Cheongsam Merah dan Rahasia Kuil Tahu

Di sebuah desa kecil yang damai, tepat di kaki gunung yang belum sempat diberi nama oleh warga karena sibuk panen semangka, hiduplah seorang perempuan muda bernama Lin Mei. Ia dikenal bukan hanya karena kecantikannya, melainkan karena bakat uniknya dalam membuat semua orang di pasar tersenyum, bahkan tukang ikan yang dikenal pelit senyum pun bisa terkikik gara-gara celotehnya.

Hari itu, Lin Mei mengenakan cheongsam merah terang bermotif bunga peony. Bukan karena ada acara penting, tapi karena ibunya bilang, "Kalau baju bagus disimpan terus, nanti bajunya bosan dan kabur ke lemari sebelah."

Dengan langkah anggun yang diselipi niat ingin beli tahu goreng di ujung gang, Lin Mei berjalan melewati halaman depan kuil tua yang katanya dihuni roh penjaga yang lebih suka membaca buku puisi daripada menakut-nakuti. Namun, entah bagaimana, hari itu langkah Lin Mei justru mengarah ke dalam halaman kuil, bukan ke arah tukang tahu.

"Eh? Tahu gorengnya pindah ke sini ya?" gumamnya sambil menatap bangunan kayu megah di depannya.

Ia tidak menyadari bahwa di balik pilar kuil, seseorang sedang mengintip dengan wajah panik—bukan karena melihat hantu, tapi karena orang itu lupa memakai celana luar. Tapi itu urusan bab berikutnya.

Yang jelas, Lin Mei tidak tahu bahwa langkah kecilnya yang keliru akan membawanya ke serangkaian kejadian aneh—dan agak lucu—yang akan mengubah harinya, bahkan mungkin hidupnya.

---ooOoo---

Langkah Lin Mei terhenti tepat di depan tangga batu kuil. Angin berdesir lembut, membawa aroma kayu tua bercampur bau dupa dan... entah kenapa, sedikit wangi minyak kayu putih. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa tempat itu benar-benar sepi. Sepi sekali. Bahkan jangkrik pun seolah sedang istirahat siang.

Tiba-tiba, dari balik pilar, terdengar suara batuk pelan. "Ehem. Maaf... Anda tersesat, ya?"

Lin Mei kaget bukan main. Suaranya laki-laki, namun agak goyah seperti sedang menyembunyikan sesuatu... atau baru saja menelan biji kedondong. Ia menoleh dan melihat seorang pria muda, berkepala botak licin, mengenakan jubah biksu yang... sayangnya cuma setengah.

Maksudnya, atasannya lengkap. Tapi bagian bawah—oh, bagian bawah itu hanya celana dalam warna hijau daun mangga. Mata Lin Mei membelalak, tapi mulutnya justru berkata dengan tenang, "Ah, gaya baru, ya?"

Pria itu langsung panik dan bersembunyi lagi di balik pilar. "S-saya sedang mencuci celana. Tapi tiba-tiba Anda datang... dan... saya tidak sempat—"

"Tenang saja," potong Lin Mei sambil menahan tawa. "Saya juga pernah keluar rumah pakai sandal beda warna. Kita imbang."

Lelaki itu mendesah lega, lalu mengintip pelan. "Nama saya Shi Bao. Saya penjaga kuil. Dan... saya tidak biasanya begini, sungguh."

Lin Mei mengangguk penuh pengertian. Meski dalam hati ia mulai bertanya-tanya, "Apa ini kuil atau acara komedi situasi?"

Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, terdengar suara gubrak! dari dalam bangunan utama kuil. Sesuatu—atau seseorang—jatuh. Shi Bao menoleh cepat, wajahnya langsung serius.

"Itu… suara dari ruang kitab. Tidak ada orang seharusnya di sana."  Lin Mei menatapnya lekat. "Lalu... siapa?"

---ooOoo---

Lin Mei dan Shi Bao berdiri kaku seperti patung taman. Suara "gubrak!" tadi bukan sekadar bunyi benda jatuh biasa. Ada sesuatu yang lain—entah bagaimana suara itu membawa aura tegang yang bahkan membuat burung pipit di atap kuil mendadak terdiam, mungkin ikut kepo.

Shi Bao menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan perlahan ke arah bangunan utama. "Kalau saya tidak kembali dalam lima menit," katanya lirih, "tolong panggil… siapa pun yang sedang tidak sibuk."

Lin Mei mengangguk khidmat, lalu tanpa ragu... ikut mengekor di belakangnya.

"Bukannya mau bantu, ya," katanya ringan. "Saya cuma penasaran. Lagian, ini lebih seru dari nonton drama di pasar."

Begitu mereka membuka pintu ruang kitab, mereka melihat sesuatu yang aneh. Rak-rak kayu berisi gulungan dan buku-buku tua tampak normal... kecuali satu hal.

Sebuah kitab tebal jatuh ke lantai. Dan… bergerak.

Tidak, bukan bergeser karena angin. Bergerak. Seperti... sedang menggeliat. Shi Bao memicingkan mata. "Itu kitab Ramalan Langit. Tapi… seharusnya diam. Kitab tidak seharusnya punya hobi jalan-jalan."

Kitab itu tiba-tiba terbuka sendiri, lembar demi lembar berdesir seperti ditiup angin dari dalam. Lalu, berhenti pada satu halaman. Ada satu kalimat yang terpampang dalam tinta merah:

"Yang berbaju merah akan membuka gerbang rahasia."

Lin Mei menunjuk dirinya sendiri. "Tunggu, maksudnya saya?"

Kitab itu bergetar pelan. Seolah... mengangguk.

Shi Bao menelan ludah. "Baru kali ini saya melihat kitab setuju."

Lin Mei menatap halaman itu, lalu ke Shi Bao, lalu ke kitab lagi. Sebuah ide konyol muncul di kepalanya. "Kalau saya pakai baju biru, berarti bisa batal, ya?"

Kitab tidak menjawab. Tapi dari cara sampulnya mengepal, sepertinya tidak suka bercanda.

---ooOoo---

Lin Mei berdiri diam. Kitab di hadapannya seperti menantinya mengambil keputusan. Shi Bao, yang sudah mengenakan celana lengkap dalam kecepatan rekor dunia, berdiri di sampingnya sambil membawa dupa sebagai bentuk pertahanan spiritual (dan psikologis).

"Kalau ini jebakan, aku maafkan kamu sekarang, ya," kata Lin Mei pelan.

Shi Bao mengangkat bahu. "Aku juga belum pernah buka gerbang rahasia. Biasanya aku cuma buka gerbang depan buat tukang gas."

Tanpa aba-aba, lantai di depan mereka perlahan bergetar. Ubin batu membentuk celah, dan dari bawah, muncullah sebuah pintu melingkar berukir simbol-simbol kuno yang tampak seperti gabungan huruf, angka, dan emoji marah.

Di tengah pintu itu, ada lubang berbentuk bunga peony. Tepat seperti motif di cheongsam Lin Mei.

"Ini... kayak adegan film, tapi lebih hemat anggaran efek khususnya," gumamnya.

Dengan sedikit ragu, Lin Mei mendekat dan berdiri tepat di depan pintu. Begitu kain bajunya menyentuh ukiran itu, pintu mengeluarkan bunyi klik! dan… terbuka perlahan.

Tapi bukan cahaya misterius atau ruang harta karun yang muncul. Yang ada justru sebuah ruangan kecil dengan tumpukan kotak kayu. Di salah satu kotaknya tertulis:

"Resep Tahu Goreng Rahasia – Jangan Dibuka Kecuali oleh yang Berbaju Merah."

Lin Mei dan Shi Bao saling pandang.

"Jadi... ini semua tentang tahu goreng?" tanya Lin Mei.

Shi Bao mengangguk dengan ekspresi bingung tapi terhibur. "Kelihatannya begitu."

Ternyata, kuil itu dulu pernah menjadi tempat rahasia para biksu ahli kuliner yang menyimpan resep legendaris tahu goreng garing di luar, lembut di dalam, yang bisa membuat orang lupa utang sementara.

Lin Mei tertawa pelan. "Aku cuma niat beli tahu, malah dapat warisan tahu."

Shi Bao ikut tertawa. "Kalau begitu, kita harus coba masaknya. Tapi nanti ya, setelah kamu cerita ini ke warga. Biar mereka berhenti bilang aku penjaga kuil yang suka lupa celana."

Dan sejak hari itu, Lin Mei bukan hanya dikenal karena senyumnya di pasar, tapi juga sebagai "Yang Berbaju Merah Penemu Resep Tahu."

Kuil itu pun ramai kembali, bukan karena wisata religi, tapi karena tahu goreng gratis setiap hari Minggu.

Dan kitab kuno? Ia tak bergerak lagi. Mungkin puas. Atau kenyang.

TAMAT.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja