Musim Dingin yang Membeku di Dalam Dada

Kalau kau berdiri di Jalan Taman Mentari saat pukul tujuh pagi di bulan Juni, kau akan melihat pemandangan yang agak aneh: perempuan muda berbalut mantel tebal dan selendang abu-abu besar, berjalan pelan seolah-olah tengah melewati trotoar Paris, padahal dia hanya melewati kios gorengan dan warung pecel lele yang belum buka.

Namanya Liana.

Usianya dua puluh sembilan, tapi wajahnya selalu terlihat seperti dua puluh lima. Entah itu karena dia memang awet muda, atau karena dia belum pernah benar-benar mengurus hidupnya dengan serius. Salah satu dari dua kemungkinan itu, dan keduanya sama-sama membingungkan.

cerpen terbaik tentang musim dingin
ilustrasi oleh Diono di Adobe Stock.

Setiap pagi, Liana akan keluar dari kontrakan mungilnya dengan ritual yang sama: selendang dibelit dua kali, rambut digerai ke kanan, pandangan lurus ke depan—dan satu hal paling penting—tanpa ekspresi. Dia bukan muram. Bukan juga sedih. Dia hanya… tenang.

Tapi di balik ketenangan itu, seisi kontrakan tahu satu hal: Liana punya misteri. Dan bukan misteri biasa. Misteri yang membuat tukang laundry di ujung gang berani bertaruh satu setrika uapnya bahwa Liana dulunya mata-mata Rusia.

Padahal kenyataannya jauh lebih sederhana—dan jauh lebih aneh.

---

Kontrakan Liana terletak di sebuah gang sempit bernama Jalan Bunga Rosalia II, yang ironisnya tidak ada bunga dan tidak ada Rosalia di sana. Tetangga Liana terdiri dari berbagai karakter yang bisa membuat satu season sinetron: Bu Nunuk yang selalu mengintip dari jendela dan punya radar gosip yang lebih sensitif dari Wi-Fi, Bang Sastro si seniman gagal yang setiap hari menyetel lagu dangdut remix dari jam lima pagi, dan tentu saja, Dodi—si pemilik kucing oranye yang selalu salah masuk rumah orang.

"Liana tuh aneh," kata Bu Nunuk suatu pagi sambil menyiram pot yang tak pernah tumbuh isinya. "Masak dia bisa ke minimarket jam dua pagi cuma buat beli satu bungkus teh hijau."

Bang Sastro menimpali sambil menguap lebar, "Aku curiga dia agen rahasia. Atau minimal, dia punya kekasih gelap yang kerjanya shift malam."

Kucing Dodi, yang namanya juga Dodi, hanya mengeong sambil menggulingkan diri di sandal Liana yang tertinggal di teras. Dan seperti biasa, Liana tetap tenang. Tidak menanggapi. Tidak mengklarifikasi.

Karena bagi Liana, hidup bukan tentang membuktikan siapa diri kita. Tapi tentang menyembunyikan fakta bahwa kita belum bayar listrik.

---

Hari itu hari Senin. Pagi mendung, dan udara menghembuskan bau tanah basah yang baru saja dicuci hujan semalam. Liana berjalan seperti biasa, melewati kios gorengan, menyapa Bang Ujang si tukang tambal ban dengan anggukan kecil, lalu berhenti di kafe kecil di pojok gang bernama Kopi & Komedi.

Kafe itu punya dua menu andalan: kopi hitam pekat dan sarkasme barista.

Baristanya bernama Rinto. Usianya dua puluh lima, rambut berantakan, dan senyum yang lebih sering digunakan untuk sarkasme daripada keramahan.

"Selamat pagi, Mbak Liana. Selendang abu-abu hari ini? Wah, perubahan besar," katanya sambil menuangkan air panas ke dalam V60.

Liana duduk tanpa bicara. Seperti biasa. Tapi kali ini, dia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan mulai menulis.

Rinto yang penasaran, diam-diam melongok ke arah tulisan Liana. Tapi hanya sempat membaca satu kalimat:

"Aku mencurigai bahwa kucing Dodi bisa membaca pikiran manusia."

Rinto langsung mengambil dua teguk espresso-nya sendiri. "Oke. Hari ini akan jadi hari yang panjang."

---

Sebenarnya, Liana bukan gadis aneh. Dia hanya… berbeda.

Misalnya, dia percaya bahwa setiap orang punya ‘lagu tema’ sendiri-sendiri. Lagu yang diam-diam mengiringi langkah mereka setiap hari. Lagu tema Liana? Dia bilang itu adalah "Canon in D" versi slow jazz. Kadang-kadang berubah jadi "Gundul Pacul" kalau lagi lapar.

Atau keyakinannya bahwa benda-benda punya perasaan. Gelas kopi yang terlalu lama kosong bisa merasa kesepian. Payung yang tidak pernah dibuka merasa tidak berguna. Bahkan dia pernah minta maaf pada bantal karena tanpa sengaja menduduki sisi yang salah.

Tapi hari itu, sesuatu berubah.

Liana menerima surat.

Bukan e-mail. Bukan chat. Bukan bahkan pesan di bawah pintu seperti biasa dilakukan oleh Pak RT. Tapi benar-benar surat—kertas, amplop, perangko, dan tulisan tangan dengan tinta biru.

Surat itu diletakkan di meja kopinya di Kopi & Komedi. Tidak ada nama pengirim. Hanya tertulis:

"Untuk yang menyimpan rahasia,
aku tahu apa yang kau sembunyikan."

Rinto sempat melihatnya, dan dengan nada yang mencoba netral berkata, "Mbak… ini prank? Atau pengagum rahasia yang terlalu serius?"

Liana membacanya perlahan, lalu melipat kembali surat itu dengan tenang. Tapi di matanya, ada kilatan—bukan marah, bukan takut, tapi seperti seseorang yang tiba-tiba mengingat sesuatu yang sudah lama dikubur di rak paling bawah dalam lemari pikiran.

Rinto akhirnya duduk di seberang meja, melupakan tugasnya membuat kopi untuk pelanggan lain.

"Serius deh, Mbak. Ini kayak plot film thriller. Mbak punya rahasia apa sih?"

Liana mengangkat bahu pelan, lalu berkata lirih, "Aku... pernah kabur dari pertunjukan teater saat klimaks cerita."

Rinto menatap kosong.

"…Itu aja?"

Liana mengangguk. Tapi senyumnya, yang sangat kecil dan nyaris tak terlihat, seperti mengatakan: Tentu saja tidak. Tapi kamu belum siap tahu sisanya.

---

Malamnya, Liana duduk di kamar, di depan catatan kecil yang sama. Ia menulis ulang isi surat itu, lalu menambahkan catatan kaki:

"Jika seseorang tahu rahasiaku, dia pasti tahu tentang 'hari itu'. Dan jika dia tahu 'hari itu'… maka dia juga tahu tentang Nova."

Nova. Sebuah nama yang selama ini hanya dia sebut dalam hati. Sebuah bagian dari masa lalu yang tak pernah dia ceritakan, bahkan pada dirinya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Liana merasa… takut. Tapi juga sedikit tertantang.

Karena mungkin, hanya mungkin, inilah saatnya dia menghadapi semuanya. Atau minimal, menyelidiki siapa yang cukup nekat mengirim surat misterius ke meja kopinya.

Dengan mengenakan kembali selendangnya, Liana berdiri menghadap cermin. Dia menatap bayangannya sendiri dan berkata pelan, "Oke, kita main, ya. Tapi dengan aturan aku."

Dan entah kenapa, di luar jendela, Dodi si kucing mengeong dua kali, seolah setuju.

Pagi di gang Bunga Rosalia II selalu dimulai dengan suara sapu lidi dan ayam yang salah waktu. Tapi pagi ini berbeda. Karena Liana—perempuan dengan reputasi tenang seperti lukisan di galeri sepi—terlihat sedang berbicara sendiri sambil membawa selendang abu-abu favoritnya. Bukan gumaman. Tapi percakapan sungguhan. Dengan siapa?

Dengan dirinya sendiri, tentu saja.

"Kalau ini jebakan, setidaknya aku pakai lip balm," gumamnya sambil berkaca di sendok makan yang dipakai buat oles roti.

---

Setelah surat misterius kemarin, Liana menyusun "rencana investigasi" yang... yah, sebenarnya lebih cocok disebut improvisasi kreatif berbasis intuisi dan kopi.

Langkah pertama: kembali ke Kopi & Komedi, kafe tempat semua kekacauan ini dimulai. Ia datang lebih pagi dari biasanya, berharap bisa menyelinap sebelum Rinto si barista mulai menyapa dengan sarkasme pagi.

Tapi sayangnya, harapan itu tinggal harapan.

"Wah, Mbak Liana, pagi-pagi sekali. Apa surat ancaman lebih enak dibaca sambil sarapan?" sapa Rinto dari balik mesin espresso, tanpa melihat.

Liana mendesah kecil. "Punya kopi yang bisa menghilangkan memori masa lalu?"

Rinto menjawab sambil menuangkan susu ke dalam cangkir, "Kalau ada, saya sudah lupa mantan saya dari tahun 2018."

"Fair enough."

Liana memilih duduk di meja yang sama seperti kemarin. Tapi hari ini, tak ada surat misterius. Hanya satu baki kosong, dan secarik kertas kecil bertuliskan:

"Petunjuk berikutnya ada di tempat yang pernah kau tinggalkan."

Liana membacanya pelan. Sambil menatap Rinto dengan ekspresi setengah bingung, setengah lapar.

"Ini udah kayak escape room, tapi hadiahnya mungkin cuma donat basi," gumamnya.

Rinto penasaran, ikut membaca. "Tempat yang pernah kau tinggalkan? Maksudnya... mantan kosan? Atau panggung teater yang katanya kamu kabur itu?"

Liana tidak menjawab. Tapi ada sorot mata yang berubah. Sedikit gentar. Sedikit penasaran.

---

Beberapa jam kemudian, Liana sudah berada di atas ojek online menuju sebuah gedung tua di pinggir kota. Dulunya itu adalah rumah budaya kecil, tempat komunitas teater "Sang Rasa" sering mengadakan pertunjukan. Dan ya, di sanalah, lima tahun lalu, Liana pernah tampil—dan kabur di tengah adegan klimaks drama berjudul "Langit Tanpa Lampu."

Penonton bingung. Pemeran utama (yang juga mantannya) menangis. Sutradara hampir pensiun dini. Dan Liana? Dia kabur keluar lewat pintu belakang, lalu tidak pernah kembali.

Tidak ada yang tahu kenapa. Sampai sekarang.

Gedung itu masih berdiri. Lebih kusam, lebih sepi, dan—anehnya—lebih misterius. Pintu kayu depan agak berderit saat dibuka. Bau debu dan lemari tua menyeruak, seolah memeluk setiap kenangan yang tertinggal.

Liana melangkah pelan masuk ke aula utama.

Dan di sana, tepat di atas panggung, ada sebuah... donat.

Ya. Donat. Di atas piring plastik bening. Taburan kejunya tampak segar. Aneh? Sangat. Menggoda? Sedikit.

Di sebelah donat itu, ada secarik kertas lain:

"Kau masih suka yang manis-manis, kan?
Petunjuk berikutnya ada di tempat kau pernah menyimpan suara.

Nova"

Liana tertegun. ‘Tempat kau pernah menyimpan suara’? Apa itu? Studio? Rekaman? Atau...?

Sebelum sempat menganalisis lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara dari pojok ruangan. Seseorang bersin.

"HECHU!"

Liana langsung menoleh cepat.

Seorang pria muncul dari balik tirai hitam di sudut panggung. Usianya sekitar tiga puluh lima, berkacamata bulat, mengenakan jaket tebal seperti baru pulang dari Lembang, padahal ini Jakarta.

"Eh… hai?" sapa pria itu sambil mengangkat tangan. "Maaf, saya kaget lihat kamu. Kukira kamu hantu."

Liana menyipitkan mata. "Kamu... siapa?"

Pria itu tertawa gugup. "Aku... Haris. Dulu tukang lighting di komunitas teater kita. Sekarang freelance—lighting juga. Kadang bantu syuting iklan... kadang jadi model tangan."

Liana mengangguk pelan. "Model tangan ya... hidup yang fleksibel."

"Jadi, kamu kembali ke sini karena...?"

Seketika, Liana tersadar. Mungkin Haris tahu sesuatu.

Dia mendekat. "Kamu tahu siapa Nova?"

Haris terdiam. Wajahnya berubah. "Nova...? Kamu masih ingat dia?"

"Dia masih di sini?" tanya Liana, nada suaranya lebih tenang daripada jantungnya.

Haris tidak langsung menjawab. Tapi kemudian berkata pelan, "Kalau kamu mau tahu tentang Nova… kamu harus ke tempat dia biasa merekam suara. Di studio lama belakang perpustakaan kota."

Liana mengangguk. Dalam hati, ia mengulang-ulang kalimat itu: Nova. Studio lama. Perpustakaan kota.

Sebelum pergi, Liana mengambil donat dari atas panggung.

"Donatnya kamu yang taruh?"

Haris menggeleng cepat. "Bukan. Aku bahkan bawa bekal sendiri: nasi goreng kornet dari rumah."

Liana menatap donat itu lagi.

"Oke… ini makin aneh."

---

Sore harinya, Liana kembali ke rumah dengan kepala penuh teka-teki. Surat-surat aneh, donat kejutan, pria yang bersin di panggung, dan nama Nova yang kembali muncul setelah bertahun-tahun.

Dia belum tahu siapa pengirim surat. Dia belum tahu kenapa Nova mendadak muncul dalam bayang-bayang hidupnya. Tapi satu hal dia tahu pasti:

Misteri ini belum selesai.

Dan mungkin, jawabannya bukan hanya tentang masa lalu.

Tapi juga tentang siapa dirinya sebenarnya.

Sementara itu, Dodi si kucing duduk di atas TV, menatap Liana dengan mata tajam. Seolah berkata: "Saya tahu semua, tapi saya kucing. Jadi saya nggak akan kasih tahu."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa