Mister Garnadi dan Setelan Abu-Abu

Hari itu, langit Jakarta sedang malas membuka tirainya. Awan-awan bergelayut seperti cucian belum kering, dan aroma kopi sachet lima ratus perak mengambang dari kios di ujung gang. Di tengah suasana yang nyaris sendu itu, seorang pria berdiri dengan postur yang membuat lampu jalan merasa tersaingi.

cerpen terbaik tentang musim dingin
ilustrasi oleh Diono di Adobe Stock.

Namanya Garnadi. Bukan Garnadi biasa, tapi The Garnadi, seperti cara ia mengenalkan dirinya saat wawancara kerja — bahkan untuk posisi OB.

Garnadi mengenakan setelan jas abu-abu terang, rapi, mulus, seolah baru saja keluar dari mesin penyetrika milik surga. Dasi hitamnya lurus seperti jalan tol, dan rambutnya licin seperti licinnya alasan tukang parkir saat dimintai kembalian. Tidak ada yang tahu pasti apa pekerjaan Garnadi, tapi setiap orang di kantor Kencana & Partners sepakat: Garnadi terlalu rapi untuk jadi manusia biasa.

"Ada yang aneh sama Pak Garnadi," bisik Wina, staf admin yang lebih sering bergosip daripada mengetik laporan.

"Apa tuh? Jangan bilang dia robot, ya. Soalnya kemarin aku lihat dia senyum waktu ngetik Excel... dengan dua jari. Rapi banget," sahut Rudi, tukang fotokopi yang sudah hafal letak staples di seluruh lantai tiga.

Tapi Garnadi tak terganggu oleh bisik-bisik itu. Ia melangkah ke ruang rapat dengan gaya seperti sedang audisi James Bond versi Indonesia — minus pistol, tentu saja. Di dalam ruang rapat, ia membuka map kulitnya, mengeluarkan pulpen Montblanc, lalu... hanya diam.

Ia memang terkenal seperti itu. Tidak banyak bicara, tapi begitu ia berkata, semua akan berhenti. Bahkan mesin kopi di pantry seakan berhenti merengek saat Garnadi berdeham. "Menurut saya, presentasi ini... bisa lebih baik kalau tidak ada musik latar EDM," katanya pelan, tapi menembus kalbu.

Kisah Garnadi bukan hanya soal jas rapi dan suara tenang. Ia juga memiliki kebiasaan aneh: setiap pukul 11.11 pagi, ia berdiri sejenak di jendela, memandang keluar, lalu mencatat sesuatu di buku saku kecilnya yang berjudul "Observasi Ringan tapi Penting".

"Apa sih yang dia catat tiap hari? Jalanan macet? Awan bentuk kucing?" gumam Wina, penasaran seperti biasa.

Namun suatu hari, segalanya berubah. Tepat pukul 11.11, Garnadi berdiri seperti biasa di jendela. Tapi hari itu, ia tidak mencatat apa-apa. Ia mengernyit. Tangannya bergerak ke sakunya, lalu... kosong. Buku kecilnya hilang.

Seluruh kantor gempar. Tidak, mereka tidak peduli soal dokumen keuangan hilang atau klien besar batal tanda tangan. Tapi buku catatan Garnadi yang hilang? Itu seperti kehilangan artefak sejarah.

"Dia... tampak gelisah," ujar Pak Hendra dari bagian legal, yang biasanya tak pernah peduli kecuali ada kata 'kontrak'.

Selama dua hari penuh, Garnadi seperti kehilangan kompas. Jasnya tetap rapi, tapi dasinya sedikit miring (hanya dua derajat, tapi cukup membuat Rudi panik). Ia mulai menatap printer lama seperti menatap musuh lama. Bahkan, ia ketahuan salah meletakkan pulpen di sebelah kiri meja — padahal biasanya selalu di kanan, sejajar dengan mouse.

Dan kemudian, pada hari ketiga, ia menerima sebuah amplop misterius.

Tanpa nama pengirim, hanya bertuliskan: "Jika ingin bukumu kembali, datanglah ke Taman Ayunan jam tiga sore. Jangan pakai dasi."

Seluruh kantor menahan napas. Garnadi membaca surat itu sekali. Hanya sekali. Lalu ia berdiri, melepaskan dasinya (suatu kejadian yang belum pernah terjadi bahkan saat pelantikan direktur), dan pergi tanpa suara.

Rudi sampai tersedak kopi instan.

"Dia... buka dasi?! Ini darurat kantor!"

Di taman ayunan yang sepi, Garnadi tiba tepat waktu. Jasnya tetap rapi. Tapi lehernya kosong. Di sana, duduk seorang anak kecil — mungkin umur 10 — memegang buku catatan yang sangat dikenalnya.

"Pak Garnadi?" tanya si anak. "Bapak pernah jadi detektif, ya?"

---

Garnadi menatap bocah itu seperti sedang menilai nilai ujian matematika tanpa rumus—bingung, namun tetap tenang. Anak itu duduk di atas ayunan yang bergoyang pelan, seolah tahu cara menciptakan efek dramatis tanpa perlu belajar sinematografi.

"Dari mana kamu dapat buku ini?" tanya Garnadi, nada suaranya tetap tenang, tapi sekarang ada seutas penasaran yang menyelip di ujung kata-katanya.

Anak itu tidak langsung menjawab. Ia membuka buku kecil itu dan memperlihatkan isinya: catatan-catatan rapi, berbaris seperti pasukan militer, lengkap dengan tanggal, waktu, bahkan suhu udara—yang entah bagaimana Garnadi ukur tanpa termometer.

"Nama saya Yoyo. Saya nemu buku ini di halte depan kantor Bapak. Saya baca, dan... isinya keren! Tapi juga agak aneh sih," katanya sambil menirukan suara misterius, "‘11.11 – Pria bertopi merah membeli tahu bulat dengan ekspresi mencurigakan.’"

Garnadi menghela napas. "Itu bagian dari pengamatan rutin. Saya sedang menyusun pola keanehan harian."

Yoyo menatapnya serius, "Jadi, Bapak beneran detektif?"

Seketika, Garnadi membeku. Ia memandang langit, sejenak tampak ragu. Lalu, ia tersenyum samar—senyum yang membuat burung merpati di taman mendadak berhenti berkicau.

"Dulu, iya. Sekarang... saya lebih sering mengawasi printer yang ngadat dan lift yang berhenti di lantai dua tanpa alasan."

Yoyo tampak kecewa, "Oh, kirain Bapak lagi menyamar jadi pegawai kantoran buat nyelidikin pencuri donat di pantry."

"Pencuri donat?" alis Garnadi terangkat.

Yoyo mengangguk semangat. "Kakak saya kerja di gedung yang sama. Dia cerita tiap hari Kamis, donat di pantry selalu hilang padahal udah dikunci. Kata Kakak, itu misteri besar. Saya pikir, wah... pasti ada agen rahasia yang menyelidiki. Lalu saya lihat catatan Bapak... ya saya yakin ini pekerjaan intelijen."

Garnadi terdiam. Satu sisi ingin menegur anak itu karena mengambil buku sembarangan, tapi sisi lainnya... ia tertarik.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Mari kita uji teorimu."

Yoyo melongo. "Maksudnya?"

"Kita selidiki pencuri donat itu. Bersama."

----

Keesokan harinya, kantor Kencana & Partners tidak hanya kedatangan klien baru, tapi juga ‘asisten investigasi’ baru bernama Yoyo, yang menyamar sebagai keponakan Garnadi sedang tugas sekolah. Wina melihat anak itu menulis sesuatu di buku saku dan berbisik ke Rudi, "Tuh anak... kecil-kecil mirip Garnadi versi pendek."

Misi mereka dimulai. Yoyo mencatat siapa saja yang keluar-masuk pantry. Garnadi memeriksa CCTV dengan alasan "uji respons sistem keamanan pasif". Mereka membuat hipotesis: pelaku suka donat isi selai stroberi, karena hanya itu yang selalu lenyap.

Dan saat hari Kamis tiba—hari yang dinanti sekaligus ditakuti donat-donat malang itu—Garnadi memasang jebakan. Ia menaruh donat stroberi palsu, yang diisi pasta cabai merah super pedas level 10, lalu diam-diam menunggu.

Tiga puluh menit kemudian, suara jeritan lirih terdengar dari pantry.

"Waaahhh! Ini donat apaaaaa?!"

Semua orang menoleh. Dari dalam pantry muncul Pak Darto, kepala keuangan yang biasanya setenang angka-angka di laporan.

Bibinya merah. Lidahnya nyaris terbakar.

Yoyo dan Garnadi saling pandang. Kasus terpecahkan.

Sore itu, Garnadi kembali berdiri di depan jendela kantor, jam menunjukkan 11.11—meski sudah lewat beberapa jam dari waktu biasanya. Di sampingnya, Yoyo menggambar siluet dirinya dan Garnadi di buku catatan.

"Pak Garnadi," kata Yoyo sambil menahan tawa, "Bapak tahu nggak? Di sekolah nanti saya bakal cerita bahwa saya bantu detektif super menyelidiki pencurian donat."

Garnadi tersenyum. "Dan saya akan cerita ke orang kantor bahwa saya dibantu detektif junior menyelamatkan pantry dari krisis donat."

"Jadi... Bapak bakal jadi detektif lagi?"

Garnadi memandang jauh ke arah cakrawala Jakarta yang berlapis polusi tipis.

"Mungkin. Tapi mulai sekarang... saya akan selalu mencatat jam 11.11 bukan hanya hal-hal aneh. Tapi juga hal-hal luar biasa yang sering kita anggap biasa. Seperti kejujuran, dan donat yang tak dicuri."

Yoyo mengangguk khidmat. Lalu tiba-tiba bertanya, "Pak, Bapak udah pernah nulis pengamatan soal yang ngetok-ngetok keyboard tapi ternyata main game Minesweeper?"

Garnadi menoleh. "Belum. Tapi itu akan jadi catatan ke-138."

Dan di sinilah kisah Garnadi si pria bersetelan jas sempurna dimulai kembali—bukan sekadar sebagai pegawai kantor misterius, tapi sebagai penjaga ketertiban kecil di dunia yang sering lupa pada detail-detail sederhana.

TAMAT

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa