Cinta Abadi
Cerpen oleh Diono Pieter Rianto dan Freya JKT48
Nina duduk di dalam kereta Argopuro yang baru saja meninggalkan Stasiun Tanah Abang. Lampu-lampu kota perlahan memudar di balik jendela, namun pikirannya justru semakin riuh. Ia merasa berat meninggalkan Jakarta—kota yang membuatnya mengenal Fredo, sekaligus kota yang menyimpan perpisahan yang belum sepenuhnya ia terima. Suara roda kereta yang berulang seperti memanggil kembali kenangan yang ia coba tinggalkan.
Pintu gerbong tiba-tiba terbuka, dan seorang pemuda masuk dengan langkah tenang. Wajahnya ramah, caranya membawa diri begitu santai sehingga para penumpang otomatis memperhatikannya. Nina melihatnya sekilas, lalu cepat menunduk. Pemuda itu—Marwan—adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang dalam perjalanan menuju Pekalongan, atau setidaknya begitu yang ia sampaikan. Takdir kemudian membuatnya berhenti tepat di samping kursi Nina.
Ketika Marwan duduk, keduanya saling bertukar pandang singkat yang justru membuat Nina semakin gugup. Ada sesuatu dalam senyumnya yang terasa familiar, namun ia tak mengerti apa. Yang tidak ia sadari, pemuda bernama Marwan itu sebenarnya adalah Fredo—seseorang yang baru saja ia tinggalkan dalam cerita yang belum selesai. Dengan suara lembut, Marwan memperkenalkan diri, “Hai, aku Marwan. Senang sekali bisa duduk di sebelahmu.”
Nina bingung harus menjawab apa, sehingga ia memilih berpura-pura tertidur. Perlahan kepalanya condong ke bahu Marwan, seakan tubuhnya tanpa sadar mengenali rasa aman yang pernah ia rasakan. Marwan tidak berkata apa pun; ia hanya membiarkan Nina bersandar dengan tenang, tatapannya menyimpan sesuatu yang belum terucap. Di balik keremangan gerbong, tanpa Nina ketahui, seseorang dari masa lalunya kini duduk begitu dekat—dan perjalanan malam itu diam-diam menjadi awal dari sesuatu yang tak terduga.
Fredo merasa bahagia ketika menyadari Nina masih nyaman bersandar di bahunya. Ia tidak ingin mengusik ketenangan itu; malam yang panjang terasa lebih hangat dengan kehadiran seseorang yang pernah begitu berarti baginya. Saat kereta melintas perlahan di Stasiun Cirebon, Nina terbangun. Matanya yang masih setengah sadar menatap Fredo, dan seketika wajahnya berubah gugup. Ada pengenalan yang samar, seperti memori yang belum pulih sepenuhnya. Dengan suara lirih ia berbisik, “Fredo… aku rindu kamu.” Fredo menahan napas sejenak; hatinya bergetar oleh kejujuran yang tidak ia duga.
Dalam hatinya, Fredo hanya bergumam singkat bahwa hubungan mereka memang naik turun—sering berakhir tanpa alasan jelas, lalu dimulai kembali tanpa rencana. Namun di balik kerumitan itu, perasaannya tetap teguh. Ia tersenyum, lalu menjawab lembut, “Aku juga rindu kamu, Nina. Aku tak ingin kita berpisah lagi.” Nina tampak lega, dan dengan spontan mencium pipinya. Sentuhan singkat itu membuat Fredo semakin yakin untuk tidak mengungkap apa pun tentang penyamarannya sebagai Marwan. Ketika kereta berhenti di Stasiun Tegal, Fredo berkata, “Nina, aku ingin turun di sini. Mau ikut?”
Nina mengangguk tanpa ragu, seolah kehadiran Fredo telah menjawab sesuatu yang selama ini menggantung di hati. Mereka keluar dari stasiun dan berjalan menuju warteg Mba Sri, tempat sederhana yang memancarkan kehangatan dari aroma masakannya. Fredo memesan nasi goreng petai cina dan kangkung—menu favorit Nina yang entah bagaimana masih ia ingat. Keduanya duduk berhadapan, dan suasana hening sesaat terasa begitu menenangkan.
Fredo lalu menggenggam tangan Nina pelan. “Aku benar-benar rindu kamu. Aku ingin kita mulai lagi tanpa dibayangi apa pun.” Nina menatapnya, ada keraguan kecil namun juga harapan yang tumbuh perlahan. “Aku tidak tahu apa yang terjadi dulu,” katanya lirih, “tapi aku tahu aku sempat sangat sedih.” Sebelum Fredo sempat menjawab, Mba Sri datang dengan senyum ramah sambil meletakkan sepiring nasi goreng petai cina dan tumis kangkung yang masih mengepul—seakan menjadi awal dari bab baru yang belum mereka pahami sepenuhnya.
Mba Sri muncul dari balik meja dengan wajah terkejut sekaligus geli. “Lho, kok ketemu kalian lagi? Nggak betah ya di Jakarta?” godanya. Nina terkekeh pelan sebelum menjawab, “Fredo katanya mau ajak aku jalan-jalan ke Malahayu.” Mba Sri langsung mengangkat alis. “Piknik kok ke Malahayu, gengsi dong, Do. Ke London kek!” Fredo menimpali cepat, “Tadinya mau ke London, Mba… cuma ketinggalan pesawat. Jadi ya ke Malahayu dulu.” Mba Sri menyilangkan tangan sambil tertawa. “Alesan. Ngomong aja belum ada modal. Nggak punya modal gitu, bawa-bawa cewek pulang kampung, mau dikasih makan apa?” Fredo menanggapi santai, “Tenang, Mba Sri. Cewek ini tetap makan nasi, bukan rumput.”
Mba Sri tertawa lepas. “Fredo, kamu masih aja suka bercanda. Tapi aku senang kamu bawa Nina ke sini. Cantik, lho, anaknya.” Nina tersipu dan memukul lengan Fredo pelan, membuat Mba Sri semakin geli. “Do, kamu beruntung sekali.” Fredo mengangguk dengan senyum yang tulus. “Makasih, Mba. Tapi… menurut Mba Sri, kami cocok nggak?” Mba Sri menatap mereka bergantian, lalu berkata dengan nada hangat, “Cocok banget. Tapi kamu harus janji jaga Nina baik-baik. Janji?”
“Janji, Mba,” jawab Fredo mantap. Senyum Mba Sri melebar. “Bagus. Sekarang makan dulu. Dan ingat… jangan lupa bayar.” Fredo dan Nina tertawa bersamaan, lalu menikmati hidangan di depan mereka. Kehangatan warteg itu terasa seperti bagian kecil dari rumah yang mereka temukan kembali. Seusai makan, Fredo membayar dengan wajah cerah, dan Mba Sri melambaikan tangan saat mereka pamit.
Begitu keluar, angin sore menyambut langkah mereka. Fredo menggenggam tangan Nina dengan lembut. “Nina, ayo kita ke pantai. Pantai Malahayu indah sekali saat matahari terbenam. Aku ingin kita melihatnya bersama.” Nina tersenyum, merasa tenang berada di sampingnya. “Aku mau, Fredo. Aku memang selalu suka pantai.” Mereka pun berjalan menuju perjalanan berikutnya—yang tak satu pun dari mereka tahu akan membawa ke mana, namun terasa menjanjikan.
Sesampainya di pantai Malahayu, Nina dan Fredo langsung terpukau. Pantai itu tenang, hanya suara ombak dan angin sore yang menemani beberapa pengunjung yang berjalan santai di kejauhan. Fredo menggenggam tangan Nina, dan mereka menyusuri garis pantai sambil bercakap tentang masa lalu yang sempat merenggangkan hubungan mereka. “Nina, aku benar-benar menyesal atas semua yang terjadi dulu,” ucap Fredo lirih. “Aku tidak ingin kita berpisah lagi.” Nina menatapnya lembut, tersenyum kecil. “Aku juga menyesal… tapi aku bersyukur kita bisa bertemu kembali.”
Fredo lalu memeluk Nina erat, hangat, dan menenangkan. Sebuah pelukan yang terasa seperti jawaban atas banyak hal yang selama ini tidak terucap. Di bawah langit jingga, Fredo mengecup kening Nina dengan penuh ketulusan. Saat Nina memejamkan mata untuk meresapi momen itu, Fredo tiba-tiba berlutut di hadapannya. “Fredo… apa yang kamu lakukan?” tanya Nina dengan mata membesar. Fredo membuka kotak kecil di tangannya dan tersenyum. “Nina, aku ingin kamu menjadi istriku. Aku ingin kita bersama selamanya.”
Nina terkejut sekaligus bahagia, Tangannya menutup mulut, lalu ia langsung memeluk Fredo sekuat hati. Fredo membalas pelukannya, dan angin pantai seolah ikut merayakan momen itu. Di jari Nina kini melingkar cincin pertunangan yang berkilau lembut diterpa cahaya senja. Sementara itu, langit pelan-pelan gelap, namun bagi keduanya, dunia justru terasa semakin terang.
Ketika malam turun sepenuhnya, Fredo menggenggam tangan Nina dan berkata, “Ayo pulang. Aku ingin kita menceritakan ini kepada orang tua kita.” Nina mengangguk penuh keyakinan, senyumnya menyiratkan harapan baru yang tumbuh dalam hatinya. “Aku setuju, Fredo. Aku ingin kita segera menata hidup bersama.” Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan pantai dan menuju rumah Fredo, membawa pulang awal cerita yang baru saja mereka mulai.
Saat Fredo membuka pintu rumahnya, Nina tertegun. Ruangan itu penuh dengan keluarga Fredo yang sudah berkumpul dan menyambutnya dengan senyum hangat. Fredo menggenggam tangannya, menenangkannya, lalu memperkenalkan Nina kepada semua orang. Reaksi mereka begitu ramah hingga Nina sedikit lega. Namun keterkejutannya belum selesai—ibu Fredo tiba-tiba mengumumkan bahwa mereka telah menyiapkan rencana pernikahan dan berharap keduanya menikah minggu depan. Nina kaget, namun setelah mendengar penjelasan Fredo bahwa semua persiapan sudah ia atur, Nina akhirnya mengangguk setuju. Satu permintaannya sederhana: ia ingin ke Jakarta bersama Fredo untuk memilih gaun pernikahan.
Fredo menyetujui dengan penuh semangat. Ia menggenggam tangan Nina dan berjanji akan menemani setiap langkah. “Kamu harus memilih gaun yang paling kamu sukai,” ujarnya. Nina tertawa kecil dan membalas, “Asal kamu siap melihatku mencoba banyak gaun.” Suasana di rumah penuh tawa dan harapan baru, sampai tiba-tiba ponsel Fredo berdering. Wajahnya berubah serius seketika. “Nina… aku harus pergi. Ada hal penting yang tidak bisa kutunda.” Tanpa menjelaskan lebih jauh, Fredo bergegas keluar.
Nina, yang masih diliputi rasa penasaran, akhirnya memutuskan mengikuti Fredo dari kejauhan. Ia berjalan pelan, memastikan tak terlihat. Perjalanan itu membawa mereka ke sebuah rumah besar di ujung jalan yang tampak asing bagi Nina. Saat Fredo mengetuk dan masuk ke dalam, Nina bersembunyi di balik sebuah pohon besar di halaman, mencoba melihat apa yang sedang terjadi.
Dari celah jendela, Nina melihat Fredo berbicara dengan seorang wanita cantik yang tampak mengenal Fredo cukup dekat. Keduanya tampak serius, dan sebelum Nina sempat menebak apa yang terjadi, wanita itu mendekat dan mencium pipi Fredo dengan hangat. Seketika dada Nina terasa sesak. Ia memegang mulutnya, menahan suara tangis yang hampir pecah. Malam yang seharusnya penuh kebahagiaan berubah menjadi teka-teki besar yang menusuk hati.
Nina menangis semakin keras dan berlari kembali ke rumah Fredo. Hatinya seperti remuk; ia merasa pengkhianatan itu terlalu berat untuk ditanggung. Tanpa ingin bertemu siapa pun, ia masuk ke kamar tamu dan mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Saat ia hampir selesai, ibu Fredo masuk dan terkejut melihat Nina bersiap pergi. “Nina, kenapa? Ada apa, Sayang?” Nina akhirnya pecah dan berkata sambil terisak, “Aku tidak bisa menikah dengan Fredo. Aku melihat dia bersama wanita lain.” Ibu Fredo terdiam sejenak, lalu mendekat dan memegang bahu Nina dengan lembut.
Dengan suara tenang, ibu Fredo berkata, “Nina, tolong dengarkan aku dulu. Wanita itu hanya teman masa kecil Fredo. Mereka memang dekat, tapi tidak seperti yang kamu pikirkan.” Nina tertegun, hatinya mulai bimbang, namun ia tetap merasa takut. Ibu Fredo membujuknya agar tetap tinggal sampai semuanya jelas. Dengan berat hati, Nina setuju. Tak lama kemudian, Fredo masuk ke kamar dengan napas terengah, jelas ia baru saja bergegas pulang. Ibu Fredo berkata, “Fredo, Nina ingin pergi karena dia melihat kamu dengan wanita lain.” Fredo tampak sangat terkejut. “Nina… itu tidak seperti yang kamu bayangkan. Tolong beri aku waktu untuk menjelaskan.”
Nina menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu berusaha pergi melewati Fredo. “Aku tidak mau dengar apa pun,” ujarnya. Namun Fredo menahan lengannya, bukan dengan paksa, melainkan dengan ketakutan seorang pria yang takut kehilangan orang yang ia cintai. “Nina… aku sayang kamu. Tolong jangan pergi sebelum kamu mendengar semuanya,” bisiknya. Nina hampir berhasil melepaskan diri, tetapi akhirnya berhenti saat suara Fredo bergetar, menunjukkan ketulusan yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
Dengan perlahan, Nina menurunkan tasnya. “Baik… bicara,” katanya akhirnya. Mereka duduk di tepi ranjang, masih dengan jarak yang tegang di antara mereka. Fredo menjelaskan semuanya—siapa wanita itu, mengapa ia harus menemui teman lamanya, dan mengapa ia merahasiakannya. Nina mendengarkan dalam diam, dan ketegangan pelan-pelan mereda ketika kebenaran menjadi jelas. Ia menyadari bahwa perasaannya sendirilah yang dipenuhi ketakutan. Mereka akhirnya saling meminta maaf, dan keluarga kembali menyambut mereka dengan lega. Tidak ada paksaan, tidak ada luka yang ditinggalkan—hanya dua hati yang belajar memahami. Dan dari sanalah perjalanan mereka menuju pernikahan benar-benar dimulai, dengan dasar yang lebih kuat dan jujur.
Enam tahun telah berlalu sejak pernikahan mereka. Nina dan Fredo hidup bahagia bersama anak mereka, sampai tiba-tiba Fredo jatuh sakit dan mengalami amnesia. Nina sangat terpukul ketika Fredo menatapnya tanpa mengenali siapa dia. Bagi Fredo, Nina hanyalah seseorang yang “terlihat akrab”, tapi tidak lebih dari itu. Meskipun sakit, Nina tetap merawat Fredo setiap hari, berharap ingatannya perlahan kembali.
Berbagai cara ia lakukan—mulai dari menunjukkan foto-foto lama, membuka kembali album kenangan, hingga menceritakan bagaimana mereka jatuh cinta. Namun semua usahanya tidak membuahkan hasil. Suatu hari, Nina memutuskan membawa Fredo ke tempat-tempat yang dulu mereka kunjungi bersama. Pantai menjadi destinasi terakhir mereka hari itu, tempat kenangan paling kuat antara Nina dan Fredo.
Saat angin berhembus, Fredo melihat sesuatu di kantong kecil yang dibawa Nina. Sebuah cincin tua—cincin pertunangan mereka. Ketika Fredo memegang cincin itu, kepalanya terasa berat. Kilasan demi kilasan masa lalu muncul—senyuman Nina, tawa mereka, janji-janji yang pernah diucapkan. Fredo terdiam, lalu menatap Nina dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Perlahan, ia menyebut nama Nina dengan cara yang hanya ia yang bisa. “Nina… aku ingat.” Kenangan lain menyusul—tentang rumah mereka, perjuangan mereka, hingga anak kecil yang selalu memanggilnya “Papa”. Ingatan Fredo kembali seperti pintu yang terbuka lebar. Dengan langkah gemetar, ia memeluk Nina dan berbisik, “Aku ingat semuanya… dan aku ingat betapa aku mencintaimu.”
Nina menangis bahagia. Semua rasa sakit yang ia pendam selama enam tahun seolah hilang dalam satu pelukan itu. Mereka kembali ke rumah bersama anak mereka, melanjutkan hidup yang sempat terhenti. Keluarga kecil itu kembali utuh, dan mereka berjanji untuk menjaga satu sama lain—tak peduli apa pun yang terjadi.
Tamat.

Komentar
Posting Komentar