Hari-Hari Bu Leli Di Pasar Cempaka

Orang-orang pasar mengenalnya sebagai Bu Leli. Lengkapnya, Leli Kuswandari, pemilik lapak sayur di lorong tengah Pasar Cempaka. Kalau Anda bertanya siapa yang paling tahu harga cabe hari ini, atau siapa yang bisa menebak hujan dari aroma angin, jawabannya satu: Bu Leli. Ia bukan dukun, tapi kadang tebakan-tebakannya soal cuaca lebih akurat dari aplikasi ramalan cuaca di ponsel.

Pagi itu, seperti biasa, ia sudah berdiri di depan lapaknya sejak pukul lima. Kaos merah polos dan celemek abu-abu menjadi seragam tak resminya. Rambutnya digelung seadanya, seperti simpul tak sabar dari pagi yang terlalu buru-buru.

"Bu, tomatnya segar-segar ya! Baru panen?"

tanya seorang ibu muda dengan kantong belanja bertuliskan "Less Plastic is Fantastic."

Bu Leli mengangguk tanpa banyak bicara. Satu pelajaran penting dalam hidupnya: pembeli itu seperti juri dangdut. Mereka lebih suka ekspresi daripada argumen. Maka senyum dan anggukan, dua kombinasi itu cukup untuk membuat tomat-tomatnya berpindah tangan dengan sukarela.

"Jangan pilih yang terlalu merah, Bu,"

katanya pelan, "besok lusa sudah bisa jadi saus."

Ibu muda itu tertawa. "Bu Leli bisa aja! Emangnya saya mau jadi chef?"

"Ya siapa tahu, Bu. Cinta bisa datang dari dapur,"

kata Bu Leli sambil menyerahkan tomat ke dalam kantong belanja sang pembeli. "Dulu suami saya jatuh cinta gara-gara saya bikin sambal."

Pembeli itu terkikik. "Lah, terus sekarang suaminya ke mana?"

"Udah pindah halaman, Bu. Maksud saya, halaman akhir."

Suasana jadi canggung sejenak. Tapi Bu Leli cepat-cepat menambahkan, "Tapi jangan sedih, ya. Dia meninggal sambil makan sambal buatan saya. Meninggalnya bahagia."

Tawa pecah lagi. Seperti biasa, Bu Leli berhasil mengubah kesedihan menjadi hiburan pasar.

***

Pasar Cempaka bukan pasar modern. Tidak ada pendingin udara, tidak ada sistem barcode, dan tentu saja tidak ada musik instrumental yang memanjakan. Tapi pasar ini punya hal yang tak dimiliki pusat perbelanjaan: drama. Setiap lapak adalah panggung. Dan Bu Leli, bisa dibilang, salah satu aktris utamanya.

Setiap pukul tujuh, muncul sosok langganan unik: Pak Harjo, pensiunan guru matematika yang punya hobi menawar harga wortel seperti sedang bertransaksi saham.

"Bu Leli, wortel satu kilo berapa?"

"Delapan ribu, Pak."

"Enam ribu, deh. Saya pelanggan tetap."

"Pak Harjo, Pak Harjo… Kalau saya jual enam ribu, saya yang jadi tetap—tetap rugi!"

Percakapan itu sudah berlangsung hampir tiap hari selama tiga tahun. Tapi anehnya, selalu berhasil membuat pembeli lain tersenyum. Kadang ada yang diam-diam merekam untuk dijadikan story Instagram. Hashtag-nya: #WortelDrama.

***

Ada satu hal yang tidak diketahui banyak orang. Di balik senyum dan celetukannya, Bu Leli menyimpan cerita yang tidak semua pasar bisa tebus dengan uang.

Dulu, ia lulusan akademi perhotelan. Pernah bekerja di hotel bintang lima di Bali. Tahu persis cara menyajikan omelet Prancis dan mengenali aroma lavender dari tiga meter. Tapi semua itu berubah ketika ibunya jatuh sakit dan ayahnya bangkrut karena gagal panen.

Ia pulang ke kampung halaman dan mengambil alih lapak pasar milik ibunya. Awalnya setengah hati. Tapi kemudian, ia jatuh cinta. Bukan pada pasar, tapi pada keseharian yang absurd, jujur, dan hangat. Seperti ketika seorang bapak tua menawar setengah ikat bayam dengan dua butir telur rebus. Atau anak kecil yang kabur dari ibunya hanya karena ingin memeluk labu parang.

"Pasar ini mengajarkan saya tentang hidup,"

ujarnya suatu kali pada wartawan yang datang meliput.

Wartawan itu kemudian menulis artikel berjudul "Bu Leli: Dari Hotel Bintang Lima ke Lapak Sayur Bintang Tiga Roda."

Ia sempat malu. Tapi diam-diam, kliping artikel itu ia simpan di balik lemari, dibungkus plastik agar tidak terkena air bocor.

***

Suatu hari, datanglah seorang pria ke lapaknya. Mengenakan kemeja rapi dan sepatu kulit. Jelas bukan tipikal pembeli pasar. Ia menatap sayur-mayur di lapak Bu Leli seperti sedang meneliti peta harta karun.

"Permisi, Bu. Saya sedang cari bahan untuk menu spesial,"

katanya.

Bu Leli mengangkat alis. "Menu spesial buat restoran, atau buat melamar calon mertua?"

Pria itu tertawa. "Kebetulan dua-duanya, Bu. Saya chef. Namanya Andre."

Ah, rupanya chef. Wajahnya sedikit familiar. Mirip wajah di poster acara masak yang pernah lewat di televisi, tapi Bu Leli tidak begitu peduli dengan dunia selebritas. Ia lebih hafal wajah pelanggan yang suka nyolong kacang polong.

"Kalau begitu, Chef Andre,"

katanya sambil menunjuk beberapa bahan, "Ini wortel kampung, manisnya alami. Ini daun bawang paling segar, baru dipetik tadi subuh. Dan ini… bumbu rahasia dari saya." Ia menyerahkan sebungkus kecil daun kemangi.

Chef Andre mencium aromanya. "Wah, ini luar biasa."

"Bisa bikin calon mertua bilang ‘Yes’ sebelum sempat nanya ‘Who are you?’"

Bu Leli menjawab sambil terkekeh.

Sejak saat itu, Chef Andre sering datang. Kadang sendiri, kadang membawa asistennya. Mereka berdiskusi soal sayur seperti dua profesor sedang membedah teori relativitas. Bedanya, mereka lebih banyak tertawa.

***

Hari-hari Bu Leli terus berjalan. Pasar tetap riuh, tetap basah, tetap harum daun pisang dan keringat. Tapi kini, ia punya pelanggan yang makin beragam. Ada ibu-ibu muda, pensiunan guru, chef televisi, bahkan mahasiswa yang bikin vlog bertema "Kisah Inspiratif Pedagang Pasar."

Suatu kali, ia diminta menjadi narasumber seminar UMKM. Ia sempat bingung harus pakai baju apa.

"Nggak usah ribet, Bu,"

kata anak bungsunya, Dafa, yang sedang kuliah desain komunikasi visual, "Pakai aja celemek abu-abunya. Itu udah branding Ibu."

Bu Leli terdiam. Branding? Ia tak pernah memikirkan itu. Tapi ternyata, lapaknya memang sudah jadi ikon. Orang-orang menyebutnya "Sayuran Bu Leli"

, seperti menyebut merek dagang. Bahkan ada pelanggan yang bersumpah wortel dari lapak lain rasanya beda.

***

Pada suatu sore yang agak lengang, Bu Leli duduk sebentar, mengamati langit yang mulai menguning. Lapaknya sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa ikat bayam dan timun.

Tiba-tiba, seorang anak kecil menghampirinya. Perempuan, mungkin tujuh tahun. Ia membawa selembar kertas gambar.

"Bu Leli, aku gambar Ibu!"

katanya riang.

Gambar itu sederhana: seorang perempuan dengan celemek abu-abu dan tomat di tangannya, berdiri di tengah pasar dengan senyum lebar. Di atas gambar tertulis: "Pahlawan Sayuranku."

Bu Leli menatap gambar itu lama. Lalu, dengan senyum kecil, ia berkata, "Kamu tahu nggak, Nak? Ini hadiah paling mahal yang Ibu terima. Bahkan lebih mahal dari harga cabe rawit seminggu lalu."

Anak itu tertawa, tidak mengerti sepenuhnya. Tapi ia tahu bahwa Bu Leli senang. Dan itu cukup.

***

Pasar Cempaka akan terus hidup, dengan riuh dan peluhnya. Dan Bu Leli, dengan celemek abu-abunya, akan terus berdiri di sana. Menjual sayur, membagi senyum, dan meracik kisah yang kadang lucu, kadang getir, tapi selalu hangat.

Karena bagi Bu Leli, setiap sayur punya cerita. Dan setiap pembeli, tanpa sadar, sedang menjadi tokoh dalam cerita yang ia tulis setiap hari—dengan harga promo, dan bonus tawa.

***

Kemangi dan Kamera

Sejak gambar anak kecil itu terpajang di lapak, suasana pasar berubah sedikit demi sedikit. Orang-orang yang biasa datang untuk beli sayur, sekarang juga datang untuk "ngobrol sebentar"

dengan Bu Leli. Ada yang sekadar minta saran bumbu, ada juga yang curhat tentang suaminya yang suka nyemil bakso jam delapan malam.

Lalu suatu pagi, datanglah seorang pria muda dengan kamera tergantung di leher. Gayanya kalem, kemeja flanel, celana jins, rambut acak-acakan seperti baru bangun tidur. Namanya Reno, katanya ia sedang membuat film dokumenter tentang pasar tradisional.

"Saya lihat lapak Ibu ini menarik sekali. Ramai, hangat, dan… kayaknya semua orang kenal Ibu,"

katanya sambil menyiapkan tripod.

Bu Leli tertawa. "Lho, Mas, ini pasar, bukan warung kopi. Tapi silakan saja kalau mau motret. Tapi jangan kaget kalau kamera Mas nanti direbut sama ibu-ibu. Mereka lebih suka difoto daripada beli sayur."

Reno tertawa, lalu mulai merekam. Ia merekam saat Bu Leli menimbang buncis, memotong daun singkong, dan bercanda dengan Pak Harjo seperti biasa.

Hari itu, Reno pulang dengan memori kamera penuh dan hati hangat. Ia kembali esoknya, dan esoknya lagi. Sampai suatu hari, ia membawa ibunya yang ternyata sedang sakit dan susah makan.

"Ibu saya cuma bisa makan sayur bening,"

kata Reno pelan. "Tapi dia bilang, sayurnya selalu hambar. Saya ingat Ibu cerita soal kemangi…"

Bu Leli tersenyum. Ia mengambil sebungkus kecil kemangi, lalu meracik sendiri bumbu sayur bening versi 'Bu Leli'. "Bilang ke ibumu, kalau ini nggak enak, saya yang salah. Tapi kalau enak, ya... berarti kemanginya yang sakti."

Dua hari kemudian, Reno datang lagi. Kali ini dengan mata berkaca-kaca.

"Ibu saya makan habis, Bu. Bahkan minta nambah. Katanya rasanya seperti masa kecil."

Bu Leli hanya mengangguk. Ia tahu betul, rasa yang dikenang bukan cuma soal lidah—tapi soal kenangan. Aroma kemangi, manisnya labu, gurih kuah bening, semua bisa membawa seseorang pulang ke masa di mana dunia belum terlalu cepat, belum terlalu asing.

***

Film dokumenter Reno tayang dua bulan kemudian. Judulnya sederhana: "Pasar yang Bernyawa."

Salah satu bagian yang paling banyak dibagikan di media sosial adalah ketika Bu Leli bilang:

"Kalau hidup ini seperti pasar, maka yang paling penting bukan berapa untungnya. Tapi siapa yang pulang dengan senyum, dan siapa yang kita bantu hari ini."

Komentar netizen pun beragam. Ada yang bilang, "Bu Leli harus jadi menteri pangan!"

Ada juga yang bilang, "Ini baru inspirasi, bukan seleb-seleb instan!"

Bu Leli, tentu saja, tetap tidak punya Instagram. Tapi Dafa mencetak komentar-komentar itu dan menempelkannya di dinding dapur mereka.

"Ibu sekarang selebritas pasar,"

kata Dafa sambil tertawa.

"Kalau selebritas bisa ngupas singkong 2 kilo dalam 10 menit, baru saya akui,"

jawab Bu Leli.

***

Hari-hari terus berjalan. Pasar tetap gaduh, tetap penuh gosip dan tawa. Tapi perubahan kecil mulai terasa. Sekelompok ibu-ibu mulai membuat koperasi mini atas inisiatif Bu Leli. Ide dasarnya sederhana: saling bantu kalau harga cabe meroket atau kalau ada yang sakit dan butuh biaya.

"Kita nggak punya banyak, tapi kita punya ramai,"

ujar Bu Leli dalam rapat pertama koperasi, yang lebih mirip arisan tapi dengan niat mulia.

Bahkan anak-anak muda dari kampus terdekat mulai berdatangan. Ada yang membuat desain ulang gerobak, ada yang menciptakan sistem digital sederhana untuk pencatatan stok dan uang kas. Pasar Cempaka seperti tumbuh akar baru—tua di luar, tapi muda di dalam.

***

Suatu malam, saat hujan turun pelan dan angin menepuk-nepuk genteng, Bu Leli duduk di beranda rumahnya. Di tangannya ada foto lama: dirinya berdiri di depan hotel tempat ia dulu bekerja, mengenakan seragam rapi dan senyum muda penuh ambisi.

Di sebelah foto itu, tergeletak gambar dari anak kecil yang dulu memberinya gelar "Pahlawan Sayuran."

Ia menatap keduanya lama, lalu berkata pelan, "Kalau hidup ini seperti pasar, kadang kita hanya perlu pindah lapak untuk tahu tempat yang pas."

Lampu di dapur menyala samar. Dafa sedang menyeduh teh. Aroma kemangi dari pekarangan ikut masuk ke dalam rumah, seperti mengingatkan: esok pagi pasar akan hidup lagi, dan lapak Bu Leli akan tetap jadi rumah bagi tawa, curhat, tawar-menawar, dan sedikit keajaiban yang tersembunyi dalam seikat bayam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja