Surat-Surat Pak Darma
Hari itu, langit di atas Kampung Senggol tampak cerah seperti wajah anak SD yang baru saja dapat es krim. Burung-burung berkicau seakan sedang ikut rapat RT, dan angin bertiup pelan, cukup untuk membuat jemuran Ibu Sari berputar-putar seperti kipas angin rusak.
Di rumah nomor 7—yang bisa dikenali dari suara decit pagarnya yang legendaris—tinggallah seorang pria paruh baya bernama Pak Darma. Usianya sudah lewat kepala lima, tapi gaya rambutnya masih model "sisir rapi ke samping dengan harapan masa depan cerah". Ia dikenal sebagai pria sederhana, rajin, dan punya kebiasaan unik: menulis surat.
Setiap pagi, setelah menyeduh kopi hitam pekat dan menyantap pisang goreng buatan sendiri (yang lebih sering gosong daripada tidak), Pak Darma akan duduk di kursi kayu andalannya. Kursi itu sudah sedikit miring ke kiri, mungkin karena terlalu sering dipakai merenung nasib negara. Di hadapannya ada meja tua yang kalau diketuk tiga kali, bisa memanggil kenangan masa muda.
Dengan kemeja kuning mustard kebanggaannya, Pak Darma menatap selembar kertas putih di depannya. Tangannya memegang pena hitam seperti senjata rahasia agen intel. Tapi alih-alih menyusun rencana rahasia, yang ditulis Pak Darma adalah… surat. Ya, surat.
Yang membuat menarik, bukan surat kepada siapa pun secara langsung. Ia menulis surat kepada hal-hal yang tidak biasa: seperti hujan, lampu jalan, bahkan kepada sandal jepit yang kehilangan pasangan.
Pagi itu, surat yang sedang ia tulis adalah untuk "Meja Kerja".
"Wahai meja kerjaku yang setia,"
tulisnya sambil mengerutkan dahi seolah-olah sedang menulis puisi cinta yang ditolak."Sudah berapa lama kau menampung keluhan hidupku, dari soal utang listrik sampai patah hati karena gagal menang lomba melukis di kelurahan."
Pak Darma berhenti sejenak. Ia melirik ke luar jendela, melihat kucing tetangga sedang memandangi seekor kupu-kupu dengan tatapan bingung. "Kucing pun punya rasa ingin tahu," gumamnya sambil tersenyum simpul.
Kembali ke kertas, ia melanjutkan.
"Engkau tetap di situ, diam, kokoh, meski pernah dipakai cucu tetangga sebagai panggung sandiwara."
Sementara itu, di luar rumah, warga Kampung Senggol mulai memperhatikan kebiasaan Pak Darma. Mereka menyangka dia sedang menulis buku penting. Bahkan Pak RW sempat menduga bahwa Pak Darma tengah menyusun autobiografi berjudul "Memoar Lelaki dan Meja."
Tetapi kenyataannya, surat-surat itu tidak pernah dikirim. Tidak pernah dipublikasikan. Ia hanya disimpan rapi dalam laci yang—percaya atau tidak—terkunci dengan karet gelang.
Namun ada yang berbeda hari itu.
Saat Pak Darma hendak menutup suratnya dengan kalimat, "Salam hormat, dari penulis tak dikenal," tiba-tiba kertas itu terbang tertiup angin, keluar jendela, dan melayang-layang dengan anggun seperti balerina yang baru belajar pirouette.
Pak Darma berdiri kaget. "Waduh! Suratnya kabur!"
Dan tanpa pikir panjang, ia mengejar kertas itu. Langkahnya cepat, seolah mengejar cinta pertama yang tiba-tiba naik ojek ke arah yang salah.
Apa yang tidak ia tahu, surat itu akan mendarat di tempat yang tak terduga.
Dan di situlah semua mulai berubah...
Kertas putih itu menari-nari di udara, menolak gravitasi seolah-olah ia punya rencana sendiri. Pak Darma, dengan semangat yang jarang muncul bahkan saat diskon minyak goreng, berlari menyusuri jalanan kampung. Satu tangan menahan celana training yang mulai longgar, tangan lain menjangkau angin.
"Eh, Pak Darma! Lari pagi, ya?"
sapa Bu Imas, penjual gorengan yang melihatnya melintas seperti ninja kesiangan."Surat! Surat saya!"
jawab Pak Darma, tak sempat menjelaskan.Bu Imas hanya mengangguk-angguk, lalu bergumam, "Wah, serius banget suratnya. Jangan-jangan tagihan listrik naik lagi…"
Sementara itu, kertas surat tadi mendarat dengan anggun di depan bengkel tambal ban milik Mang Ujang. Pria bertubuh besar dengan kumis tebal seperti semak belukar itu sedang sibuk mengelap ban dalam bekas. Ia tidak menyadari bahwa pagi itu ia akan mendapat kejutan bukan dari pelanggan, tapi dari... sastra.
"Lah, apaan nih?" katanya saat melihat kertas bersih dengan tulisan rapi di atas lantai bengkel.
Mang Ujang memungut kertas itu dan mulai membaca keras-keras.
"Wahai meja kerjaku yang setia..."
Ia mengernyit. "Ini… surat cinta? Tapi kok buat meja?"
Rasa penasaran mengalahkan tugas menambal ban bocor. Ia duduk di bangku kayu, menyesap kopi yang sudah hampir dingin, dan membaca seluruh surat itu dengan perlahan. Di akhir surat, ia justru merasa... tersentuh.
"Meja pun bisa dapat surat. Saya? Saya cuma dapat tagihan gas!" katanya lirih, sambil menatap jauh ke arah panci mie instan di pojok ruangan.
Tidak lama kemudian, datang Pak Darma, napas ngos-ngosan seperti habis lomba lari karung.
"Mang Ujang! Lihat surat—eh, itu dia!"
serunya begitu melihat kertasnya sudah di tangan Mang Ujang."Pak Darma! Ini surat Bapak ya? Luar biasa lho, saya baca sampe merinding. Ternyata meja pun punya kenangan,"
ucap Mang Ujang, matanya berbinar seperti anak kecil baru tahu es krim rasa ketan hitam.Pak Darma tertawa kecil, sambil mengibas-ngibas kausnya yang basah oleh keringat. "Itu cuma surat iseng, Mang. Saya suka nulis begitu aja. Kadang buat kursi, kadang buat panci, kadang buat… sandal jepit sebelah."
Mang Ujang menepuk bahu Pak Darma. "Pak, sumpah ini keren. Bapak harus nulis lebih banyak. Kalau perlu, kita bikin kumpulan surat. Saya cetak, saya jualin di bengkel. Judulnya ‘Surat dari Kampung Senggol’!"
Pak Darma tertawa, tapi dalam hati, ia merasa aneh. Ada getar-getar kecil yang jarang muncul. Semacam... semangat?
"Serius, Mang?"
tanyanya."Serius. Kita kerja sama. Saya bagian promosi, Bapak bagian isi. Nanti bonusnya... satu piring pisang goreng,"
kata Mang Ujang sambil mengedipkan mata.Pak Darma tertawa lebih keras. "Mang, kalau begitu, saya mulai nulis lagi. Tapi kali ini, suratnya buat siapa ya...?"
Mang Ujang mengangkat ban bocor dan berkata, "Gimana kalau buat ban dalam yang sudah lelah tapi tetap setia menopang beban?"
Keduanya terbahak. Dan hari itu, tanpa direncanakan, sebuah proyek kecil dimulai: Surat-surat absurd yang menyentuh hati.
Dan siapa sangka? Surat-surat itu akan mengubah bukan hanya hari-hari Pak Darma, tapi juga Kampung Senggol. Karena dalam kata-kata sederhana, kadang terselip makna yang membuat orang lupa sebentar pada tagihan, politik, dan bahkan... ban bocor.
Komentar
Posting Komentar