Di Mana Angin Bercerita
oleh: Diono Pieter Rianto Paradissa duduk di tepi padang rumput yang lembut, membiarkan angin sore menyibakkan rambut panjangnya yang dikepang rapi. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna gading, yang tampak kontras dengan rerumputan hijau yang melambai seperti penonton setia. Dari kejauhan, suara burung-burung yang sedang berdebat ringan terdengar—setidaknya begitu menurut Paradissa, karena mereka berkicau seolah sedang membahas siapa yang paling berbakat dalam hal bersuara merdu. Hari itu, Paradissa sebenarnya ingin beristirahat. Namun, pikirannya justru sibuk memikirkan sesuatu yang jauh lebih rumit daripada menentukan apakah rumput di sebelah kanan atau kiri lebih hijau. Ia tengah merencanakan perubahan besar: membuka ruang belajar alam untuk anak-anak desa. Ia ingin mengajarkan mereka mengenai tumbuhan, sungai, angin, dan semua hal sederhana yang sering luput dari perhatian. Menurutnya, alam jauh lebih sabar daripada guru mana pun. Tidak pernah bosan mengulang pel...