Sebilah Gergaji, Seribu Cerita

Langit pagi belum sepenuhnya biru ketika Gindra mulai menggergaji papan kayu di halaman rumahnya. Suara krek-krek dari mata gergaji yang bergesekan dengan kayu terdengar seperti musik klasik bagi telinganya—walau tetangganya mungkin menganggap itu lebih mirip konser burung kakaktua bersiul sumbang.

Gindra bukan tukang kayu profesional. Ia hanya seorang pemuda berambut acak-acakan yang suatu hari memutuskan: "Sudah cukup jadi penonton hidup orang lain, saatnya bikin panggung sendiri." Maka berdirilah ia di halaman rumah, mendirikan meja kerja sederhana dari kursi bekas, lalu mulai mengukir sesuatu—walau ia sendiri belum tahu, sebenarnya sedang membuat apa.

Setiap potongan kayu yang ia bentuk tampak seperti bagian dari teka-teki. Tapi Gindra menyukai itu. Ia merasa seperti detektif yang menyelidiki kasus misterius: "Apa sebenarnya tujuan hidup kayu ini?"

Tetangganya, Bu Warni, hanya menggeleng dari kejauhan. "Itu anak pasti habis nonton film motivasi lagi," gumamnya sambil menyiram tanaman.

Namun Gindra serius. Ada sesuatu yang ingin ia bangun—bukan hanya dari kayu, tapi dari harapan. Dan pagi itu, sebilah gergaji jadi awal dari segalanya.

---ooOoo---

Sudah dua minggu Gindra duduk di bangku kerja itu. Setiap hari, setelah sarapan roti bakar gosong buatan sendiri (yang lebih cocok disebut senjata tumpul ketimbang makanan), ia akan mengambil gergaji, palu, dan sepiring tekad yang tidak bisa basi.

"Kayu ini keras, seperti hidup... tapi bisa dibentuk," katanya suatu sore, entah kepada siapa. Kadang ia bicara sendiri, seolah papan-papan itu bisa menjawab. Untungnya belum ada yang melaporkannya ke dokter—meski Pak Riko, pedagang bubur keliling, sempat mencatat nama Gindra dalam daftar pelanggan yang ‘unik’.

Suatu hari, saat sedang menyambung dua papan menjadi rangka aneh yang entah untuk apa, Gindra berhenti. Ia menatap hasil karyanya dengan dahi berkerut, lalu tertawa kecil.

"Ini kayak kursi... tapi kalau didudukin bisa jadi jebakan. Mungkin ini furnitur untuk orang yang nggak disukai," gumamnya.

Seekor kucing oranye melompat ke meja, memperhatikan Gindra dengan ekspresi seolah berkata: "Itu meja atau altar pengorbanan?"

Namun Gindra tetap yakin. Ia tidak membuat sekadar benda. Ia sedang merakit mimpi—pelan, patah, disambung lagi. Dan meski bentuknya belum jelas, sesuatu dalam dirinya percaya: ada tujuan yang menunggu di ujung kayu itu.

---ooOoo---

Suatu pagi yang cerah namun tidak terlalu yakin—seperti telur setengah matang—Gindra tiba-tiba mendapat ide. Ia mengambil papan kayu bekas, mencat permukaannya dengan cat hitam legam, lalu menuliskan sesuatu dengan kapur putih besar:

"BENGKEL GINDRA – KAYU BOLEH KERAS, HIDUP JANGAN."

Papan itu ia pasang di pinggir jalan depan rumahnya. Ia tidak tahu dari mana keberanian itu datang. Mungkin dari kopi semalam yang terlalu pahit, atau dari mimpinya tentang jadi pengrajin hebat yang ditonton jutaan orang di internet—meski sekarang, jangankan jutaan, yang lewat saja baru tiga ekor ayam dan satu pedagang tahu bulat.

Namun hari itu berbeda.

Seorang pria tua, berkacamata tebal dan membawa tas selempang berisi entah apa, berhenti di depan papan itu. Ia membaca tulisan itu lama, seperti sedang membaca puisi Shakespeare.

"Ini bengkel kayu?" tanya si pria akhirnya.

Gindra mengangguk, setengah gugup, setengah senang, dan setengah lagi tidak tahu harus jawab apa—karena ternyata emosi bisa lebih dari 100 persen.

"Saya punya kursi lama, bisa diperbaiki?"

Gindra nyaris loncat. Ia tidak punya banyak alat, tidak punya brosur, bahkan tidak punya jaket seragam. Tapi ia punya satu hal: semangat sok yakin yang kadang lebih ampuh dari skill.

"Bisa, Pak. Kursinya bawa aja. Tapi jangan kucing, saya belum bisa perbaiki kucing," jawabnya, mencoba humor ringan.

Si pria tertawa. "Baiklah. Saya suka orang jujur dan lucu."

Dan sejak hari itu, papan hitam sederhana itu tidak hanya jadi tanda bengkel, tapi juga undangan bagi orang-orang yang percaya bahwa kayu bisa keras, tapi hati bisa lunak.

---ooOoo---

Beberapa hari setelah pertemuan itu, pria berkacamata kembali. Kali ini ia membawa kursi kayu tua yang tampak sudah mengalami tiga kali pindahan, dua kali patah hati, dan satu kali digigiti cucu.

"Kursi ini milik ibu saya. Dulu dia sering duduk di sini sambil mengupas jagung dan menyanyi lagu Jawa," ucap pria itu, matanya menerawang. "Saya ingin memperbaikinya, bukan untuk dipakai... tapi untuk diingat."

Gindra mengangguk pelan. Ia tidak sekadar menerima kursi, tapi menerima sebuah cerita.

Malam itu, ia bekerja sambil ditemani suara jangkrik dan lampu temaram. Kursi itu nyaris kehilangan bentuk, tapi Gindra bersikeras memperbaikinya. Ia menyambung ulang sandaran yang goyah, mengampelas bagian dudukan, bahkan menambahkan sekrup ekstra—karena menurutnya, kenangan juga butuh fondasi yang kuat.

Keesokan harinya, pria tua itu datang lagi. Ia memandangi kursi yang kini terlihat jauh lebih kokoh.

"Wah," katanya singkat. Tapi dari ekspresi wajahnya, Gindra tahu, itu bukan ‘wah’ biasa—itu wah yang penuh makna, seperti menemukan foto lama di saku jaket yang sudah lama tidak dipakai.

"Berapa ongkosnya, Nak?"

Gindra berpikir sejenak. "Cukup ceritanya, Pak."

Pria itu tersenyum, lalu pergi sambil memeluk kursi itu seperti kawan lama. Gindra berdiri lama menatap jalan. Ia baru sadar—bengkel kecilnya bukan hanya memperbaiki kayu, tapi juga memperbaiki kenangan yang sempat retak.

Dan hari itu, Gindra merasa... mungkin, mimpinya tidak seaneh yang orang pikirkan.

---ooOoo---

Pagi itu, Gindra sedang menyusun tumpukan kayu ketika suara khas terdengar dari pagar depan:

"Giiiinnn… Draa…."

Itu suara Ibu Tumbal—nama panggilan yang diberikan warga karena entah mengapa beliau selalu muncul saat ada acara gotong royong dan langsung "ditumbalkan" untuk jadi koordinator tanpa pernah ditunjuk. Tidak ada yang berani protes, karena Ibu Tumbal punya jurus pamungkas: tatapan mata tajam yang bisa membuat tukang parkir minggir.

"Aku mau bikin rak. Tapi bukan rak biasa. Ini rak... bertingkat, bisa diputar, tapi nggak boleh berisik waktu diputar, dan harus muat toples, pot bunga, radio jadul, dan kucing kalau lagi malas," jelasnya sambil membuka sketsa dari kertas sobekan kalender.

Gindra menatap gambar itu. Sekilas seperti rak, sekilas seperti menara Pisa, sekilas juga seperti mimpi buruk mahasiswa teknik semester tiga.

"Tapi saya percaya kamu bisa," tambah Ibu Tumbal, lalu menyodorkan pisang goreng dan uang muka berupa dua butir telur ayam kampung.

Gindra menerima tantangan itu—karena menolak Ibu Tumbal bukan opsi.

Minggu-minggu berikutnya, halaman Gindra berubah jadi arena eksperimen. Rak itu mulai terbentuk, walau sempat jatuh dua kali dan sempat membuat seekor ayam shock berat karena tertimpa sekeping kayu.

Namun di tengah kekacauan itu, Gindra merasa hidupnya semakin penuh warna. Ia menyadari, semakin aneh permintaan orang, semakin seru perjalanan mimpinya.

---ooOoo---

Hari itu datang juga—rak pesanan Ibu Tumbal akhirnya selesai. Tingginya hampir sepinggang, berputar dengan mulus seperti penari balet yang tidak pernah ikut lomba, dan mampu menampung semua benda aneh yang diminta—termasuk seekor kucing pemalas yang kini menjadikannya panggung tidur siang.

Saat melihat hasilnya, Ibu Tumbal tak berkata apa-apa selama lima detik. Itu rekor. Lalu beliau menepuk bahu Gindra dan berkata, "Nak, kamu memang... bukan tukang biasa."

Sejak itu, berita tentang "Bengkel Gindra" menyebar seperti gosip di grup keluarga. Bukan karena iklan, tapi karena mulut ke mulut, yang ternyata lebih ampuh daripada algoritma media sosial.

Ada yang datang minta dibuatkan rak bumbu berbentuk kapal layar. Ada pula yang ingin pigura kayu bekas palet. Bahkan seorang pemuda dari desa sebelah datang hanya untuk bilang, "Saya nggak punya pesanan, Mas... cuma pengen ngobrol dan nyicip kopi."

Bengkel kecil itu kini hidup. Bukan sekadar tempat kerja, tapi ruang untuk cerita, tawa, dan ide-ide aneh yang kadang malah jadi nyata.

Suatu sore, Gindra duduk sambil memandangi papan hitam di depan rumah. Ia mengambil kapur, lalu menambahkan tulisan kecil di bawah nama bengkelnya:

"Terima pesanan, cerita, dan mimpi."

Dan meski mimpinya belum sampai sepenuhnya, ia tahu satu hal pasti: ia tidak lagi berdiri di halaman untuk menjadi penonton. Ia sudah ada di panggung, memahat jalan hidupnya sendiri—satu potong kayu, satu tawa, satu babak... satu per satu.

---ooOoo---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja