Sari.

Tono mengangkat tangan. "Gimana kalau pura-pura ada ayam kabur?"

Semua menatapnya diam.

"…Oke, jangan yang itu," katanya cepat-cepat.

Tapi dari balik lapangan, terdengar suara motor. Itu suara Pak Lurah.

Dan di saat semua lengah… sesuatu yang lebih besar menanti.

---ooOoo---

Suara motor Pak Lurah makin dekat, membuat seluruh pasukan di lapangan menegang seperti penggaris kayu waktu ulangan. Semua tahu: jika Pak Lurah berhenti dan nimbrung, maka pertandingan bisa berubah jadi lomba baca Pancasila dadakan.

"Tenang… mungkin dia cuma lewat…" bisik Didi penuh harap.

Tapi harapan tinggal harapan. Motor Pak Lurah berhenti tepat di pinggir lapangan. Dengan kacamata hitam setengah turun di hidung dan peci agak miring, beliau menatap mereka sambil membuka suara:

"Wah! Gobak sodor! Mainan masa kecil saya dulu! Ada yang kosongin posisi? Saya ikut, ya!"

Anak-anak saling pandang. Lawan maupun kawan sama-sama bingung. Tapi mana bisa nolak Pak Lurah? Bisa-bisa besok izin pinjam lapangan ditolak.

"Silakan, Pak!" sahut Tono cepat, meski hatinya menjerit karena posisi penjaga utamanya kini digantikan oleh seorang pria paruh baya dengan semangat 17 Agustusan.

Permainan kembali dimulai, kali ini dengan Pak Lurah sebagai penjaga garis belakang. Ia serius luar biasa. Setiap anak yang mendekat langsung ditatap seperti murid terlambat upacara.

"JANGAN COBA-CUBA LEWAT SINI YA! INI WILAYAH KELURAHAN!" teriaknya, membuat Tono dan Lina mental mundur seperti ditolak cinta pertama.

Sari menyadari bahwa ini saatnya mengeluarkan jurus pamungkas yang disimpan sejak SD kelas satu: Formasi Kaki Kram Palsu.

Begitu bola dilempar ke tengah (yang sebenarnya cuma sandal jepit dijadiin bola), Sari langsung meringis kesakitan dan duduk di tanah. "Aduh! Kakiku! Kram! Kayak mi instan belum direbus!"

Semua langsung berhenti, termasuk Pak Lurah yang spontan menghampiri. "Mana? Sini saya pijitin. Dulu saya pernah jadi mantri!"

Saat semua fokus ke Sari, Rani memanfaatkan kekosongan garis. Dengan langkah ringan seperti kucing menghindari ember air, ia melesat ke garis terakhir dan—ZAPP!—melewati Pak Lurah yang masih sibuk menanyakan letak kram.

"MASUK!!" teriak Pak RT, yang saking semangatnya sampai terbalik nyeker.

Anak-anak langsung bersorak. Mereka berlarian, berpelukan, bahkan Didi sampai lupa haus.

Pak Lurah berdiri sambil tertawa, "Wah, kalian luar biasa. Lain kali, ajak saya dari awal. Tapi ingat, jangan pura-pura kram lagi ya, Sari!"

Sari nyengir, "Iya Pak, besok saya pura-pura encok aja."

Tawa pun pecah.

Dan sejak hari itu, setiap sore lapangan SD Negeri 3 Suka Maju selalu penuh—dengan canda, strategi nyeleneh, dan satu motor Pak Lurah yang selalu siap parkir di pinggir garis.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja