Aurora dan Singa yang Suka Mengeluh
Di sebuah negeri yang tidak pernah muncul di peta Google, hiduplah seorang gadis bernama Aurora. Ia bukan putri kerajaan, bukan penyihir, dan bukan pula pendekar — ia hanya gadis biasa dengan rambut panjang, senyum sedikit miring, dan kegemaran aneh: mengumpulkan peta-peta tua dari langit.
Jangan salah paham. Peta itu benar-benar jatuh dari langit. Setiap kali hujan datang di daerah mereka, bukan cuma air yang turun, tetapi juga potongan-potongan perkamen bergambar aneh. Penduduk desa menganggapnya sampah. Tapi Aurora menyimpannya. Katanya, "Siapa tahu ini undangan dari alam semesta."
Dan benar saja, pada suatu sore yang sangat panas dan sangat membosankan, Aurora menemukan peta yang berbeda. Bukan karena bentuknya, tapi karena aromanya. Ya, aromanya! Peta itu berbau seperti campuran kayu manis, sabun bayi, dan... bulu singa.
Belum sempat ia bertanya-tanya, seekor singa raksasa muncul dari balik bukit. Tapi ini bukan sembarang singa. Ia memakai pelindung bahu dari kulit semangka dan punya ekspresi wajah seperti baru dipaksa ikut rapat RT.
"Aku Leo,"
katanya datar. "Kau Aurora?""Betul. Tapi, eh... siapa yang menyuruhmu datang?"
"Singa senior. Mereka bilang kau terpilih menunggangiku untuk menyelesaikan misi besar,"
jawab Leo malas. "Dan tolong ya, jangan tarik buluku seperti tali sepatu. Sakit."Aurora tersenyum geli. "Misi apa?"
Leo menguap, dan angin dari mulutnya hampir membuat Aurora kehilangan keseimbangan. "Katanya, ada sesuatu yang hilang dari tanah kita. Dan hanya kita yang bisa menemukannya. Peta itu petunjuknya."
Setelah berdebat singkat tentang apakah perjalanan ini akan mencakup waktu istirahat dan camilan sore, Aurora akhirnya naik ke punggung Leo. Rasanya seperti duduk di atas kasur berbulu yang bisa menggeram.
Mereka mulai berjalan melewati padang rumput, sementara kupu-kupu mengikuti mereka seperti penggemar boyband. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seekor burung beo tua bernama Tua-Bek, yang mengaku tahu jalan pintas ke tempat rahasia yang ada di peta.
"Kalian akan melewati Hutan Gumam. Di sana semua makhluk hanya berbicara dalam bisikan,"
katanya. "Kecuali burung hantu. Dia berteriak terus karena suaranya rusak."Leo melirik Aurora. "Kalau kita bisik-bisik terus, aku bakal sakit tenggorokan. Bisa minta teh nanti?"
Aurora tertawa kecil. "Baiklah, kita bawa termos."
Petualangan mereka baru saja dimulai, dan meski belum tahu apa yang akan mereka temukan, Aurora merasa... ini akan menjadi kisah yang layak dikisahkan — dengan sedikit lelucon, satu singa cerewet, dan peta yang berbau aneh.
Dan entah kenapa, langit tampak lebih biru hari itu.
---ooOoo---
Pagi di Hutan Gumam datang tanpa suara. Burung-burung tidak berkicau — mereka hanya mengangguk sopan. Daun-daun jatuh tanpa bunyi, dan bahkan ranting yang patah hanya bergetar pelan, seolah takut mengganggu tetangga sebelah.
Aurora dan Leo melangkah masuk perlahan, seperti dua pencuri yang hendak mencuri sepotong biskuit dari dapur peri. Setiap langkah Leo menghasilkan suara kruk kruk halus, tapi dengan cepat disusul oleh lirikan tajam dari semak-semak.
"Sumpah, ini hutan paling sensitif yang pernah aku masuki,"
bisik Leo, mencoba menurunkan volumenya sampai setara dengan suara kipas laptop yang ngambek."Tahan saja dulu. Kita hanya perlu lewat dan mencari ‘Batu Gumam’ seperti di peta,"
balas Aurora, sambil membentangkan peta yang nyaris sobek di ujungnya. Ia mengernyit."Gambar batu ini agak aneh. Bentuknya seperti… roti sobek?"
"Semoga bukan jebakan karbohidrat,"
gumam Leo.Setelah beberapa menit menyusuri hutan dengan susah payah menahan tawa (karena Leo sempat tersandung akar pohon dan berkata "Aduh kaki singaku!"), mereka akhirnya sampai di sebuah tanah lapang. Di tengahnya berdiri sebongkah batu besar dengan tulisan samar: "DIAM ITU EMAS. TAPI KADANG EMASNYA PALSU."
"Ini pasti tempatnya,"
kata Aurora, duduk di atas batu sambil mengeluarkan termos dari tas kecilnya.Leo mendekat dan berkata lirih, "Ada teh?"
"Tentu."
Aurora menyodorkan cangkir kecil. Tehnya beraroma melati, dengan sedikit tambahan… kabut pagi?"Dari mana kau dapat teh seaneh ini?"
tanya Leo curiga."Ada awan lewat tadi pagi, aku peras sedikit,"
jawab Aurora, dengan wajah polos seperti anak ayam.Leo menatapnya tak percaya, tapi menyeruput juga. "Lumayan," katanya, lalu menambahkan, "meskipun ada rasa seperti... kenangan masa kecil."
Mereka berdua terdiam sebentar, menikmati teh dan ketenangan hutan. Tapi tentu saja, ketenangan tak pernah bertahan lama dalam kisah petualangan.
Tiba-tiba, suara lirih muncul dari dalam batu. Bukan bisikan, tapi gumaman. "Tiga teka-teki, satu jawaban. Yang bisa menjawab akan membuka jalan."
Batu itu menyala redup, dan tulisan baru muncul: "Aku bukan hewan, tapi bisa berlari. Aku tak punya kaki, tapi bisa menari. Apakah aku?"
Leo langsung menjawab, "Eh… sandal yang dipakai orang lari?"
Aurora tertawa pelan. "Bukan. Itu ‘air’. Air bisa berlari dan menari, tapi bukan hewan."
Begitu ia menjawab, batu itu bergetar halus dan menampilkan teka-teki kedua: "Aku tidak bisa dilihat, tapi bisa kau hirup. Kadang marah, kadang lembut. Aku apa?"
Leo membuka mulut, tapi Aurora cepat berkata, "Angin."
Batu kembali bersinar, kini terang. Lalu teka-teki ketiga muncul: "Aku tumbuh tak di tanah. Aku datang saat malam. Aku padam saat pagi."
Kali ini, Leo menjawab dengan mantap, "Bintang. Itu gampang."
Dan… DRAAAK… batu itu terbuka, memperlihatkan sebuah tangga turun yang berputar, mengarah ke bawah tanah.
Leo menatap Aurora dengan bingung. "Kenapa tiap jalan rahasia selalu ke bawah? Apa enggak ada jalan pintas naik lift atau eskalator?"
Aurora tersenyum. "Mungkin nanti. Siap turun?"
"Kalau ada camilan di bawah, ayo."
Dengan itu, mereka menuruni tangga rahasia, meninggalkan Hutan Gumam yang kembali diam — seolah menyimpan rahasia yang belum selesai.
Tapi yang mereka tidak tahu, sesuatu sedang mengintai dari bayangan. Bukan makhluk jahat, tapi seseorang... yang juga punya peta. Dan punya misi yang sama.
Tapi itu... cerita untuk lain waktu.
TAMAT – untuk sementara
Komentar
Posting Komentar