Kunci yang Tidak Mencari Pintu
Langit sore itu seperti kanvas yang belum selesai dilukis—ada semburat biru, abu-abu, dan sedikit jingga yang malu-malu muncul di sudutnya. Di tengah suasana itu, duduklah seorang pria di bangku kayu dekat jendela sebuah warung kopi sederhana. Kemejanya rapi, hanya dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka, seolah ia sedang bersahabat dengan udara.
Namanya Rendra. Orang-orang bilang tatapannya terlalu serius untuk ukuran pria yang hanya sedang menunggu pesanan kopi. Alisnya berkerut tipis, seperti sedang menghitung jumlah semut di meja. Padahal, sebenarnya ia hanya memikirkan hal sederhana: "Kalau pesan kopi susu, berarti harus pesan gorengan juga, kan?"
Pemilik warung, Bu Mirah, beberapa kali melirik, penasaran apakah Rendra akan mengajak ngobrol atau tetap seperti patung pameran. Rendra tahu dirinya sering membuat orang salah paham. Tatapannya memang seperti tokoh utama film detektif, padahal ia hanya berusaha mengingat apakah jemuran di rumah sudah diangkat.
Sore itu, ia tidak tahu bahwa seseorang akan masuk ke warung itu dan mengubah sore biasa menjadi rangkaian hari yang ia ceritakan bertahun-tahun kemudian.
---ooOoo---
Pintu warung berderit pelan, seperti sengaja ingin memberi tahu semua orang bahwa ada tamu baru datang. Rendra menoleh sekilas. Seorang pria paruh baya dengan jaket lusuh masuk, membawa kantong kertas yang terlihat agak berat. Wajahnya ramah, tapi matanya menyimpan rasa penasaran yang tidak kalah dalam dari tatapan Rendra.
"Eh, Rendra, ya? Aku kayaknya pernah lihat kamu di… hmm… di mana, ya?" tanya si pria sambil memutar ingatan, seperti sedang mencari sandal yang hilang.
Rendra tersenyum tipis. "Mungkin di tukang fotokopi," jawabnya asal. Ia memang sering jadi korban salah ingat orang.
Pria itu tertawa kecil. "Bukan… tapi nanti ingat sendiri deh." Ia lalu duduk di kursi sebelah, menaruh kantong kertasnya di meja. Dari dalam kantong, terdengar bunyi benda-benda kecil beradu.
Bu Mirah datang membawa kopi dan gorengan untuk Rendra. "Ini pesanan, Mas. Eh, untuk Bapak mau pesan apa?"
"Teh hangat saja," jawab pria itu sambil melirik kantong kertasnya, seakan khawatir isinya ikut dipesan.
Rendra belum tahu, tapi benda-benda dalam kantong itu akan menyeretnya ke dalam cerita yang sama sekali tidak ia rencanakan.
---ooOoo---
Teh hangat baru saja mendarat di meja ketika pria berjaket lusuh itu membuka kantong kertasnya. Rendra melirik, awalnya hanya sekadar penasaran, tapi kemudian alisnya naik setengah senti. Di dalamnya ada puluhan kunci—berbagai bentuk, ukuran, dan warna. Ada yang tampak baru, ada yang karatan seperti sudah lupa pernah membuka pintu apa.
"Wah… kalau ini museum kunci, saya bisa kasih tiket masuk gratis," celetuk Rendra sambil menyeruput kopi.
Pria itu terkekeh. "Bukan museum… ini semua kunci punya cerita. Dan kamu… sepertinya cocok untuk dengar salah satunya."
Rendra menatapnya, mencoba menebak apakah ini ajakan serius atau sekadar basa-basi kreatif. Tapi tatapan pria itu penuh keyakinan, seperti seseorang yang sudah memutuskan untuk membocorkan rahasia dunia.
"Kunci yang ini…" pria itu mengambil satu kunci kecil berwarna perak, "membawa saya ke sebuah rumah yang pintunya sudah terkunci selama dua puluh tahun."
Rendra mengangkat bahu. "Kalau pintu itu bisa ngomong, pasti dia sudah protes kenapa didiamkan selama itu."
Pria itu hanya tersenyum samar. "Masalahnya… pintu itu memang tidak seharusnya dibuka."
Rendra mulai merasa, kopinya akan menjadi saksi dari cerita yang jauh lebih panjang daripada yang ia perkirakan.
---ooOoo---
Pria berjaket lusuh itu memutar kunci perak di antara jarinya, seakan sedang merangkai kata yang tepat. "Dua puluh tahun lalu, aku menemukannya di trotoar, di depan toko kelontong. Waktu itu kupikir milik orang yang hilang kunci rumah." Ia berhenti sejenak, menyeruput tehnya.
"Lalu, kamu kembalikan?" tanya Rendra, mencoba mengikuti logika normal.
"Tidak. Aku malah penasaran. Kunci itu punya ukiran aneh di gagangnya, semacam pola lingkaran yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Jadi aku simpan… sampai suatu hari aku menemukan pintu yang pas."
Rendra mengerutkan kening. "Kamu menemukan pintu… begitu saja?"
Pria itu mengangguk. "Ya, di ujung gang yang tidak pernah ada sebelumnya."
Rendra menahan tawa. "Gang yang tiba-tiba muncul? Kamu yakin itu bukan efek habis makan durian kebanyakan?"
Pria itu ikut tertawa, tapi matanya tetap serius. "Lucu memang… sampai aku sadar, setiap kali aku melewati pintu itu, udara di sekitarnya terasa lebih dingin, dan aku mendengar suara berbisik."
Rendra merinding, meski berusaha menutupinya dengan pura-pura meniup kopi yang sudah jelas tidak panas lagi.
---ooOoo---
"Suatu sore," lanjut pria itu, "aku memberanikan diri mencoba kunci ini di pintu misterius itu. Anehnya, pas sekali. Tidak seret, tidak macet. Begitu kuputar… klik… pintunya terbuka."
Rendra bersandar, setengah yakin cerita ini akan berakhir dengan lelucon. "Dan di dalamnya ada apa? Ruang rahasia berisi harta karun?"
Pria itu tersenyum tipis. "Kalau isinya harta karun, mungkin ceritanya sudah selesai di situ. Tapi yang kulihat justru sebuah ruangan kosong… hanya ada kursi kayu di tengah, dan di kursi itu… ada secangkir teh hangat."
Rendra mengangkat alis. "Teh hangat? Jadi pintu itu mengarah ke dapur orang?"
"Bukan. Tehnya masih beruap, seolah baru saja diseduh. Tapi tidak ada siapa-siapa. Aku duduk, mencoba mencicipi… rasanya seperti teh yang pernah kubuat untuk ibuku, bertahun-tahun lalu. Padahal… teh itu tidak pernah kuseduh untuk orang lain."
Rendra terdiam. Di kepalanya, logika sudah mulai kalah oleh rasa penasaran.
"Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" tanyanya, mencoba terdengar santai.
Pria itu menatap Rendra dalam-dalam. "Setelah aku meneguknya… aku tidak berada di ruangan itu lagi."
---ooOoo---
"Begitu aku membuka mata," ujar pria itu pelan, "aku berada di sebuah jalan kecil yang belum pernah kulihat sebelumnya. Udara di sana segar, tapi anehnya tidak ada suara burung, tidak ada angin, bahkan langkah kakiku pun tidak bergaung."
Rendra membayangkan suasana itu, seperti berada di foto lama yang warnanya sudah pudar.
"Di ujung jalan," lanjutnya, "ada sebuah rumah. Halamannya penuh bunga yang sepertinya mekar tanpa musim. Pintu rumah itu terbuka, dan dari dalam terdengar suara… memanggil namaku. Suara yang sudah dua puluh tahun tidak kudengar."
Rendra menelan ludah. "Suara… ibumu?"
Pria itu mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku melangkah masuk… tapi sebelum aku sempat melihat wajahnya, tiba-tiba aku kembali berdiri di depan pintu misterius itu. Teh di kursi sudah hilang. Sejak hari itu, pintu itu tak pernah muncul lagi."
Hening sejenak. Rendra mencoba menertawakan cerita itu, tapi hatinya ikut tercekat.
Pria itu menutup kantong kertasnya, lalu berkata, "Kalau suatu hari kamu menemukan pintu seperti itu… pastikan kamu siap mendengar siapa yang memanggilmu."
Rendra menatap kantong itu lama sekali, bertanya-tanya… apakah ia benar-benar ingin tahu jawabannya.
---ooOoo---
Komentar
Posting Komentar