Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

Lomba yang Ditunggu

Gambar
Hari itu langit tampak cerah, seolah ikut bersorak menyambut hiruk pikuk acara di lapangan desa. Anak-anak berlarian ke sana kemari, membawa tawa yang berderai-derai. Di sudut lapangan, empat anak sudah bersiap dengan karung goni yang dipakai sebagai kostum dadakan. Mereka adalah Bima, Danu, Rara, dan Lila. Keempatnya berdiri berjejer sambil saling menatap penuh semangat. Karung yang mereka pakai jelas terlalu besar, sehingga terlihat seperti sedang mengenakan pakaian kebesaran dari nenek buyut. "Kalau jatuh, jangan lupa tertawa dulu sebelum bangun," canda Danu sambil menarik karungnya ke atas. Ucapan itu membuat yang lain ikut tergelak. Rara, yang terkenal paling serius, pun tak bisa menahan senyum. "Kalau begitu, siap-siap saja nanti aku yang duluan sampai garis akhir," katanya dengan nada menantang. Sementara itu, Lila sibuk menarik-narik bagian bawah karungnya. "Aduh, ini karungnya panjang sekali. Jangan-jangan aku bisa hilang di dalamny...

Rahasia di Balik Kelokan

Gambar
Pagi itu, matahari seperti sengaja bangun lebih awal hanya untuk memandangi sepasang sepeda yang melaju di jalan desa yang teduh. Daun-daun pohon bergoyang ringan, seolah melambai pada tiga orang yang sedang melintas. Di depan, seorang wanita berambut sebahu mengayuh sepedanya dengan irama santai. Sesekali ia menoleh, tersenyum pada anak kecil yang duduk di kursi tambahan di belakang sepeda pria di sebelahnya. Pria itu mengayuh lebih mantap, namun bibirnya tak berhenti melontarkan kalimat-kalimat lucu. "Kalau Ayah kayuh lebih cepat, kita bisa sampai di depan matahari," ucapnya sambil menahan tawa. Anak kecil itu, dengan mata berbinar, justru menjawab, "Kalau kita kejar matahari, nanti dia takut terus sembunyi!" Wanita itu tertawa hingga hampir oleng. "Hati-hati, jangan sampai jatuh gara-gara bercanda!" serunya. Namun tawa itu justru membuat suasana semakin hangat. Di sisi jalan, bunga-bunga kuning mekar liar, seperti penonton setia yang ...

Rahasia di Balik Tumpukan Sayur

Gambar
Pagi itu, cahaya matahari menerobos sela-sela atap seng pasar tradisional. Udara bercampur aroma sayur segar, tanah basah, dan sedikit wangi daun seledri yang baru dipetik. Di sudut lorong pasar, seorang perempuan bertubuh gempal berdiri di balik meja kayu sederhana. Senyumnya lebar, seperti matahari yang berhasil bangun lebih awal dari biasanya. Namanya Bu Ratna, penjual sayur yang terkenal bukan hanya karena dagangannya segar, tetapi juga karena kemampuannya berceloteh tanpa jeda, bahkan sambil menimbang wortel. Di depannya, seorang pelanggan muda, Sari, menatap tumpukan sayur dengan mata berbinar. "Wortelnya segar sekali, Bu," kata Sari sambil menunjuk. "Segar dari kebun pagi ini, Dik. Kalau wortel ini bisa bicara, dia pasti minta selfie dulu sebelum dimasak," jawab Bu Ratna sambil terkekeh. Sari tertawa kecil, menahan diri agar tidak ikut membayangkan wortel berpose di depan kamera. Suasana pasar masih ramai. Dari kejauhan, suara penjual ika...

Sebilah Gergaji, Seribu Cerita

Gambar
Langit pagi belum sepenuhnya biru ketika Gindra mulai menggergaji papan kayu di halaman rumahnya. Suara krek-krek dari mata gergaji yang bergesekan dengan kayu terdengar seperti musik klasik bagi telinganya—walau tetangganya mungkin menganggap itu lebih mirip konser burung kakaktua bersiul sumbang. Gindra bukan tukang kayu profesional. Ia hanya seorang pemuda berambut acak-acakan yang suatu hari memutuskan: "Sudah cukup jadi penonton hidup orang lain, saatnya bikin panggung sendiri." Maka berdirilah ia di halaman rumah, mendirikan meja kerja sederhana dari kursi bekas, lalu mulai mengukir sesuatu—walau ia sendiri belum tahu, sebenarnya sedang membuat apa. Setiap potongan kayu yang ia bentuk tampak seperti bagian dari teka-teki. Tapi Gindra menyukai itu. Ia merasa seperti detektif yang menyelidiki kasus misterius: "Apa sebenarnya tujuan hidup kayu ini?" Tetangganya, Bu Warni, hanya menggeleng dari kejauhan. "Itu anak pasti habis nonton film mot...

Kunci yang Tidak Mencari Pintu

Gambar
Langit sore itu seperti kanvas yang belum selesai dilukis—ada semburat biru, abu-abu, dan sedikit jingga yang malu-malu muncul di sudutnya. Di tengah suasana itu, duduklah seorang pria di bangku kayu dekat jendela sebuah warung kopi sederhana. Kemejanya rapi, hanya dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka, seolah ia sedang bersahabat dengan udara. Namanya Rendra. Orang-orang bilang tatapannya terlalu serius untuk ukuran pria yang hanya sedang menunggu pesanan kopi. Alisnya berkerut tipis, seperti sedang menghitung jumlah semut di meja. Padahal, sebenarnya ia hanya memikirkan hal sederhana: "Kalau pesan kopi susu, berarti harus pesan gorengan juga, kan?" Pemilik warung, Bu Mirah, beberapa kali melirik, penasaran apakah Rendra akan mengajak ngobrol atau tetap seperti patung pameran. Rendra tahu dirinya sering membuat orang salah paham. Tatapannya memang seperti tokoh utama film detektif, padahal ia hanya berusaha mengingat apakah jemuran di rumah sudah diangka...

Surat dari Angin Timur

Gambar
Pada pagi yang cerah dan sedikit berangin, seorang gadis bernama Melisa duduk di beranda rumah kayu tua peninggalan kakeknya. Angin mengibaskan rambut panjangnya seperti ingin ikut campur dalam hidup orang. Ia tak mempermasalahkan itu. Sudah biasa, katanya. Yang tak biasa adalah amplop cokelat tanpa nama pengirim yang tiba di ambang pintu sejak subuh tadi. "Jangan-jangan... ini surat cinta dari tukang pos," gumam Melisa setengah bercanda, meskipun tukang posnya sudah berumur lima puluh dan lebih sering curhat soal kucingnya yang kabur. Melisa membuka amplop itu dengan hati-hati. Isinya hanya selembar kertas tipis, namun aromanya... aneh. Seperti daun teh yang lupa dipetik. Di dalamnya tertulis satu kalimat dengan huruf miring, seperti dicetak oleh angin: "Kembalilah ke tempat kau lupa pernah datang." Melisa terdiam. Apa maksudnya? Ia bahkan lupa kalau pernah lupa. Tapi sejak saat itu, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Ia mulai memimpikan t...

Lestari di Balik Timbangan

Gambar
Pagi itu, pasar seperti biasanya: ramai, semrawut, dan penuh warna. Bau daun pisang, rempah, dan sedikit keringat bercampur menjadi satu, membentuk parfum khas yang hanya bisa ditemukan di pasar tradisional. Di tengah hiruk-pikuk itu, Bu Lestari berdiri di balik lapak sayurnya dengan senyum yang nyaris tak pernah libur. Ia mengenakan celemek abu-abu yang penuh sejarah tumpahan kuah soto, tangan sibuk menata wortel yang sengaja diberdirikan seperti pasukan parade. "Wortelnya baru panen, Bu. Masih malu-malu kalau dipelototin," ujarnya, menggoda pelanggan yang baru datang, seorang gadis muda bernama Rani. Rani tertawa kecil. "Kalau gitu, saya beli tiga. Biar bisa saling menyemangati." Obrolan mereka bukan cuma soal harga tomat atau diskon kangkung. Di sela tumpukan sayur, terselip kehangatan yang tidak dijual di minimarket. Pasar ini bukan hanya tempat transaksi, tapi juga tempat cerita berkembang, pelan-pelan seperti tempe yang dibungkus rapi di pojo...

Garis-Garis Petualangan Gobak Sodor

Gambar
Di sebuah desa kecil yang hangat dan damai, anak-anak berkumpul di halaman lebar dekat pohon jambu yang rindang. Hari itu, langit cerah, angin bertiup pelan, dan suasana seolah tahu: ini waktu yang tepat untuk bermain gobak sodor. Lima anak — Rina, Tarso, Sari, Joni, dan Mira — sudah berdiri di lapangan yang digaris pakai kapur tulis bekas papan tulis SD. "Siap-siap ya, yang kalah jaga ayam Pak Raji sore ini!" teriak Joni sambil menepuk-nepuk tangannya seperti pelatih sepak bola. "Wah, kalau gitu aku harus menang. Ayam Pak Raji galaknya kayak mau jadi presiden," kata Tarso dengan wajah serius tapi bikin semua tertawa. Mereka pun membagi tim. Rina, Sari, dan Mira jadi penyerang; Tarso dan Joni jaga garis. Permainan dimulai dengan teriakan: "Gobak... Sodor!" Langkah-langkah kecil, lincah, dan cekatan mulai melintasi garis. Rina hampir lolos, tapi Tarso mengejutkannya dengan gerakan ala ninja. Rina terlonjak dan kembali mundur. Sari menye...

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja