Gadis di Balkon Awan
Kabut masih menari-nari di antara pucuk-pucuk menara saat Dara membuka matanya. Udara di balkon itu terasa seperti kapas yang baru dicuci—dingin, bersih, dan sedikit harum bunga melati. Ia berdiri di ujung balkon batu, memandangi lautan awan di bawah sana, seolah dunia telah berpindah ke langit.
Dara tidak tahu bagaimana ia bisa sampai di sana. Yang ia ingat hanyalah duduk membaca buku di taman belakang rumah neneknya yang penuh semak mawar, lalu... tiba-tiba saja berada di sini, mengenakan celana emas yang entah milik siapa. Sejujurnya, ia tidak ingat pernah memiliki celana yang begitu berkilau kecuali saat acara pentas seni kelas lima.
"Ini mimpi, atau aku sedang syuting iklan sabun mandi?" gumamnya sambil menepuk pipinya sendiri.
Tapi suara burung bernyanyi dari balik tiang pilar menjawab keraguannya—ini bukan mimpi. Di kejauhan, menara-menara menjulang seperti jamur-jamur raksasa, dan di bawahnya... tak ada tanah. Hanya lautan awan dan warna-warna fajar yang menari.
Tepat saat ia hendak melangkah ke dalam ruangan, suara laki-laki paruh baya terdengar dari balik pintu:
"Selamat pagi, Putri Dara. Apakah mimpi Anda menyenangkan?"
Dara menelan ludah. Putri? Sekarang dia malah bingung, apakah ini dunia fantasi, atau dia tertukar dengan tokoh film kolosal.
---ooOoo---
Dara berjalan pelan masuk ke dalam ruangan di balik balkon. Lantainya mengilap seperti permukaan danau, sementara dinding-dindingnya dipenuhi lukisan yang tampak seperti… dirinya sendiri. Beberapa lukisan menggambarkan dia sedang membaca buku, duduk di taman, bahkan satu sedang makan mi instan dengan sumpit—cukup mengejutkan untuk ukuran istana seperti ini.
"Silakan duduk, Putri. Teh awan pagi ini wangi sekali," kata pria paruh baya tadi, membungkuk sopan seperti pelayan di film-film kerajaan. Rambutnya putih, dan janggutnya bergerak lucu saat ia tersenyum.
Dara hanya bisa mengikuti dengan kikuk. Ia duduk, memegang cangkir teh yang entah terbuat dari apa—terlalu ringan untuk keramik, terlalu cantik untuk plastik. Ia mencium aromanya.
"Seperti… boba rasa vanila?" bisiknya, bingung.
"Ah, selera Putri memang tidak berubah," kata pria itu sambil tertawa. "Namaku Pak Lagan, penasihat kerajaan. Dan istana ini—" ia mengangkat tangannya dramatis, "adalah Istana Langit Bening. Tidak ada di peta dunia manusia, tentu saja. Hanya muncul bila dipanggil oleh hati yang... penasaran."
Dara hampir menyemburkan tehnya. "Jadi… saya nyasar ke dunia lain hanya karena saya… penasaran?"
Pak Lagan mengangguk serius. "Betul. Dunia ini disusun dari rasa penasaran. Dan Putri—Anda telah membukanya."
Dara memandangi cermin di seberangnya. Ia mengedip sekali, lalu dua kali. Lalu ia berkata, "Jadi ini bukan karena saya makan mi instan kadaluarsa, ya?"
Pak Lagan hanya tertawa. Tapi di matanya, ada sinar yang tak main-main.
---ooOoo---
Dara mengikuti Pak Lagan menuruni tangga spiral yang entah sejak kapan muncul di pojok ruangan. Tangga itu seakan tidak berujung, melingkar dan melayang di udara tanpa tiang penyangga, namun setiap pijakannya terasa kokoh. Sesekali, seekor burung kecil berwarna biru terang melintas, membawa surat kecil di paruhnya, seperti burung pos... tapi lebih aktif daripada Pak RT waktu musim pemilu.
"Putri," ujar Pak Lagan, "ada sesuatu yang harus Anda lihat di Ruang Kenangan."
"Kalau ini jebakan ala film petualangan dan saya tiba-tiba dikejar patung batu raksasa, saya akan menjerit," gumam Dara, setengah bercanda, setengah serius.
Ruang Kenangan berada di tengah ruang bundar dengan dinding dari kristal transparan. Di dalamnya ada satu benda saja: sebuah meja kecil, dan di atasnya—sebuah buku tebal dengan sampul kulit tua. Di punggung bukunya, tertulis dalam huruf yang tampak seperti campuran tulisan tangan dokter:
"Dara Ayuning, Pewaris Terakhir"
Dara terdiam. Ia memandangi namanya, yang tertulis dengan jelas. Hanya satu pertanyaan muncul di kepalanya: "Pewaris terakhir… apa? Toko roti? Kerajaan? Atau... channel YouTube?"
Pak Lagan tersenyum kecil. "Anda adalah pewaris terakhir dari Penjaga Langit. Tapi sebelum Anda percaya, Anda harus mengingat."
"Lho, saya lupa ya?"
"Putri tidak lupa... hanya tertinggal."
Tiba-tiba, lembaran-lembaran buku itu mulai membuka sendiri, memperlihatkan kilasan gambar dan cahaya yang menari di udara, seperti hologram. Salah satu gambar menunjukkan seorang anak kecil… mirip dirinya… memegang tongkat bersinar… di atas punggung seekor naga awan.
Dara nyaris jatuh. "Oke... jadi saya pernah naik naga? Serius?"
Pak Lagan menatapnya sambil berkata, "Dan naga itu masih menunggu. Ia belum pergi. Karena tugasmu belum selesai."
---ooOoo---
Dara menatap gambar dirinya menaiki naga awan dengan tatapan kosong seperti anak SMA habis ditanya guru: "Coba kamu yang belakang, sebutkan isi pasal 33 ayat 2!"
"Jadi, saya ini... naik naga. Di langit. Sambil bawa tongkat," katanya pelan. "Kok kayak Harry Potter versi anak kost?"
Pak Lagan tampak geli. "Bedanya, tongkat Anda bisa menyulap nasi goreng!"
"APA?!"
"Eh, maaf… itu mimpi saya semalam. Tongkat Anda bisa membuka Gerbang Awan, bukan dapur."
Dara menghela napas. "Tapi kenapa saya gak ingat semua ini? Bahkan saya baru tahu saya punya nama belakang ‘Ayuning’ barusan."
"Karena waktu Anda kecil," jawab Pak Lagan sambil menunjuk halaman berikutnya, "Anda sendiri yang menyembunyikan ingatan itu. Alasannya... unik."
Tiba-tiba halaman buku menunjukkan adegan Dara kecil, duduk bersila sambil menulis memo di kertas tisu:
"Kepada saya di masa depan, tolong jangan ganggu dunia naga dulu. Lagi sibuk belajar matematika. Terima kasih. Dari saya yang penuh PR."
Dara menepuk jidat. "Saya yang nulis?!"
Pak Lagan tertawa. "Anda menandatanganinya pakai sidik jari saus tomat."
Sebelum Dara bisa mengomel soal kejeniusannya sendiri, langit bergemuruh. Sebuah pintu besar terbuka di sisi ruangan, dan suara berat terdengar:
"DARA... KAU SIAP?"
Dari balik kabut, seekor naga besar muncul, tubuhnya bersinar seperti kilatan pelangi setelah hujan. Ia tampak gagah, berwibawa, dan... mengenakan apron bertuliskan: "Masakan Ibu Lebih Enak."
"Lho... dia masak juga?" tanya Dara.
Pak Lagan angkat bahu. "Naga juga butuh kerja sambilan, Putri."
Dara tertawa, lalu berdiri. "Baiklah, dunia langit. Aku siap... asalkan boleh bawa bekal."
Dan dengan langkah mantap—serta perut sedikit lapar—Dara melangkah menuju petualangan baru, bersama naga koki dan tongkat yang tidak bisa menyulap nasi goreng, tapi bisa membuka takdir.
TAMAT... atau baru saja dimulai?
Komentar
Posting Komentar