Rahasia di Balik Kelokan
Pagi itu, matahari seperti sengaja bangun lebih awal hanya untuk memandangi sepasang sepeda yang melaju di jalan desa yang teduh. Daun-daun pohon bergoyang ringan, seolah melambai pada tiga orang yang sedang melintas. Di depan, seorang wanita berambut sebahu mengayuh sepedanya dengan irama santai. Sesekali ia menoleh, tersenyum pada anak kecil yang duduk di kursi tambahan di belakang sepeda pria di sebelahnya.
Pria itu mengayuh lebih mantap, namun bibirnya tak berhenti melontarkan kalimat-kalimat lucu. "Kalau Ayah kayuh lebih cepat, kita bisa sampai di depan matahari," ucapnya sambil menahan tawa. Anak kecil itu, dengan mata berbinar, justru menjawab, "Kalau kita kejar matahari, nanti dia takut terus sembunyi!"
Wanita itu tertawa hingga hampir oleng. "Hati-hati, jangan sampai jatuh gara-gara bercanda!" serunya. Namun tawa itu justru membuat suasana semakin hangat.
Di sisi jalan, bunga-bunga kuning mekar liar, seperti penonton setia yang diam-diam ikut tersenyum. Udara pagi membawa aroma tanah yang basah dan segar, mengingatkan mereka pada masa-masa ketika dunia terasa lebih sederhana.
Tak ada yang tergesa. Mereka bukan sedang berkejaran dengan waktu, melainkan berkejaran dengan tawa. Setiap kayuhan terasa seperti menambah cadangan bahagia di hati masing-masing. Anak kecil itu melambaikan tangan pada seekor kupu-kupu yang terbang mendekat, lalu dengan polosnya berkata, "Kupu-kupunya ikut naik sepeda!"
Pria dan wanita itu saling berpandangan, tersenyum tanpa kata. Mereka tahu, perjalanan ini bukan hanya soal sampai tujuan, tetapi tentang bagaimana setiap detiknya menjadi cerita.
Di ujung jalan, sebuah kelokan menanti. Dan mereka belum tahu, kelokan itu akan menjadi awal dari sesuatu yang tak mereka duga.
---ooOoo---
Kelokan itu tampak biasa saja bagi siapa pun yang melihatnya. Hanya tikungan dengan pohon besar di tepinya, dan jalan yang sedikit menurun. Namun, bagi tiga pesepeda pagi itu, kelokan tersebut seperti punya rahasia kecil yang ingin dibagikan.
Begitu mereka memasukinya, angin bertiup lebih kencang, membawa aroma manis yang tak mereka kenal. Anak kecil itu langsung menoleh ke kanan dan kiri, hidungnya bergerak-gerak seperti anak kucing yang mencium bau susu. "Ibu, ini baunya kayak permen… tapi permen yang belum pernah aku makan," ucapnya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Sang ibu tersenyum sambil menoleh. "Mungkin ada pohon yang bunganya wangi sekali." Namun pria di sebelahnya malah bergumam, "Atau mungkin ada toko permen rahasia di sini, yang cuma buka untuk orang naik sepeda."
Tawa kembali pecah. Tetapi di sela-sela gurauan itu, mereka mulai memperhatikan suara gemericik yang semakin jelas. Seperti aliran air kecil yang bersembunyi di balik pepohonan.
"Coba kita berhenti sebentar," kata sang pria. Mereka menepikan sepeda ke bawah pohon rindang. Anak kecil itu langsung melompat turun, berlari kecil mengikuti arah suara air. Ibu dan ayahnya menyusul sambil tersenyum, meski langkah mereka penuh rasa penasaran.
Tak jauh dari jalan, mereka menemukan sebuah aliran air bening yang mengalir pelan di antara batu-batu licin. Cahaya matahari yang menembus celah daun membuat permukaan air berkilauan seperti taburan bintang.
"Ayah, boleh kita ikut air ini sampai ke ujungnya?" tanya si kecil, matanya berbinar. Pria itu melirik istrinya, seakan berkata, "Kenapa tidak?"
Mereka tak tahu, mengikuti aliran itu akan membawa mereka pada kejutan yang membuat perjalanan hari itu menjadi cerita yang tak pernah mereka lupa.
---ooOoo---
Air itu mengalir tenang, seolah sengaja memandu mereka. Langkah demi langkah, suara gemericik menjadi musik latar yang menenangkan. Sang ibu sesekali memegang tangan anaknya agar tidak terpeleset di antara batu-batu basah. Sementara sang ayah berjalan sedikit di depan, matanya awas, tapi senyumnya tidak pernah hilang.
Tiba-tiba, si kecil berhenti. "Ibu, Ayah… lihat!" serunya sambil menunjuk ke tanah berlumpur di pinggir aliran. Ada jejak kaki kecil di sana—terlalu kecil untuk ukuran orang dewasa, tapi juga terlalu rapi untuk jejak hewan. Bentuknya bulat di bagian tumit dan lonjong di bagian depan, seperti… sandal mungil.
"Wah, sepertinya ada peri sungai yang barusan lewat," gurau sang ayah. Sang ibu pura-pura mengangguk serius, "Iya, mungkin dia sedang mencari toko permen rahasia yang tadi kamu bilang."
Anak itu tertawa, tapi matanya terus mengamati jejak tersebut. "Kalau kita ikuti jejaknya, kita bisa ketemu dia?" tanyanya penuh antusias.
Mereka bertiga melangkah mengikuti jejak itu. Semakin jauh, semakin banyak tanda-tanda aneh yang mereka temukan: kelopak bunga kuning bertaburan di tanah, potongan ranting yang disusun seperti pagar kecil, dan sebuah daun besar yang terlipat rapi seperti perahu.
"Ini benar-benar seperti cerita di buku dongeng," ujar sang ibu sambil tersenyum heran. Angin berhembus pelan, membuat dedaunan berdesir. Entah kenapa, suasana terasa sedikit magis.
Di tikungan kecil aliran air itu, mereka tiba di sebuah tempat yang lebih terbuka. Di tengahnya ada batu besar, dan di atas batu itu… tergeletak sebuah benda yang membuat mereka saling pandang, sama-sama terdiam.
Benda itu seperti menunggu untuk diambil, seolah sudah disiapkan untuk mereka.
---ooOoo---
Di atas batu besar itu tergeletak sebuah kotak kecil dari kayu berwarna cokelat tua. Permukaannya halus, tetapi di beberapa sisi terdapat ukiran sederhana berbentuk daun dan gelombang air. Sang ayah melangkah mendekat, lalu jongkok untuk melihat lebih jelas.
"Seperti kotak perhiasan," katanya sambil menyentuhnya dengan hati-hati. Sang ibu memperhatikan, alisnya sedikit terangkat. "Tapi siapa yang meninggalkan kotak begini di tengah hutan?"
Anak kecil itu, tentu saja, paling bersemangat. "Buka, Ayah! Mungkin isinya permen sungai!" ucapnya dengan mata berbinar. Sang ayah tertawa pelan, lalu mengangkat kotak itu. Rasanya ringan, tapi ketika diguncang, terdengar bunyi ‘klik’ kecil dari dalam.
Dengan gerakan hati-hati, ia membuka tutupnya. Dan ternyata… isinya bukan permen, melainkan sebuah kunci kecil dari besi yang sudah agak berkarat. Bentuknya unik, dengan kepala kunci menyerupai kelopak bunga.
"Kunci untuk apa, ya?" tanya sang ibu sambil memegangnya. Sang ayah mengangkat bahu, "Entahlah. Tapi kunci yang punya bentuk begini pasti bukan kunci biasa."
Mereka bertiga duduk di tepi batu, mencoba menebak-nebak. Anak kecil itu mengusulkan hal-hal lucu—mulai dari kunci untuk membuka lemari awan, sampai kunci untuk masuk ke negeri kupu-kupu.
Di tengah obrolan itu, sang ibu tiba-tiba menunjuk ke arah aliran air yang mengarah ke sebuah celah batu besar di ujung. "Kalau saja kunci ini untuk membuka sesuatu yang ada di sana…"
Mereka saling berpandangan. Wajah mereka sama-sama memancarkan rasa penasaran. Tanpa banyak bicara, mereka berdiri, menyimpan kotak kayu itu, dan melangkah mengikuti aliran air menuju celah batu tersebut.
Di sanalah, sesuatu yang lebih mengejutkan menunggu mereka.
---ooOoo---
Celah batu itu awalnya tampak seperti retakan biasa di tebing kecil. Namun, semakin dekat, mereka menyadari bahwa di baliknya ada ruang sempit yang cukup untuk dilewati. Udara di sana lebih sejuk, dan suara gemericik air terdengar bergema, seperti memantul dari dinding batu.
Anak kecil itu memegang erat tangan ibunya. "Seru sekali… rasanya kayak mau masuk ke cerita film," bisiknya. Sang ayah, sambil membawa kotak kayu, melangkah lebih dulu.
Begitu mereka masuk, cahaya matahari yang menembus dari celah atas membuat ruangan itu tampak berkilau. Di sisi kanan, ada batu besar dengan lubang kecil di tengahnya—bentuknya pas sekali untuk sebuah kunci.
Mereka saling memandang. Tanpa banyak bicara, sang ibu menyerahkan kunci berbentuk kelopak bunga itu kepada sang ayah. Dengan hati-hati, ia memasukkannya ke lubang tersebut. Bunyi klik terdengar jelas, diikuti oleh suara gemericik yang berubah menjadi deras.
Tiba-tiba, air mulai mengalir keluar dari celah dinding, mengisi sebuah kolam kecil yang sebelumnya kering. Dan di dasar kolam itu, tampak kilauan warna-warni seperti batu permata yang tertimpa cahaya.
Anak kecil itu melompat kegirangan. "Wah, Ayah! Ibu! Kita menemukan harta karun!" Serunya sambil menunjuk. Sang ibu tertawa, "Bukan harta untuk dijual, Nak. Ini harta yang diberikan alam—indahnya untuk dilihat, bukan untuk diambil semua."
Mereka bertiga duduk di tepi kolam, menikmati pemandangan yang seolah memang disimpan hanya untuk mereka. Suasana hening, hanya suara air dan tawa kecil yang terdengar.
Saat mereka akhirnya kembali ke jalan, matahari sudah mulai condong ke barat. Perjalanan bersepeda itu ternyata membawa mereka pada petualangan yang tak pernah direncanakan—dan mereka tahu, suatu hari nanti, mereka akan kembali lagi ke kelokan yang berbisik itu.
---ooOoo---
Komentar
Posting Komentar