Surat dari Angin Timur

Pada pagi yang cerah dan sedikit berangin, seorang gadis bernama Melisa duduk di beranda rumah kayu tua peninggalan kakeknya. Angin mengibaskan rambut panjangnya seperti ingin ikut campur dalam hidup orang. Ia tak mempermasalahkan itu. Sudah biasa, katanya. Yang tak biasa adalah amplop cokelat tanpa nama pengirim yang tiba di ambang pintu sejak subuh tadi.

"Jangan-jangan... ini surat cinta dari tukang pos," gumam Melisa setengah bercanda, meskipun tukang posnya sudah berumur lima puluh dan lebih sering curhat soal kucingnya yang kabur.

Melisa membuka amplop itu dengan hati-hati. Isinya hanya selembar kertas tipis, namun aromanya... aneh. Seperti daun teh yang lupa dipetik. Di dalamnya tertulis satu kalimat dengan huruf miring, seperti dicetak oleh angin: "Kembalilah ke tempat kau lupa pernah datang."

Melisa terdiam. Apa maksudnya? Ia bahkan lupa kalau pernah lupa.

Tapi sejak saat itu, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Ia mulai memimpikan tempat yang belum pernah ia lihat. Dan seseorang yang memanggil namanya... dengan nada jenaka.

---ooOoo---

Sehari setelah menerima surat aneh itu, Melisa mendapati sesuatu yang lebih aneh lagi — laci ketiga dari meja kayu di ruang tengah tiba-tiba terbuka sendiri. Padahal laci itu terkenal keras kepala. Terakhir kali dibuka, butuh obeng, palu, dan segelas teh manis sebagai penyemangat.

Di dalam laci, tergeletak secarik kertas usang. Warnanya kuning gading, seperti sudah ikut rapat dengan waktu. Ketika Melisa membukanya, ia menyadari itu adalah peta. Tapi bukan peta biasa. Ia melihat garis-garis yang terus bergerak perlahan seperti cacing kesemutan.

"Apa-apaan ini? Peta hidup? Jangan-jangan ini GPS zaman kuno," gumamnya.

Peta itu menunjukkan tempat yang tidak pernah ia dengar: Lembah Bunyi-Bunyi Kecil. Nama yang terdengar seperti taman bermain untuk serangga.

Melisa menelusuri peta dengan jarinya. Dan saat jarinya menyentuh sebuah ikon pohon di ujung peta, sesuatu terjadi.

Rak buku di pojok ruangan bergeser dengan sendirinya, memperlihatkan sebuah tangga spiral ke bawah tanah.

"Kalau ini jebakan, setidaknya jebakannya niat," katanya sambil mengambil senter dan sepotong roti bakar.

Ia pun turun perlahan, jantungnya berdetak seperti genderang yang lupa latihan.

---ooOoo---

Tangga spiral itu sempit dan berderit setiap kali diinjak, seolah ingin mengeluh, "Kenapa nggak pakai lift saja, Mbak?" Tapi Melisa tetap melangkah, meski sesekali ia menegur anak tangga yang bunyinya terlalu lebay.

Di bawah, ia tiba di sebuah ruangan bundar. Dindingnya penuh rak buku berdebu, dan di tengah-tengahnya berdiri sebuah jam dinding besar dengan tiga jarum — satu menunjukkan waktu, satu menunjuk dirinya, dan satu lagi... mutar-mutar kayak nggak punya tujuan hidup.

"Ini jam atau kompas yang sedang galau?" gumam Melisa.

Belum sempat ia menyentuh apapun, seekor kucing berbulu cokelat muncul dari balik rak. Ia mengenakan kalung lonceng dan membawa secarik kertas kecil di mulutnya.

Kucing itu mendekat, meletakkan kertas itu di kaki Melisa, lalu berkata dengan suara rendah dan sangat sopan, "Selamat datang kembali, Nona. Kami nyaris menyerah menunggu Anda. Mau teh serai atau jeruk nipis?"

Melisa melongo. "Kau… bicara?"

"Tidak, saya hanya meong pakai aksen," jawab kucing itu sambil mengedipkan mata.

Melisa belum tahu harus tertawa, lari, atau menyeduh teh. Tapi yang jelas, hari itu ia sadar: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

---ooOoo---

Setelah beberapa menit debat batin tentang apakah ia masih waras, Melisa memutuskan untuk mengikuti kucing misterius itu. Namanya, ternyata, adalah Tomo. Kucing yang bisa bicara, tapi hanya jika sedang mood.

Tomo berjalan lincah melewati lorong-lorong bawah tanah yang berkelok. Di dinding, lukisan-lukisan tua menatap mereka dengan ekspresi seperti sedang menilai gaya berpakaian Melisa.

Mereka tiba di sebuah pintu kayu besar bertuliskan: "Klub Orang-Orang yang Tidak Ingat Pernah Lupa"

"Ini semacam… komunitas nostalgia yang gagal?" tanya Melisa.

Tomo mengangkat bahu—dengan elegansi seekor kucing aristokrat—lalu mengetuk pintu tiga kali, sekali bersin, dan dua kali menyanyi nada solmisasi. Pintu pun terbuka.

Di dalam ruangan, ada lima orang duduk melingkar, masing-masing memegang benda aneh: sisir dari batu, jam pasir yang mengalir ke atas, dan satu lagi memegang pot bunga yang tampaknya sedang sedih.

Seorang perempuan tua menyambut Melisa, "Akhirnya kau datang juga, Nak. Kami sudah menunggumu sejak... eh, sejak kapan ya?"

Semua terdiam sejenak. Lalu tertawa.

"Lupa," jawab mereka kompak.

Melisa belum tahu perannya. Tapi ia mulai merasa: semua ini seperti teka-teki yang pernah ia pecahkan dalam mimpi.

---ooOoo---

Setelah perkenalan yang penuh kebingungan dan tawa, Melisa duduk di kursi kayu yang entah kenapa selalu miring ke kanan. Di depannya, seorang lelaki berkacamata tebal menaruh sebuah buku tua berwarna hijau lumut. Judulnya terukir samar: "Ingatan yang Tercecer."

"Apa ini semacam buku harian?" tanya Melisa sambil menahan rasa geli, sebab buku itu bergerak-gerak sendiri, seolah mau kabur.

"Lebih tepatnya, buku yang menyimpan potongan kenanganmu," jawab lelaki itu. "Tapi hati-hati, dia suka berpindah tempat kalau bosan."

Melisa menatap sampul buku itu curiga. Perlahan ia membuka halaman pertama. Ada gambar rumah kayu yang tampak akrab, diikuti sebaris kalimat: "Kau sudah tahu kebenarannya, hanya saja kau menolak mengakuinya."

Tiba-tiba, buku itu menutup sendiri dan lompat ke rak tertinggi. Semua orang menatapnya seolah itu kejadian biasa.

"Kau harus memanggilnya dengan sabar," ujar perempuan tua. "Buku itu paling suka kalau dibujuk dengan cerita lucu."

Melisa menghela napas. "Baiklah, buku manja," katanya, "Tahukah kau kenapa kucing suka duduk di keyboard? Karena mereka ingin mengetik ‘meong-meong-meong’."

Buku itu perlahan meluncur turun, membuka halaman baru, seakan terkikik.

Dan di sanalah Melisa membaca kalimat yang membuat tengkuknya meremang.

---ooOoo---

Kalimat di halaman terakhir buku itu terbaca jelas, seolah baru ditulis pagi tadi: "Kau pergi karena memilih lupa. Tapi dunia ini tidak pernah berhenti menunggumu."

Melisa membaca ulang. Jantungnya berdetak pelan, seperti sedang mengetuk pintu masa lalu. Dalam sekejap, ruangan berubah. Dinding mengelupas pelan seperti kulit bawang, dan di baliknya... tampak taman kecil penuh bunga-bunga aneh yang mengeluarkan suara "ngik-ngik" saat disentuh.

Tomo si kucing mendengus. "Sudah kukira, kau bukan gadis biasa. Kau salah satu dari kami."

"‘Kami’ itu siapa, sebenarnya?" tanya Melisa, setengah berharap jawabannya bukan "alien" atau "mantan pesulap."

Orang-orang di ruangan tersenyum. Perempuan tua berkata, "Kami penjaga kenangan. Tugasmu dulu adalah menjaga ingatan dunia—tapi kau lelah. Kau minta dilupakan. Sekarang dunia mulai goyah, dan satu-satunya yang bisa menyambung kembali potongannya adalah kau."

Melisa termenung. Seumur hidup, ia mengira hidupnya biasa saja. Sekarang, ia ditawari tanggung jawab sebesar semesta.

Ia berdiri, menatap buku hijau itu, lalu tersenyum kecil.

"Boleh aku mulai dengan secangkir teh dulu?"

Semua tertawa. Bahkan jam dinding ikut berdentang, seolah menyetujui.

Dan di sanalah kisah ini bukan berakhir, melainkan dimulai kembali.

Selesai!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja