Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Cheongsam Merah dan Rahasia Kuil Tahu

Gambar
Di sebuah desa kecil yang damai, tepat di kaki gunung yang belum sempat diberi nama oleh warga karena sibuk panen semangka, hiduplah seorang perempuan muda bernama Lin Mei. Ia dikenal bukan hanya karena kecantikannya, melainkan karena bakat uniknya dalam membuat semua orang di pasar tersenyum, bahkan tukang ikan yang dikenal pelit senyum pun bisa terkikik gara-gara celotehnya. Hari itu, Lin Mei mengenakan cheongsam merah terang bermotif bunga peony. Bukan karena ada acara penting, tapi karena ibunya bilang, "Kalau baju bagus disimpan terus, nanti bajunya bosan dan kabur ke lemari sebelah." Dengan langkah anggun yang diselipi niat ingin beli tahu goreng di ujung gang, Lin Mei berjalan melewati halaman depan kuil tua yang katanya dihuni roh penjaga yang lebih suka membaca buku puisi daripada menakut-nakuti. Namun, entah bagaimana, hari itu langkah Lin Mei justru mengarah ke dalam halaman kuil, bukan ke arah tukang tahu. "Eh? Tahu gorengnya pindah ke sini ya...

Hari-Hari Bu Leli Di Pasar Cempaka

Gambar
Orang-orang pasar mengenalnya sebagai Bu Leli. Lengkapnya, Leli Kuswandari, pemilik lapak sayur di lorong tengah Pasar Cempaka. Kalau Anda bertanya siapa yang paling tahu harga cabe hari ini, atau siapa yang bisa menebak hujan dari aroma angin, jawabannya satu: Bu Leli. Ia bukan dukun, tapi kadang tebakan-tebakannya soal cuaca lebih akurat dari aplikasi ramalan cuaca di ponsel. Pagi itu, seperti biasa, ia sudah berdiri di depan lapaknya sejak pukul lima. Kaos merah polos dan celemek abu-abu menjadi seragam tak resminya. Rambutnya digelung seadanya, seperti simpul tak sabar dari pagi yang terlalu buru-buru. "Bu, tomatnya segar-segar ya! Baru panen?" tanya seorang ibu muda dengan kantong belanja bertuliskan "Less Plastic is Fantastic." Bu Leli mengangguk tanpa banyak bicara. Satu pelajaran penting dalam hidupnya: pembeli itu seperti juri dangdut. Mereka lebih suka ekspresi daripada argumen. Maka senyum dan anggukan, dua kombinasi itu cukup untuk memb...

Langkah-Langkah Lela

Gambar
Di sebuah desa kecil bernama Lereng Wungu, hiduplah seorang gadis bernama Lela yang selalu mencuri perhatian… bukan karena kecantikannya saja, tapi karena gayanya yang… bagaimana ya, unik. Ia gemar mengenakan gaun berwarna mencolok seperti pelangi yang kelebihan semangat, dan lebih sering bicara dengan ayam tetangga daripada manusia. "Soalnya ayam lebih jujur," katanya suatu sore sambil mengelus kepala Si Jengki, ayam jago paling cerewet di desa.  Pagi itu, Lela berdiri di tepi jalan tanah, memandang langit yang mulai menguning. Ia tampak seperti tokoh utama dari novel yang belum ditulis. Rambut panjangnya menari pelan di tiupan angin, dan tatapan matanya… ah, tatapan itu seolah tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Tapi tunggu dulu, Lela bukan gadis biasa. Ia percaya bahwa suatu hari akan terjadi sesuatu besar dalam hidupnya—entah dijemput pangeran naik bajaj terbang atau menemukan lubang waktu di balik rak dapur. Dan pagi ini, ia merasa... ini ha...

Surat-Surat Pak Darma

Gambar
Hari itu, langit di atas Kampung Senggol tampak cerah seperti wajah anak SD yang baru saja dapat es krim. Burung-burung berkicau seakan sedang ikut rapat RT, dan angin bertiup pelan, cukup untuk membuat jemuran Ibu Sari berputar-putar seperti kipas angin rusak. Di rumah nomor 7—yang bisa dikenali dari suara decit pagarnya yang legendaris—tinggallah seorang pria paruh baya bernama Pak Darma. Usianya sudah lewat kepala lima, tapi gaya rambutnya masih model "sisir rapi ke samping dengan harapan masa depan cerah". Ia dikenal sebagai pria sederhana, rajin, dan punya kebiasaan unik: menulis surat. Setiap pagi, setelah menyeduh kopi hitam pekat dan menyantap pisang goreng buatan sendiri (yang lebih sering gosong daripada tidak), Pak Darma akan duduk di kursi kayu andalannya. Kursi itu sudah sedikit miring ke kiri, mungkin karena terlalu sering dipakai merenung nasib negara. Di hadapannya ada meja tua yang kalau diketuk tiga kali, bisa memanggil kenangan masa muda. ...

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Gambar
Di sebuah pagi yang cerah di desa Kalanganyar, mentari baru saja naik perlahan dari balik pohon jati. Suara burung prenjak bersahut-sahutan, seperti sedang membicarakan gosip terbaru di balai desa. Udara segar membawa aroma tanah basah dan wangi daun kelor yang direbus di dapur-dapur penduduk. Di halaman rumah joglo yang berdiri anggun dengan atap limasan merah bata, tampak seorang gadis berjalan santai. Ia mengenakan kebaya hijau zamrud yang serasi dengan kain batik cokelat keemasan yang dililit rapi di pinggangnya. Rambut hitam legamnya disanggul ke samping, dihiasi bunga kamboja putih yang segar dipetik dari halaman. Senyumnya yang mengembang seperti tahu goreng hangat di pagi hari membuat siapa pun yang melihatnya ingin menyapa. Namanya Raras Ayu. Tapi seluruh desa lebih suka memanggilnya "Mbakyu Raras" — entah kenapa, padahal usianya baru dua puluh satu. Ada yang bilang karena sikapnya lemah lembut, ada pula yang berseloroh karena ia pandai menyeduh teh...

Aurora dan Singa yang Suka Mengeluh

Gambar
Di sebuah negeri yang tidak pernah muncul di peta Google, hiduplah seorang gadis bernama Aurora. Ia bukan putri kerajaan, bukan penyihir, dan bukan pula pendekar — ia hanya gadis biasa dengan rambut panjang, senyum sedikit miring, dan kegemaran aneh: mengumpulkan peta-peta tua dari langit. Jangan salah paham. Peta itu benar-benar jatuh dari langit. Setiap kali hujan datang di daerah mereka, bukan cuma air yang turun, tetapi juga potongan-potongan perkamen bergambar aneh. Penduduk desa menganggapnya sampah. Tapi Aurora menyimpannya. Katanya, "Siapa tahu ini undangan dari alam semesta." Dan benar saja, pada suatu sore yang sangat panas dan sangat membosankan, Aurora menemukan peta yang berbeda. Bukan karena bentuknya, tapi karena aromanya. Ya, aromanya! Peta itu berbau seperti campuran kayu manis, sabun bayi, dan... bulu singa. Belum sempat ia bertanya-tanya, seekor singa raksasa muncul dari balik bukit. Tapi ini bukan sembarang singa. Ia memakai pelindung bah...

Sepeda Tua, Cinta Muda

Gambar
Pagi itu, udara di Kampung Cempaka begitu segar, seolah Tuhan sendiri baru saja menyalakan kipas angin langit. Burung-burung bernyanyi dengan nada yang bahkan bisa membuat radio butut Pak RW merasa tidak berguna. Di antara suara alam yang merdu, suara kring... kring... sepeda tua berderit melaju perlahan melewati gang sempit yang dipenuhi jemuran dan anak-anak bermain kejar-kejaran. Sepeda itu milik Seno, pemuda dua puluh lima tahun yang terkenal di kampung bukan karena prestasi akademis atau kekayaan, melainkan karena sepeda birunya yang tua, lengkap dengan keranjang anyaman di bagian depan. Sepeda itu bukan sekadar alat transportasi; itu adalah saksi bisu segala ambisi Seno, dari mengantar gorengan ke warung Mak Narti sampai... mengantar hati. Di boncengan sepeda itu duduk seorang gadis bernama Rani, sahabat masa kecil Seno yang baru kembali dari kota setelah bertahun-tahun bekerja sebagai asisten editor majalah kuliner. Rambutnya yang hitam dikuncir kuda, dan mata...

Rahasia Dapur Bu Narti

Gambar
👆 Di sebuah kampung kecil yang tenang di kaki gunung, hiduplah seorang perempuan bernama Bu Narti. Orang-orang kampung memanggilnya "Bu Narti Dapur Panas"—bukan karena emosinya, tapi karena dapurnya memang selalu berasap. Mulai dari jam lima pagi, asap dari dapurnya sudah menari-nari di udara seperti penari Jaipong kehilangan musik. Bu Narti bukan koki biasa. Ia bisa membuat sambal yang katanya, kalau orang sedih makan itu, bisa tertawa. Kalau orang lagi ketawa, malah bisa nangis—karena pedasnya. Pagi itu, Bu Narti sedang mengaduk wajan besar berisi sambal terasi legendaris. Api mengepul, dan bumbu-bumbu bergoyang di bawah sendok kayunya. Kain celemeknya penuh noda, tapi wajahnya bersinar seperti mentari pagi yang baru bangun. "Coba kamu lihat, Ti," katanya pada cucunya, Siti, yang sedang duduk sambil main HP. "Ini sambal bukan sembarang sambal. Ini sambal yang pernah bikin Pak RT kehilangan suara seminggu....

Mister Garnadi dan Setelan Abu-Abu

Gambar
Hari itu, langit Jakarta sedang malas membuka tirainya. Awan-awan bergelayut seperti cucian belum kering, dan aroma kopi sachet lima ratus perak mengambang dari kios di ujung gang. Di tengah suasana yang nyaris sendu itu, seorang pria berdiri dengan postur yang membuat lampu jalan merasa tersaingi. ilustrasi oleh Diono di Adobe Stock. Namanya Garnadi. Bukan Garnadi biasa, tapi The Garnadi , seperti cara ia mengenalkan dirinya saat wawancara kerja — bahkan untuk posisi OB. Garnadi mengenakan setelan jas abu-abu terang, rapi, mulus, seolah baru saja keluar dari mesin penyetrika milik surga. Dasi hitamnya lurus seperti jalan tol, dan rambutnya licin seperti licinnya alasan tukang parkir saat dimintai kembalian. Tidak ada yang tahu pasti apa pekerjaan Garnadi, tapi setiap orang di kantor Kencana & Partners sepakat: Garnadi terlalu rapi untuk jadi manusia biasa. "Ada ...

Musim Dingin yang Membeku di Dalam Dada

Gambar
Kalau kau berdiri di Jalan Taman Mentari saat pukul tujuh pagi di bulan Juni, kau akan melihat pemandangan yang agak aneh: perempuan muda berbalut mantel tebal dan selendang abu-abu besar, berjalan pelan seolah-olah tengah melewati trotoar Paris, padahal dia hanya melewati kios gorengan dan warung pecel lele yang belum buka. Namanya Liana. Usianya dua puluh sembilan, tapi wajahnya selalu terlihat seperti dua puluh lima. Entah itu karena dia memang awet muda, atau karena dia belum pernah benar-benar mengurus hidupnya dengan serius. Salah satu dari dua kemungkinan itu, dan keduanya sama-sama membingungkan. ilustrasi oleh Diono di Adobe Stock. Setiap pagi, Liana akan keluar dari kontrakan mungilnya dengan ritual yang sama: selendang dibelit dua kali, rambut digerai ke kanan, pandangan lurus ke depan—dan satu hal paling penting—tanpa ekspresi. Dia bukan muram. Bukan juga sedih. Dia ha...

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja