Senja di Antara Gedung-Gedung

Di tengah hiruk pikuk kota yang sibuk dan tak pernah tidur, seorang perempuan berdiri diam di trotoar, seolah menjadi jeda dalam paragraf panjang kehidupan metropolitan. Namanya adalah Nara. Rambutnya merah keemasan disanggul rapi, senyumnya tipis tapi cukup untuk membuat tukang ojek di seberang jalan hampir lupa menarik gas.

Hari itu ia mengenakan gaun kuning mustard yang mencolok, bukan karena ingin diperhatikan, tapi karena katanya, “kalau warnanya cerah, nasib juga jadi cerah.” Teori yang belum terbukti secara ilmiah, tapi cukup ampuh membuatnya percaya diri.

Nara bukan siapa-siapa di kota ini, tapi juga bukan sembarang orang. Ia bekerja sebagai ilustrator freelance, lebih sering menggambar burung daripada mengurus surat pajak. Tapi yang membuatnya menarik bukan pekerjaannya, melainkan tatapannya—penuh rahasia, seperti lemari tua yang tak semua lacinya boleh dibuka.

Sore itu, ia sedang menunggu seseorang. Atau mungkin sesuatu. Ia melirik jam tangan—tiga menit lewat dari waktu janjian. “Mungkin dia nyasar ke dimensi lain,” gumamnya, setengah kesal, setengah berharap.

Tiba-tiba, dari kejauhan, muncullah sesosok pria membawa kucing di dalam tas belanja.

Nara mengerutkan kening. “Jangan bilang itu dia…”

---ooOoo---

Pria itu berjalan santai, seperti sedang menikmati iklan sabun mandi yang terlalu panjang. Ia mengenakan kaus putih yang kebesaran dan celana jeans lusuh yang sudah selangkangan-nggak-nyaman. Tapi yang paling menarik perhatian adalah tas belanja plastik bening di tangannya, yang berisi... seekor kucing oranye dengan wajah datar seperti tidak diundang ke pesta.

Nara menatap bingung. Ia tidak pernah menyangka bahwa "seniman urban" yang dijanjikan oleh klien barunya akan muncul dengan kucing dalam kantong Alfamart.

“Maaf, Nara, ya?” tanya pria itu sambil menyodorkan tangan dan mengimbangi gerakan si kucing yang nyaris melompat keluar. “Saya Raga. Jangan tanya soal nama, orang tua saya fans berat kata kerja.”

Nara tersenyum setengah bingung, setengah geli. “Dan itu?”

“Oh, ini? Namanya Sosis. Saya enggak tega ninggalin di kos. Dia trauma sama vacuum cleaner.”

Nara tidak tahu harus tertawa atau pulang saja. Tapi ada yang aneh. Di balik tampangnya yang santai dan ucapannya yang penuh absurditas, Raga memancarkan aura… nyaman. Seperti sofa tua yang empuk, agak bau lemari, tapi entah kenapa bikin betah duduk.

---ooOoo---

Kafe tempat mereka bertemu bernama “Ngopi-ngopi Tipis,” sebuah tempat yang terlalu kecil untuk disebut nyaman tapi terlalu lucu untuk tidak dikunjungi. Interiornya serba kayu, dengan aroma kopi dan sedikit bau AC bocor yang bisa dimaafkan karena baristanya tampan.

Raga langsung memesan cappuccino, sambil menyelipkan tas berisi Sosis di bawah meja. Kucing itu mendengkur pelan, tampak puas seperti pelanggan tetap yang tahu spot duduk terbaik.

Nara mengeluarkan sketsa dan membuka pembicaraan, “Jadi… kamu beneran seniman mural?”

“Secara sah belum. Tapi secara moral dan spiritual, saya merasa sudah.” jawab Raga sambil meniup busa kopinya yang terlalu agresif.

Mereka lalu berbicara panjang lebar soal proyek mural, perubahan iklim, dan bahkan semangka. “Pernah nggak kamu mikir, kenapa warnanya hijau di luar, merah di dalam, dan bijinya hitam? Itu kan filosofi hidup banget!” ujar Raga.

Nara hanya bisa mengangguk sambil menahan tawa. Tapi tawa itu langsung terhenti saat terdengar suara gaduh di belakang.

“Sosis…” gumam mereka bersamaan.

---ooOoo---

Kafe kecil itu mendadak seperti arena pencarian harta karun. Bukan emas, bukan gulungan peta bajak laut—tapi seekor kucing oranye bernama Sosis yang entah bagaimana bisa lolos dari tas dan kini entah berada di mana.

“Sosis itu memang berbakat kabur,” gumam Raga panik, merangkak ke bawah meja sambil menggeser sandal pengunjung.

Nara ikut mencari, walau harus menahan tawa karena Raga sempat nyaris menyapa patung kucing pajangan di sudut ruangan. “Itu keramik, Pak,” kata barista sambil menyodorkan senter.

Sampai akhirnya, Sosis ditemukan… duduk manis di atas novel berjudul Cara Menjadi Tak Terlupakan.

“Kucingmu punya selera,” kata Nara, tertawa kecil.

“Mulai sekarang, kamu saya gembok pakai kasih sayang,” ujar Raga pada Sosis dengan nada khidmat.

Langit mulai gelap ketika mereka keluar dari kafe. Lampu kota menyala, dan senja memberi salam perpisahan.

Mereka berjalan berdampingan tanpa arah pasti. Tapi bagi Nara, hari itu bukan hanya tentang proyek seni, tapi tentang cerita yang mungkin baru saja dimulai—berkat seekor kucing bernama Sosis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja