Narsion Sang Naga Penjaga Awan

Di atas Puncak Awan Tersipu, sebuah gunung yang begitu tinggi hingga awannya suka menabrak batu karangnya, berdiri seekor naga berwarna biru kehijauan. Namanya Narsion. Ia bukan naga biasa. Selain bisa terbang dengan kecepatan setara layangan lepas saat tahun baru, Narsion juga punya kemampuan unik: ia bisa berbicara... dengan dirinya sendiri.

"Ah, udara pagi! Tapi kenapa selalu dingin ya?" gerutunya sambil meringkuk di balik sayap merah menyala. Sayapnya memang besar dan gagah, tapi untuk urusan hangat-hangatan, tetap kalah sama selimut.

Narsion adalah penjaga awan—tugas yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyangnya yang katanya dulunya penjual cuaca. Setiap pagi, tugasnya adalah memastikan awan tidak nyasar ke tempat wisata atau menumpuk di atas pasar.

Tapi hari itu, awan-awan tampak gelisah. Mereka berkumpul di satu titik, berputar seperti sedang mengadakan rapat dadakan. Narsion mengernyit. “Hmm, jangan-jangan ada yang bikin ulah lagi…”

Ia mengepakkan sayapnya dan terbang turun dari puncak. Tapi sebelum sampai jauh, seekor burung kecil nyelonong dan menabraknya. “Aduh! Siapa naruh burung di jalur naga?!”

Apa yang ditemukan Narsion di balik awan gelisah itu?

---ooOoo---

Burung yang menabrak Narsion ternyata bukan burung biasa. Ia kecil, bulat, dan punya ekspresi seperti baru bangun kesiangan untuk ujian.

“Maaf! Maaf! Aku tidak sengaja! Aku buru-buru!” teriak si burung sambil mengepak-ngepak tak tentu arah.

Narsion mengibaskan asap dari hidungnya, bukan karena marah, tapi memang sedang pilek naga musiman. “Kau siapa? Dan kenapa seperti kurir paket yang salah alamat?”

“Aku Pipin. Pengantar pesan resmi dari Kementerian Awan-Awanan. Tapi... eh... aku kehilangan pesanku,” jawab Pipin sambil memutar badannya ke kiri dan ke kanan, seperti orang yang baru sadar dompetnya hilang.

Narsion mendesah. “Hebat. Jadi kau nabrak aku, kehilangan pesan, dan sekarang kita sama-sama bingung. Luar biasa kombinasi pagi ini.”

Pipin menunduk, lalu mengangkat kepalanya cepat-cepat. “Tapi yang kuingat, pesannya penting! Tentang—eh—perpindahan awan ke wilayah terlarang!”

Mata Narsion membelalak. “Wilayah Terlarang? Itu tempat di mana awan-awan bandel suka bikin badai sendiri!”

Tanpa pikir panjang, Narsion menggulung ekornya dan memberi kode ke Pipin. “Naik. Kita cari pesanmu. Kalau tidak ketemu... yah, semoga tidak ada yang berubah jadi es batu.”

Dan begitulah, naga dan burung mungil itu pun meluncur ke arah awan gelisah...

---ooOoo---

Penerbangan menuju awan-awan gelisah itu tidak semulus jalan tol di iklan. Pipin sempat terbang mundur karena angin kencang, dan Narsion hampir tertukar arah dengan layangan bocah desa.

Setibanya di tengah kerumunan awan, Narsion memicingkan mata. Awan-awan itu berputar pelan membentuk lingkaran besar. Di tengahnya, ada awan abu-abu agak gelap dengan ekspresi... cemberut?

“Awan... galau?” bisik Pipin, menyembul dari balik tanduk Narsion.

Awan abu-abu itu menatap mereka. “Kalian datang juga... Akhirnya.”

Narsion mendekat, kakinya mendarat pelan di gumpalan awan. “Siapa kau? Kenapa kau bikin keributan? Dan—eh—kenapa semua awan ini seperti sedang nonton drama?”

“Saya adalah Awan Tua. Dulu saya penjaga langit barat. Tapi kini... saya diasingkan,” katanya sambil memutar tubuhnya dramatis seperti pemain teater. Pipin nyaris bertepuk tangan kalau tak sadar sedang di tengah misi penting.

Narsion mengerutkan alis. “Diasingkan? Karena apa? Jangan-jangan kamu... ngambek karena diparkir terlalu lama di atas laut?”

Awan Tua tertawa. “Oh, andai sesederhana itu.”

Ia mengembuskan kabut tipis, membentuk huruf di udara:

“Ramalan Hujan Besar—Tanggalnya Dipercepat.”

Narsion menatap tulisan itu, lalu menoleh ke Pipin yang kini pucat. “Waduh,” kata Pipin, “pesan yang hilang itu... tentang ini!”

Sesuatu besar akan terjadi. Dan waktunya sudah dekat...

---ooOoo---

Narsion menatap awan-awan di sekitarnya, yang kini mulai resah seperti penonton konser yang tahu lampu panggung mati. Pipin gemetar di atas tanduk naga. “Jadi... hujan besar bakal datang lebih cepat?”

Awan Tua mengangguk pelan. “Lebih cepat dan... lebih deras dari biasanya. Kalau tak segera diarahkan, bisa-bisa desa di lembah terendam sebelum mereka sempat jemur kasur!”

Narsion menarik napas panjang—sedikit membuat Pipin terbang ke belakang sebelum kembali mencengkeram erat. “Oke, ini saatnya jadi naga sejati. Kita atur ulang formasi awan, dan pastikan hujan jatuh di tempat yang butuh—bukan yang sedang cuci motor.”

Ia mengepakkan sayapnya lebar-lebar. “Pipin! Kirim sinyal ke tim awan timur. Arahkan ke hutan. Mereka haus!”

Pipin langsung meluncur seperti peluru mini, menyebarkan kabar dengan gaya khas burung kecil yang terlalu semangat: sambil nyenggol semua awan yang dilalui.

Dalam waktu singkat, langit mulai tertata. Awan-awan yang tadinya bingung kini membentuk pola rapi seperti parade langit. Hujan turun perlahan, membasahi tempat yang tepat. Di desa bawah, penduduk sempat mengangkat jemuran, lalu tersenyum lega karena sawah mereka disirami air segar.

Awan Tua tersenyum. “Kau memang naga penjaga... bukan hanya langit, tapi juga harapan.”

Narsion mengangkat dagunya. “Tentu. Tapi tolong, jangan jadikan aku meme naga bijak ya.”

Dan Pipin? Ia kembali dengan pesan baru... berisi undangan makan siang dari Menteri Cuaca.

Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja