Derak Terakhir Dokar

Pagi itu, desa Tegaljaya diselimuti kabut tipis. Udara masih dingin, tapi suara roda dokar yang berderit pelan sudah terdengar dari ujung jalan. Pak Margo, kusir tua yang sudah tiga puluh tahun menarik dokar, menggigit ujung rokok cengkehnya yang belum menyala.

“Ndut, pelan ya... kita antar Bu Tini ke pasar,” katanya pada kuda betina kesayangannya.

Ndut mengangguk—atau mungkin hanya mengibas telinganya karena nyamuk. Tapi bagi Pak Margo, kuda itu sudah seperti teman lama. Mereka tak perlu banyak bicara untuk saling mengerti.

Bu Tini, pedagang sayur langganan, sudah menunggu di depan rumahnya. Dengan keranjang penuh kangkung dan tempe bungkus daun jati, ia naik ke dokar sambil tersenyum.

“Masih kuat ya dokarnya, Pak?” tanya Bu Tini sambil duduk.

“Masih, Bu. Cuma rodanya kadang bunyi ‘kretek’ kayak lutut saya,” jawab Pak Margo, lalu tertawa kecil.

Dokar bergerak perlahan menembus jalanan tanah yang sedikit becek. Matahari mulai muncul malu-malu di balik pepohonan.

Namun, pagi itu sebenarnya bukan hari biasa. Di saku Pak Margo, terselip sebuah surat dari Dinas Perhubungan. Surat yang bisa mengubah hidupnya… dan mungkin jadi perjalanan terakhir bagi dokar tuanya.

---ooOoo---

Setelah mengantar Bu Tini ke pasar, Pak Margo duduk sebentar di warung kopi. Ia memesan kopi hitam dan sepotong gorengan tahu isi. Sambil menyesap pelan, ia membuka lipatan surat yang tadi ia selipkan di saku kemejanya.

Kertasnya sudah lecek, tapi tulisan resminya jelas:
"Pemberitahuan Penghentian Operasional Kendaraan Tradisional—Dinas Perhubungan Kabupaten."

Pak Margo menghela napas. Ia sudah dengar desas-desusnya. Pemerintah daerah ingin menghapus semua kendaraan tradisional demi "modernisasi transportasi pedesaan". Semua dokar akan diganti dengan minibus angkutan desa. Gratis, katanya. Lebih cepat, katanya. Tapi tak ada yang menanyakan pendapat kuda… atau kusir.

“Katanya sih biar desa jadi lebih ‘maju’, Pak,” ujar Pak Darto, tukang tambal ban yang duduk di sebelahnya.

“Maju apanya kalau Ndut saya nganggur?” jawab Pak Margo pelan.

Warung itu mendadak sepi. Bahkan kipas angin di pojok warung seperti ikut berhenti.

Pak Margo menatap ke arah dokarnya yang terparkir di bawah pohon mangga. Tali kekangnya tergantung pelan, dan Ndut seperti tahu sedang dibicarakan—ia hanya berdiri diam, matanya menatap jauh.

Sore itu, saat semua orang sibuk mengejar modernitas, Pak Margo justru memikirkan satu hal:

Bagaimana caranya pamit… kepada kuda?

---ooOoo---

Malam harinya, Pak Margo duduk di teras rumahnya. Di sampingnya, Ndut berdiri tenang, mengunyah jerami pelan-pelan seperti biasa. Lampu petromaks menggantung redup, dan suara jangkrik mengisi kekosongan malam.

Di pangkuannya, surat dari dinas itu terlipat rapi. Sudah lima kali dibaca, tetap saja isinya tidak berubah.

“Ndut…” katanya pelan, “kalau kamu bisa ngomong, kamu mau terus narik atau pensiun?”
Ndut hanya mengibaskan ekor. Mungkin jawabannya: “Yang penting ada makan dan dielus, Pak.”

Pak Margo tersenyum. Dalam diam, kenangan datang bertubi-tubi. Ia ingat saat pertama kali membeli Ndut dari pasar hewan. Masih kecil waktu itu, lincah dan... sedikit nakal. Pernah kabur, lari ke sawah dan membuat dua petani terkejut karena kuda nyelonong sambil nyeret gerobak kosong.

Lalu, perjalanan-perjalanan panjang: mengantar rombongan anak sekolah, mengantar rombongan musik gamelan, bahkan pernah antar dukun beranak yang buru-buru karena ada warga yang mau melahirkan. Dokar itu bukan sekadar alat—ia bagian dari hidup warga Tegaljaya.

Pak Margo menatap langit.

“Apa semua ini memang waktunya selesai?” bisiknya.

Tapi belum sempat ia menjawab, datanglah seorang tamu tak terduga: Pak Lurah, dengan wajah serius dan sebuah usulan yang tak disangka-sangka…

---ooOoo---

Pak Lurah duduk di kursi bambu depan rumah Pak Margo, tangannya memegang cangkir teh hangat. Di bawah lampu petromaks, ia menatap Pak Margo dengan pandangan sungguh-sungguh.

“Saya tahu, surat dari dinas itu bikin bingung. Tapi saya datang bukan mau merampas dokar Bapak,” katanya membuka pembicaraan.

Pak Margo diam saja. Di sampingnya, Ndut mendengus kecil, entah karena nyamuk atau karena ikut penasaran.

“Kami rencana bikin kawasan wisata budaya desa. Ada rute keliling kampung naik dokar. Yang narik? Ya siapa lagi kalau bukan Bapak,” lanjut Pak Lurah.

Pak Margo tertegun.

“Jadi... dokar saya gak perlu pensiun?”

“Bukan cuma gak pensiun, Pak. Tapi malah jadi daya tarik desa kita.”

Angin malam bertiup pelan. Di hati Pak Margo, seperti ada pintu yang baru saja terbuka.

Seminggu kemudian, dokar tua Pak Margo dicat ulang. Roda kayu diganti baru, dan Ndut dapat pelana kulit buatan pengrajin lokal. Setiap akhir pekan, wisatawan dari kota datang untuk merasakan keliling desa naik dokar.

Anak-anak tertawa. Orang dewasa tersenyum. Dan Pak Margo, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, merasa dokarnya bukan sekadar kendaraan tua—tapi warisan hidup.

Dan Ndut? Masih setia. Kini, setiap kali berderak di jalanan desa, ia bukan hanya membawa beban, tapi juga cerita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja