Rahasia Dapur Bu Narti

Di sebuah kampung kecil yang tenang di kaki gunung, hiduplah seorang perempuan bernama Bu Narti. Orang-orang kampung memanggilnya "Bu Narti Dapur Panas"—bukan karena emosinya, tapi karena dapurnya memang selalu berasap. Mulai dari jam lima pagi, asap dari dapurnya sudah menari-nari di udara seperti penari Jaipong kehilangan musik.

Bu Narti bukan koki biasa. Ia bisa membuat sambal yang katanya, kalau orang sedih makan itu, bisa tertawa. Kalau orang lagi ketawa, malah bisa nangis—karena pedasnya.

Pagi itu, Bu Narti sedang mengaduk wajan besar berisi sambal terasi legendaris. Api mengepul, dan bumbu-bumbu bergoyang di bawah sendok kayunya. Kain celemeknya penuh noda, tapi wajahnya bersinar seperti mentari pagi yang baru bangun.

"Coba kamu lihat, Ti," katanya pada cucunya, Siti, yang sedang duduk sambil main HP. "Ini sambal bukan sembarang sambal. Ini sambal yang pernah bikin Pak RT kehilangan suara seminggu. Dan itu bukan karena sakit, tapi karena terlalu banyak ngomel waktu makan!"

Siti terkekeh. "Iya, Nek. Tapi jangan sampai bikin geger kampung lagi ya. Yang minggu lalu itu... sampai Bu RW datang bawa galon kosong, minta resep sambal kayak minta minyak goreng subsidi."

Bu Narti tertawa lepas. "Itulah, sambalku bukan sembarang sambal. Ada rahasianya."

Siti mengangkat alis. "Apa? Pakai jampi-jampi?"

"Nggaklah. Rahasianya... cinta."

"Duh, Nek. Klise banget."

"Eh, jangan salah. Cinta itu bumbu paling mahal. Makanya kamu masih jomblo, masak mie instan terus!"

Siti melemparkan tatapan malas sambil menyembunyikan senyumnya. Dapur itu mungkin sempit, tapi hangatnya bisa ngalahin ruang keluarga dengan AC.

Tapi hari itu, sesuatu yang aneh terjadi.

Saat Bu Narti menyendok sambal ke dalam toples-toples kaca untuk dijual, tiba-tiba salah satu toples bergetar. Iya, bergetar. Seperti ada yang ngetuk dari dalam.

Siti menatap toples itu, lalu neneknya. "Nek... itu... kenapa toplesnya goyang sendiri?"

Bu Narti terdiam. Ia mendekat, menyipitkan mata. "Hmm... jangan-jangan sambalnya... terlalu hidup."

"Apaan sih, Nek. Jangan bikin aku takut."

Toples itu mendadak meletup kecil, "plup!", dan tutupnya terbuka sedikit. Asap tipis keluar, dan tercium aroma... aneh. Seperti sambal, tapi juga seperti... parfum pria?

Siti menutup hidung. "Nek! Ini sambal atau pocong baru bangkit dari salon?"

Bu Narti memicingkan mata, lalu tertawa keras. "Hahah! Mungkin aku salah ambil minyak. Itu tadi... minyak angin Bapakmu!"

Siti ternganga. "Pantas sambalnya kayak habis ikut lomba lari!"

Bu Narti buru-buru menyendok sambal yang lain. Tapi dalam hatinya, ada rasa penasaran. Karena ia yakin, tadi dia tidak salah ambil bahan. Tapi mengapa sambalnya... seperti punya nyawa?

Di luar, ayam-ayam kampung mulai berkokok heboh. Dan di pojokan dapur, toples sambal itu pelan-pelan bergoyang... lagi.

Malam harinya, kampung mulai sepi. Lampu-lampu minyak dinyalakan, jangkrik bersenandung, dan televisi tetangga menyala keras—menyiarkan sinetron yang dialognya lebih dramatis daripada perasaan mantan.

Siti masih belum bisa melupakan kejadian siang tadi. Ia memandangi toples sambal yang kini diletakkan di meja makan, dibungkus kain seperti bayi. Seolah-olah sambal itu habis dikerok karena masuk angin.

"Nek, aku masih nggak tenang. Kalau toples itu bergerak lagi, kita kirim aja ke LIPI atau NASA."

Bu Narti sedang menulis resep di buku kecilnya sambil mengunyah kerupuk. "Lho, justru ini peluang. Bayangin, sambal pertama di dunia yang punya kepribadian. Mungkin bisa jadi selebgram, dapet endorsement saus-saus ternama."

"Jangan-jangan besok pagi sambal itu udah punya akun TikTok."

Mereka tertawa berdua, meskipun di balik tawa itu, ada rasa waswas.

Tapi pagi keesokan harinya, semuanya berubah.

Bu Narti bangun lebih pagi dari biasanya, karena mendengar suara... batuk. Iya, batuk.

"Eh, siapa yang batuk subuh-subuh begini?" gumamnya, sambil berjalan ke dapur.

Dan di sana, dia melihatnya.

Toples sambal itu terbuka. Ada sendok kecil berdiri sendiri di dalamnya. Dan lebih gila lagi—sambalnya menyembul sedikit ke atas, membentuk... wajah.

"Ehem," kata sambal itu. "Maaf, Bu. Udah dua hari saya kepedesan sendiri."

Bu Narti jatuh terduduk. "Ya Tuhan... sambalnya... ngomong?!"

"Tenang, Bu. Saya bukan hantu. Saya... efek dari racikan terlalu sempurna. Bumbu, emosi, dan... minyak angin."

"Loh, jadi kamu sadar karena—"

"Karena cinta, Bu. Seperti yang Ibu bilang kemarin."

Tiba-tiba, Siti masuk dengan rambut berantakan. "Nek! Aku mimpi sambalnya ngaku mantan cabe-cabean!"

Sambal itu melirik Siti. "Halo, Mbak Siti. Saya dengar Ibu sering masak mie instan. Saya bisa bantu, loh. Biar makin... nendang."

Siti menjerit kecil dan bersembunyi di belakang neneknya.

Bu Narti, yang biasanya lebih tenang daripada air sumur, kini kebingungan. Tapi setelah berpikir sejenak, ia duduk tenang. "Oke. Kalau kamu benar-benar hidup, kamu pasti punya tujuan."

Sambal itu terdiam sebentar, lalu menjawab, "Saya ingin... berbagi rasa. Terlalu banyak makanan di dunia ini yang hambar. Terlalu banyak orang yang makan tanpa makna."

Siti mengangguk pelan. "Sambal motivator ya..."

Hari-hari berikutnya, Bu Narti mulai menjual sambalnya dengan label baru: Sambal Penuh Cinta - Bisa Bikin Kamu Nangis, Tertawa, dan Curhat.

Orang-orang berdatangan. Bahkan ada yang bilang, setelah makan sambal Bu Narti, suaminya jadi lebih romantis, anaknya rajin belajar, dan tetangganya berhenti rebutan ember di sumur.

Bu Narti hanya tersenyum. Kadang, dapur memang tempat munculnya keajaiban. Bukan karena sihir, tapi karena cinta... dan sedikit minyak angin.

Sementara itu, di pojok meja, si sambal kadang masih batuk kecil dan menyanyikan lagu dangdut pelan-pelan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa