Sepeda Tua, Cinta Muda
Pagi itu, udara di Kampung Cempaka begitu segar, seolah Tuhan sendiri baru saja menyalakan kipas angin langit. Burung-burung bernyanyi dengan nada yang bahkan bisa membuat radio butut Pak RW merasa tidak berguna. Di antara suara alam yang merdu, suara kring... kring... sepeda tua berderit melaju perlahan melewati gang sempit yang dipenuhi jemuran dan anak-anak bermain kejar-kejaran.
Sepeda itu milik Seno, pemuda dua puluh lima tahun yang terkenal di kampung bukan karena prestasi akademis atau kekayaan, melainkan karena sepeda birunya yang tua, lengkap dengan keranjang anyaman di bagian depan. Sepeda itu bukan sekadar alat transportasi; itu adalah saksi bisu segala ambisi Seno, dari mengantar gorengan ke warung Mak Narti sampai... mengantar hati.
Di boncengan sepeda itu duduk seorang gadis bernama Rani, sahabat masa kecil Seno yang baru kembali dari kota setelah bertahun-tahun bekerja sebagai asisten editor majalah kuliner. Rambutnya yang hitam dikuncir kuda, dan matanya bersinar seperti melihat diskon besar-besaran di toko buku. Ia tertawa renyah, memeluk pinggang Seno agar tak jatuh saat sepeda terguncang karena batu jalan yang lebih keras dari nasib jomblo akut.
"Sen, kamu yakin sepeda ini masih layak jalan? Rodanya miring tiga derajat ke kanan," canda Rani sambil menahan tawa.
Seno menoleh sebentar, "Tenang, Ni. Sepeda ini udah seperti sahabat karib—nggak bisa diandalkan, tapi selalu ada."
Mereka berdua tertawa. Seno mengayuh sepeda dengan semangat, meski celana panjangnya nyaris tersangkut rantai. Mereka menuju warung roti bakar di ujung desa, tempat yang dulu jadi ‘markas rahasia’ saat mereka masih kecil—tempat mereka merancang rencana-rencana besar seperti membangun rumah pohon (yang akhirnya jadi kandang ayam), atau membuat surat rahasia untuk kepala sekolah (yang tak sengaja terbakar karena korek gas bocor).
"Masih inget nggak, dulu kita pernah hampir dihukum gara-gara pura-pura jadi anak yang hilang, padahal cuma ngumpet di balik lemari sekolah?" tanya Rani sambil tergelak.
Seno terkekeh, "Gimana bisa lupa. Gurunya nangis, kepala sekolahnya marah, eh kita malah minta susu kotak setelah ketemu."
Udara pagi menyatu dengan nostalgia, dan sepeda tua itu seperti mesin waktu. Semakin jauh dikayuh, semakin banyak kenangan yang bermunculan—beberapa manis, beberapa konyol, dan beberapa... bikin dada hangat tanpa alasan.
Saat sampai di warung roti bakar, Seno turun lebih dulu dan mengulurkan tangan ke Rani seperti pangeran dalam dongeng—kalau saja pangeran dalam dongeng pakai sandal jepit dan celana ngatung. Rani tertawa lagi, lalu menggenggam tangan Seno sambil berkata, "Kayaknya kamu masih konyol, ya."
Seno mengangkat alis, "Dan kamu masih senang sama kekonyolanku. Iya, kan?"
Rani hanya tersenyum, matanya berbinar seperti pagi yang belum ingin siang. Dan dalam diam, Seno tahu—perjalanan pagi itu bukan cuma menuju warung roti bakar. Tapi juga ke arah yang sejak lama ia rindukan: hatinya, yang perlahan mulai diisi kembali oleh seseorang yang dulu hanya ia bonceng ke mana-mana... dan sekarang, mungkin bisa diajak hidup bareng selamanya.
----
Warung roti bakar Bu Sarmi tidak pernah berubah sejak zaman mereka masih berambut klimis dan bercelana sobek di lutut. Meja kayunya masih miring sedikit ke kiri, kipas anginnya masih berputar pelan seperti orang malas disuruh kerja, dan aroma roti bakar cokelat keju... masih mampu menggoda iman siapa saja, bahkan yang lagi diet ketat sekalipun.
Seno dan Rani duduk di sudut favorit mereka—meja nomor tiga, dekat jendela yang menghadap langsung ke pohon mangga tua. Seno memesan dua roti bakar spesial dan dua teh tarik. Tak lama kemudian, Bu Sarmi datang sambil membawa nampan dan senyum lebar.
"Wah, pasangan lama nongol lagi. Dulu kecilnya sering rebutan sendok, sekarang semoga rebutannya cuma perhatian, ya," kata Bu Sarmi sambil tertawa geli.
Seno dan Rani hanya saling melirik dan ikut tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada sesuatu yang menggantung di udara—seperti awan tipis sebelum hujan kecil.
Rani membuka roti bakarnya perlahan. Di dalamnya ada lelehan keju dan cokelat, tapi... juga selembar kertas kecil yang dilipat rapat. Ia mengerutkan kening, lalu menariknya keluar.
"Apa ini?" tanyanya, setengah bingung, setengah khawatir. "Jangan-jangan ini kupon undian hadiah mobil?"
Seno menahan tawa dan berkata santai, "Buka aja. Nggak ada ranjau kok."
Rani membuka lipatan kertas itu perlahan. Di dalamnya hanya ada satu kalimat, ditulis dengan huruf tangan yang ia kenal betul:
"Kalau kamu bilang ya, sepeda ini bakal kuganti dengan motor. Tapi kalau kamu bilang tidak... ya, tetap kugowes sampai Jakarta."
Rani terdiam. Matanya membaca ulang tulisan itu beberapa kali, seperti ingin memastikan ia tidak salah paham. Lalu ia menatap Seno yang kini duduk tenang, tangannya menggenggam cangkir teh tarik seperti pengamen jalanan menunggu lemparan koin.
"Sen..." suara Rani pelan. "Kamu becanda?"
"Separuh," jawab Seno dengan senyum yang terlalu jujur untuk jadi lelucon. "Tapi separuhnya lagi... serius banget."
Rani menggigit bibir bawahnya, menahan tawa dan haru yang campur aduk seperti rujak ulek.
"Aku nggak pernah minta motor, kok. Aku cuma pengen..." Ia berhenti sebentar, lalu menunjuk sepeda mereka yang diparkir di luar, "...naik itu, bareng kamu. Ke mana aja. Asal kamu nggak nyasar ke rumah mantan."
Seno tertawa, lega bukan main. "Mantan siapa? Sepedaku aja nggak pernah boncengin orang lain selain kamu."
Mereka berdua tertawa lagi, tapi kali ini... dengan tawa yang berbeda. Ada rasa lega, bahagia, dan sedikit deg-degan seperti orang baru pertama kali naik roller coaster.
Di luar, angin bertiup pelan. Pohon mangga bergoyang seperti mengangguk. Sepeda tua itu berdiri tegak, bangga, meski catnya sudah pudar dan rodanya sedikit miring. Mungkin ia tahu, hari itu bukan hanya tentang perjalanan ke warung roti bakar—tapi tentang sebuah awal baru.
Seno berdiri, meraih tangan Rani seperti biasa. Tapi kali ini, genggaman itu tidak dilepas. Bahkan saat mereka menaiki sepeda dan perlahan mengayuh pulang, tangan mereka masih saling bertaut—seperti dua orang yang sudah sepakat untuk tidak lagi saling pergi.
Dan sepeda tua itu? Ia terus berjalan, meski tak tahu pasti ke mana arah angin. Yang ia tahu, dua hati di atasnya sedang menuju sesuatu yang lebih dari sekadar tujuan.
Mereka sedang menuju rumah—yang letaknya, barangkali, ada di dada masing-masing.
Komentar
Posting Komentar