Cinta di Antara Dua Dunia
Vivi, seorang artis yang wajahnya selalu menghiasi layar televisi dan papan reklame besar di sudut-sudut kota, tampak seperti perempuan paling bahagia di dunia. Penggemar berteriak setiap kali ia melambaikan tangan. Jadwalnya padat seperti roti lapis isi tiga—sempit, berjejal, dan sulit bernapas. Semua orang berpikir ia telah mencapai puncak hidup yang sempurna.
Namun di balik senyumnya yang selalu terpajang, Vivi merasa ada ruang kosong di dadanya. Ruang yang selalu menuntut untuk diisi, tetapi ia sendiri tidak tahu dengan apa. Ia pernah mencoba mengisi kekosongan itu dengan belanja barang mahal. Hasilnya? Lemari penuh, hati tetap bolong. Ia pernah mencoba makan makanan paling mewah di restoran terkenal. Tapi tetap saja, rasa hambar itu bertahan di lidahnya—entah dari makanan atau dari hidupnya sendiri.
“Sepertinya aku ini populer, tapi sendirian”, gumamnya suatu malam, sambil memeluk bantal berbentuk alpukat yang ia beri nama Pak Avo. Bantal itu tentu tidak bisa menjawab, hanya tersenyum lebar dengan biji cokelat di tengah wajahnya.
Hari-hari Vivi berjalan seperti itu. Ia akan bangun, bekerja, tertawa di depan kamera, lalu pulang dengan hati yang seperti sandal jepit hilang sebelah—ada yang kurang. Terkadang ia berpikir, seandainya ketenaran bisa menemaninya ngobrol, mungkin ia tidak akan merasa sepi. Sayangnya, ketenaran hanya bisa memanggil fotonya terpajang di mana-mana, tapi tidak bisa membuat secangkir teh hangat untuk menemani malam sepi.
Suatu ketika, saat menghadiri sebuah acara di kota lain, Vivi merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan. Sekilas, seperti ada angin yang berbisik: Akan ada sesuatu yang berbeda. Ia sendiri tertawa dalam hati, merasa seperti tokoh drama romantis yang menunggu adegan pertemuan takdir.
Ia tidak tahu, bahwa bisikan itu bukan sekadar angin lewat. Itu adalah awal dari segalanya.
Acara yang Vivi hadiri itu bukanlah acara besar seperti biasanya. Tidak ada karpet merah panjang atau lampu sorot yang membuat siapa pun terasa seperti bintang film. Itu hanya sebuah acara sederhana yang mengundang beberapa publik figur untuk menyapa masyarakat. Bagi Vivi, acara ini seperti liburan singkat dari keramaian ibu kota.
Saat sesi tanda tangan selesai, Vivi memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Udara di kota kecil itu cukup segar, jauh berbeda dari hiruk pikuk yang selalu mengelilinginya. Ia melepas masker dan kacamata hitamnya—langkah berani untuk seorang selebritas yang biasanya menyamar seperti agen rahasia.
Ketika ia sedang memperhatikan jajanan yang berjejer rapi, tiba-tiba sebuah suara terdengar dari belakangnya, “Mbak, itu klepon, bukan bola-bola hijau misterius.” Vivi menoleh dan mendapati seorang pria tampan berdiri sambil tertawa ringan. Rambutnya sedikit acak-acakan, seperti habis bertarung dengan angin, namun senyumnya justru membuat Vivi terpaku.
“Ah… iya, saya tahu kok,” jawab Vivi gugup, meski sebenarnya ia memang tidak yakin apa isi hijau bulat tersebut. Pria itu memperkenalkan dirinya. Namanya Lusyono—nama yang terdengar sederhana namun langsung terpatri di ingatan Vivi.
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Tidak ada formalitas selebritas, tidak ada permintaan foto, tidak ada jeritan penggemar. Lusyono bahkan terlihat tidak menyadari siapa Vivi sebenarnya. Dan itu, bagi Vivi, terasa menyenangkan. Ia kembali tertawa seperti dulu, bukan karena kamera mengharuskannya tersenyum, tapi karena ia benar-benar merasa lucu ketika Lusyono dengan bangga mengaku sebagai ahli makan klepon tanpa pernah menjatuhkan satu pun parutan kelapa.
Di akhir pertemuan singkat itu, Lusyono berkata, “Kalau Mbak bingung cari makanan enak, saya bisa jadi pemandu kuliner dadakan.” Vivi tertawa dan mengangguk tanpa ragu.
Ketika ia kembali ke tempat acara, hatinya tiba-tiba terasa lebih hangat. Seolah-olah bagian kosong dalam dirinya mulai terisi setitik cahaya. Ia belum tahu apa artinya pertemuan itu, tapi ia berharap ini bukan yang terakhir.
Sejak pertemuan itu, Vivi tidak bisa menghapus bayangan pria berwajah teduh itu dari benaknya. Bahkan saat ia kembali ke Jakarta dan menjalani rutinitasnya yang padat, imajinasi tentang Lusyono sering muncul tanpa izin. Ketika ia makan klepon yang dikirimkan penggemarnya, ia langsung teringat senyumnya. Ketika ia melihat bantal Pak Avo, ia menggumam, “Bagaimana kalau Pak Avo kenalan sama Lusyono? Cocok tidak, ya?” Tentu bantal itu hanya bisa diam sambil—tetap—tersenyum.
Di sisi lain, Lusyono pun merasakan hal yang sama. Ia yang biasanya sibuk bekerja di toko keluarganya, kini mendadak sering mengecek ponselnya. Padahal sebelum ini, ponselnya hanya berfungsi sebagai jam, kalkulator, dan tempat menyimpan foto kucing tetangganya yang menyebalkan tapi lucu.
Mereka mulai berkomunikasi lewat pesan singkat. Awalnya sederhana, seperti: “Sudah makan?” “Jangan lupa istirahat.” Namun lama-lama, mereka mulai bercerita tentang banyak hal—tentang mimpi, tentang masa kecil, bahkan tentang hal-hal sepele seperti “Kenapa kelapa muda disebut muda? Apakah kelapa tua juga ikut reuni?”
Percakapan itu membuat keduanya merasa semakin dekat, seolah tidak ada jarak antara Jakarta dan Brebes. Vivi merasa dirinya bukan lagi artis terkenal yang harus selalu menjaga citra. Ia bisa menjadi dirinya sendiri—yang kadang ceroboh, kadang lucu tanpa niat, dan sering salah menyebut nama makanan tradisional.
Suatu hari, saat Vivi memberanikan diri menceritakan kegelisahannya tentang dunia hiburan, Lusyono hanya menjawab dengan tenang, “Kalau dunia terlalu bising, kamu bisa istirahat di hatiku.” Jawaban itu membuat Vivi tersenyum begitu lebar, sampai bantuan make-up artist pun mungkin akan dibutuhkan untuk merapikan pipinya.
Hubungan mereka tumbuh tanpa mereka sadari. Bukan karena kamera, bukan karena publisitas, tetapi karena dua hati yang saling menemukan. Dan tanpa Vivi ketahui, kedekatan ini sedang diamati… dan tidak semua orang senang akan hal itu.
Hubungan Vivi dan Lusyono mulai terdengar oleh orang-orang di sekitar Vivi. Awalnya hanya seperti angin berhembus pelan, tapi lama-lama menjadi badai komentar yang mengguncang. Ada yang sinis, ada yang mengangkat alis, bahkan ada yang berkata dengan nada mencibir, “Seorang bintang terkenal jatuh cinta pada pria biasa? Mustahil bisa bertahan.” Jika sinisme itu dianalogikan sebagai makanan, mungkin rasanya lebih pahit daripada pare yang lupa dibuang bijinya.
Vivi yang biasanya tegar, perlahan merasa gelisah. Ia mulai bertanya-tanya dalam hati, Apakah aku salah? Apakah aku terlalu gegabah? Namun setiap kali keraguan itu datang, ia teringat senyum Lusyono—sederhana tapi penuh makna. Dan entah bagaimana, rasa hangat itu mampu meredakan gemuruh dalam dadanya.
Di sisi lain, Lusyono juga menghadapi pandangan aneh dari beberapa orang yang mengenalnya. Mereka menganggap hubungan itu terlalu jauh bak langit dan bumi. Bahkan salah satu temannya sempat berujar, “Kalau kamu benar pacaran sama artis, jangan lupa sebut namaku di TV ya.” Lusyono hanya tertawa, meski dalam hatinya ada rasa khawatir yang ia simpan rapi.
Namun, setiap kali Vivi dan Lusyono berbicara, semua keraguan yang menempel seperti permen karet di sepatu tiba-tiba meleleh dan hilang. Mereka saling menguatkan, saling percaya, dan saling bercanda untuk menjaga kewarasan. Vivi pernah mengirim foto dirinya sedang memasak mi instan dengan caption: “Chef bintang lima yang hampir membakar dapur.” Lusyono membalas: “Tenang, dapur hanyalah korban kecil dari cinta.”
Ketika tekanan semakin besar, Vivi mengambil keputusan yang akan mengubah seluruh hidupnya. Ia memutuskan untuk mundur dari dunia yang selama ini membesarkan namanya. Semua demi ketenangan, dan tentu saja… demi cinta yang ia yakini sungguh-sungguh.
Keputusan itu mengejutkan banyak pihak. Namun Vivi tahu satu hal: kebahagiaan sejati tidak selalu ditemukan di tengah sorot lampu, melainkan di tempat yang sederhana. Tempat di mana hatinya merasa pulang. Dan itu, berada di sisi Lusyono.
Setelah semua keputusan besar diambil, Vivi merasa seperti baru saja menutup buku yang telah lama membebaninya. Kini ia membuka lembaran baru, meski kertasnya masih terlihat kosong dan sedikit menakutkan. Ia pindah ke Brebes—tempat yang dulu hanya muncul sebentar dalam kisah hidupnya, kini menjadi tujuan utama.
Hari pertama tinggal di sana, Vivi disambut dengan keheningan yang menenangkan. Tidak ada suara kamera jepret, tidak ada teriakan fans, yang ada hanya suara ayam tetangga yang tampaknya punya bakat menyanyi rock di pagi hari. Vivi hanya tersenyum, merasa itu mungkin tanda “selamat datang” versi lokal.
Lusyono membantu Vivi beradaptasi. Ia mengajarinya cara mengupas bawang tanpa meneteskan air mata berlebihan, meskipun akhirnya Vivi tetap menangis—bukan karena bawang, tapi karena tangan Lusyono yang selalu siap menolong. Mereka sering jalan-jalan sore, menikmati angin yang sejuk sambil saling bertukar cerita masa depan. Sesekali, Vivi pura-pura kesal ketika Lusyono menyindir cara jalannya yang masih terlihat "Jakarta banget"—cepat seperti sedang dikejar berita gosip.
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Mereka menikah dalam suasana sederhana, penuh senyum, dan juga beberapa canda tawa canggung dari teman-teman Lusyono yang masih tidak percaya bahwa seorang artis benar-benar jatuh cinta pada sahabat mereka. Vivi terlihat anggun, tanpa harus mengenakan perhiasan berlebihan. Lusyono tampak gagah, meski dasinya sempat miring tiga derajat sebelum dibereskan malu-malu oleh Vivi.
Setelahnya, mereka menjalani hidup berdua dengan segala kesederhanaannya. Vivi belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari sorotan lampu panggung, tetapi dari seseorang yang mau menemani ketika listrik mati dan kipas tidak berfungsi. Ternyata cinta yang ia cari selama ini tidak berada jauh—cinta itu sederhana, tulus, dan hadir dalam senyum seorang pria dari Brebes.
Vivi tidak pernah menyesal memilih cinta daripada ketenaran. Ia telah menemukan dunia yang lebih hangat: dunia mereka berdua.
Komentar
Posting Komentar