Rahasia di Balik Tumpukan Sayur

Pagi itu, cahaya matahari menerobos sela-sela atap seng pasar tradisional. Udara bercampur aroma sayur segar, tanah basah, dan sedikit wangi daun seledri yang baru dipetik. Di sudut lorong pasar, seorang perempuan bertubuh gempal berdiri di balik meja kayu sederhana. Senyumnya lebar, seperti matahari yang berhasil bangun lebih awal dari biasanya.

Namanya Bu Ratna, penjual sayur yang terkenal bukan hanya karena dagangannya segar, tetapi juga karena kemampuannya berceloteh tanpa jeda, bahkan sambil menimbang wortel. Di depannya, seorang pelanggan muda, Sari, menatap tumpukan sayur dengan mata berbinar.

"Wortelnya segar sekali, Bu," kata Sari sambil menunjuk.

"Segar dari kebun pagi ini, Dik. Kalau wortel ini bisa bicara, dia pasti minta selfie dulu sebelum dimasak," jawab Bu Ratna sambil terkekeh.

Sari tertawa kecil, menahan diri agar tidak ikut membayangkan wortel berpose di depan kamera.

Suasana pasar masih ramai. Dari kejauhan, suara penjual ikan bersaing dengan teriakan penjual bawang. Namun, di meja Bu Ratna, waktu seakan berjalan lebih lambat.

Sari belum tahu, kunjungannya hari itu akan membawanya pada serangkaian kejadian tak terduga, yang dimulai dari seikat wortel sederhana.

---ooOoo---

Sari menyerahkan uang untuk wortel, lalu pandangannya tertarik pada sebuah kotak kecil di pojok meja. Kotak itu terbuat dari kayu tua, warnanya pudar seperti pernah disiram hujan berkali-kali. Uniknya, ada bau harum samar keluar dari celah tutupnya—bukan bau sayur, tapi lebih seperti wangi bunga kering yang bercampur madu.

"Bu, ini kotak apa?" tanya Sari, sambil menunjuk.

Bu Ratna mendekat, menutup sebagian kotak itu dengan daun selada. "Ah, itu... bukan untuk dijual," ujarnya cepat, lalu tersenyum tipis. "Isinya cuma barang-barang lama."

Jawaban itu justru membuat rasa penasaran Sari tumbuh. Mengapa barang lama harus disembunyikan di bawah selada?

"Kalau dibuka, nanti semua orang di pasar heboh," kata Bu Ratna, kali ini suaranya setengah berbisik, seperti sedang membocorkan rahasia negara. "Bukan karena isinya berharga… tapi karena ceritanya yang aneh."

Sari tertawa kecil, mengira Bu Ratna hanya bercanda. Namun tatapan mata Bu Ratna sama sekali tidak main-main.

Tanpa sadar, Sari meraih wortel yang baru dibelinya. "Kalau begitu, lain kali saya mau dengar ceritanya," ujarnya.

Bu Ratna tersenyum misterius. "Lain kali? Siapa bilang rahasia ini bisa menunggu?"

---ooOoo---

Tanpa menunggu jawaban Sari, Bu Ratna menarik kotak kayu itu mendekat. Suara engselnya berderit pelan saat dibuka, seperti sedang protes karena terlalu lama tidak dipakai.

Di dalamnya, bukan emas, bukan perhiasan, melainkan… seikat benang wol merah yang tergulung rapi. Yang aneh, di tengah gulungan itu terselip secarik kertas kuning tua dengan tulisan tangan miring-miring.

"Cuma benang?" gumam Sari, agak kecewa.

Bu Ratna terkekeh. "Kalau cuma benang, tentu saya sudah pakai untuk mengikat kangkung. Tapi benang ini… kalau dipegang sambil mengucapkan kata tertentu, katanya bisa menunjukkan jalan ke sesuatu."

Sari mengerutkan dahi. "Jalan ke mana?"

"Kalau saya tahu, saya tidak akan jual sayur di sini lagi,"

jawab Bu Ratna sambil tertawa kecil. "Mungkin ke warung bakso terenak di dunia, siapa tahu."

Sari mengambil gulungan itu, mencoba merasakan sesuatu. Tidak ada getaran, tidak ada suara gaib, hanya lembutnya benang wol di telapak tangan.

Namun saat ia memegangnya lebih erat, ia merasa seperti ada tarikan halus, seolah-olah benang itu ingin membimbingnya ke arah tertentu.

Bu Ratna memperhatikan dengan mata berbinar. "Nah… sepertinya kamu yang terpilih, Dik."

---ooOoo---

Sari berdiri terpaku, memegang gulungan benang merah itu. Tarikannya semakin jelas, seperti ada tangan tak terlihat yang menggandengnya pelan. Ia melirik Bu Ratna, berharap mendapatkan penjelasan yang lebih masuk akal.

"Jangan dilawan," kata Bu Ratna sambil mengedipkan mata. "Kalau benang itu sudah memilih, biasanya ada hal menarik yang menunggu."

Sari menghela napas. "Kalau saya tiba-tiba nyasar ke penjual sandal, saya balik lagi ya, Bu."

Dengan langkah ragu, ia mulai mengikuti arah tarikan benang. Anehnya, meski pasar sedang penuh orang, ia selalu menemukan celah untuk lewat tanpa tersenggol. Beberapa pedagang melirik heran, mungkin karena melihat Sari berjalan seperti sedang mengikuti aroma sate padahal tidak ada asap di sekitarnya.

Benang itu membimbingnya melewati penjual cabai yang sedang menawar keras, melewati kios ayam yang aromanya membuat Sari sedikit menyesal memakai masker tipis, lalu berhenti… di depan sebuah lapak kecil yang setengah tersembunyi di pojok pasar.

Lapak itu tampak sepi, hanya ada meja kayu tua dengan sebuah keranjang anyaman di atasnya. Keranjang itu tertutup kain putih polos.

Sari menelan ludah. "Jangan-jangan… ini bukan warung bakso."

---ooOoo---

Sari mendekat perlahan. Tarikan benang di tangannya berhenti tepat saat ia berdiri di depan keranjang. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin, meski pasar tetap ramai dengan suara tawar-menawar.

Dengan hati-hati, ia mengangkat sudut kain putih itu. Di bawahnya, ada tumpukan sayur… tapi bukan sayur biasa. Warna-warnanya terlalu cerah, seakan baru saja dipetik dari kebun di negeri dongeng. Ada tomat sebesar bola pingpong yang berkilau seperti dilapisi embun, wortel panjang yang nyaris lurus sempurna, dan daun hijau yang mengeluarkan aroma manis lembut.

"Wah… ini sayur atau perhiasan, ya?" gumam Sari.

Tiba-tiba, dari belakang meja, muncul seorang kakek tua berjaket lusuh. "Kalau kamu bisa menebak satu nama sayur di sini dengan benar, kamu boleh membawanya pulang," ujarnya dengan suara serak tapi ramah.

Sari mengamati, mencoba mengenali bentuk sayur-sayur itu. Tapi anehnya, tidak ada satupun yang benar-benar mirip dengan sayur yang ia kenal.

Kakek itu tersenyum tipis. "Petunjuknya sederhana. Namanya sama seperti sesuatu yang sering membuat orang tersenyum… atau mengelus dada."

Sari terdiam. Benang di tangannya mulai berdenyut pelan, seakan mendesaknya untuk menjawab.

---ooOoo---

Sari memejamkan mata, mencoba mengingat petunjuk kakek itu. Sesuatu yang membuat orang tersenyum… atau mengelus dada. Kata-kata itu berputar di kepalanya, bercampur dengan rasa penasaran yang semakin menekan.

Ia membuka mata dan menatap tomat berkilau di keranjang itu. "Namanya… Legawa," ujarnya pelan, seperti tidak yakin.

Kakek itu mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyum lebar. "Benar. Tidak semua orang bisa merasakannya. Sayur ini hanya muncul bagi orang yang siap menerima dengan hati tenang."

Sari masih bingung. "Tapi… ini hanya tomat, kan?"

Kakek tertawa kecil. "Bentuknya memang tomat, rasanya… yah, kamu akan tahu sendiri nanti. Tapi yang penting, begitu kamu memasaknya, orang yang memakannya akan merasa lega, bahagia, dan—yang aneh—ingin bercerita tentang semua rahasianya."

Bu Ratna tiba-tiba muncul dari belakang Sari, entah sejak kapan ia mengikuti. "Nah, itu sebabnya saya tidak berani membawanya pulang. Nanti semua tetangga cerita panjang lebar sampai saya lupa makan malam."

Sari tertawa, meski hatinya masih penuh tanda tanya. Ia menggenggam tomat Legawa itu, merasa hangat aneh di telapak tangannya.

Mungkin, perjalanan sebenarnya baru saja dimulai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja