Gadis dari Rumah Angin

Di sebuah lembah yang diselimuti kabut setiap pagi, berdiri rumah tua yang dikenal penduduk sebagai Rumah Angin. Bukan karena rumah itu berisik, melainkan karena setiap kali seseorang mencoba menutup jendelanya, angin entah dari mana selalu masuk dan membuat tirai menari seperti sedang bersenda gurau.

Penghuni rumah itu adalah seorang gadis bernama Elara. Rambutnya panjang kecokelatan, sering kali ia kepang seadanya agar tidak tersangkut ranting bunga yang merambat di teras. Ia dikenal bukan karena kecantikannya — meski, jujur saja, orang sulit tidak menoleh dua kali — melainkan karena kebiasaannya berbicara dengan benda-benda mati.

Suatu pagi, Elara tampak sedang menegur teko air, “Jangan tumpah lagi, ya. Aku sudah cukup basah semalam.” Teko itu, tentu saja, tidak menjawab. Tapi entah kenapa, air di dalamnya berhenti bergoyang.

Penduduk desa sering berbisik, “Dia aneh, tapi menyenangkan.” Anak-anak kecil senang datang ke rumahnya karena Elara selalu punya cerita tentang kupu-kupu yang berdebat dengan bunga atau kucing yang tersesat karena terlalu sibuk mencari jati diri.

Namun hari itu, sesuatu berbeda. Saat ia membuka jendela, angin berhembus pelan membawa selembar daun dengan ukiran aneh di permukaannya. Tulisan yang seolah memanggil nama seseorang. Nama yang sudah lama ia dengar hanya dalam mimpi.

Elara menatap daun itu lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil, “Baiklah, sepertinya aku akan punya alasan untuk keluar dari rumah hari ini.” Ia pun melangkah pelan ke luar, membawa rasa penasaran yang bahkan angin pun tak mampu menjawab.

---ooOoo---

Perjalanan Elara dimulai dengan langkah-langkah ringan, meski sesekali tersandung akar pohon yang entah mengapa selalu muncul di saat yang tidak tepat. Ia memegang daun berukir itu di tangannya — benda kecil yang terasa jauh lebih penting dari seharusnya.

Tulisan di daun itu samar, namun perlahan-lahan membentuk kata: “Kembali.” Elara mengernyit. “Kembali ke mana? Aku bahkan belum pergi,” gumamnya. Seekor burung kecil di dahan atas berkicau seperti menertawakannya. “Jangan ikut campur, kamu pun tidak tahu,” balas Elara sambil menunjuk paruh burung itu. Burungnya langsung kabur, mungkin tersinggung.

Sepanjang jalan menuju tepi hutan, udara terasa berbeda. Angin yang biasanya ramah kini seolah menuntun langkahnya, lembut namun pasti. Di antara suara serangga, ia mendengar sesuatu yang mirip bisikan. Bukan dari manusia, bukan pula dari pepohonan. Seolah daun-daun yang berguguran sedang berbicara dengan nada hati-hati.

“Elara…” Ia berhenti. “Siapa?” Tak ada jawaban, hanya desir lembut di antara dedaunan.

Dengan sedikit ragu, ia melangkah lagi. Tapi di dalam hatinya, ada semacam getaran — bukan ketakutan, melainkan rasa ingin tahu yang mulai tumbuh seperti tunas pagi hari. Ia tak tahu ke mana akan berujung, tapi nalurinya berkata: jangan berhenti.

Tak lama kemudian, ia tiba di tepi sungai kecil yang airnya sebening kaca. Di sanalah ia melihat sesuatu yang membuatnya tercengang — bayangan dirinya di permukaan air tampak mengenakan mahkota tipis dari cahaya. Padahal ia jelas tidak mengenakan apa pun di kepalanya.

“Elara,” suara itu datang lagi, lembut seperti nyanyian dari jauh. Dan kali ini, ia tidak bisa pura-pura tidak mendengarnya.

---ooOoo---

Elara menatap pantulan dirinya cukup lama untuk membuat seekor ikan kecil menatap balik dengan tatapan bingung, mungkin bertanya-tanya kenapa manusia ini tidak segera pergi. Bayangan di air itu jelas berbeda — wajahnya sama, tapi matanya memantulkan cahaya keemasan yang berdenyut lembut.

“Apakah ini efek pencahayaan atau aku memang terlalu sering bicara dengan teko?” gumamnya pelan.

Sebuah riak kecil muncul di air, dan dari situ muncul bola cahaya mungil sebesar kelereng. Bola itu melayang pelan, berputar di sekitar Elara seperti kupu-kupu yang terlalu bersemangat. “Sudah waktunya,” suara lembut terdengar dari dalam cahaya itu. Elara mengerjap. “Waktunya apa? Aku bahkan belum sarapan.”

Bola cahaya itu berputar sekali lagi sebelum menukik pelan dan mendarat di telapak tangannya. Hangat, seperti sinar matahari pagi. “Kau dipanggil kembali ke Arenvale,” bisiknya.

Elara menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada yang mendengar. “Arenvale? Nama itu bahkan terdengar seperti toko teh yang terlalu mewah.” Namun, entah kenapa, dada Elara berdebar. Nama itu terasa akrab, seperti melodi lama yang pernah ia dengar tapi lupa nadanya.

Ia memandangi bola cahaya itu, lalu bertanya, “Dan… siapa sebenarnya aku?” Bola itu berpendar sedikit lebih terang, lalu perlahan membentuk citra seorang perempuan dengan gaun serupa miliknya — hanya saja, perempuan itu mengenakan mahkota dari ranting berkilau.

“Kau adalah penjaga angin,” jawabnya lembut. “Dan dunia mulai kehilangan napasnya tanpa kehadiranmu.”

Elara menatapnya lekat-lekat. Ia ingin tertawa, tapi juga ingin percaya. “Penjaga angin? Aku? Yang bahkan kalah cepat dari jemuran kalau hujan datang tiba-tiba?” Namun sebelum ia sempat mengeluh lebih jauh, angin tiba-tiba berhembus kencang, menyapu rambutnya, membuat daun di tangannya terangkat dan berputar di udara — bersinar lembut sebelum menghilang.

Dan di saat itu, Elara tahu: hari-harinya yang tenang di Rumah Angin telah berakhir.

---ooOoo---

Keesokan paginya, Rumah Angin terasa lebih riuh dari biasanya. Jendela di lantai atas terbuka sendiri, pintu dapur berdecit seperti ingin ikut bicara, dan tirai menari-nari tanpa aba-aba. Elara berdiri di tengah ruang tamu sambil menatap sekeliling dengan wajah antara bingung dan pasrah.

“Kalau kalian semua sedang rapat penting, tolong undang aku juga,” katanya setengah bercanda. Tentu saja, tak ada yang menjawab. Tapi dari loteng terdengar bunyi klotok-klotok seperti seseorang sedang mencari sesuatu di dalam peti.

Dengan langkah hati-hati, Elara menaiki tangga. Setiap anak tangga mengeluarkan suara protes seperti enggan diinjak. Di loteng, ia menemukan peti tua berdebu, dan di atasnya tergeletak saputangan dengan sulaman huruf E — huruf yang sama dengan di daun kemarin.

Begitu ia menyentuh saputangan itu, angin berputar di ruangan. Debu-debu beterbangan membentuk bayangan samar — sosok perempuan dengan rambut panjang seperti miliknya, berdiri di tengah pusaran cahaya.

“Jika kau menemukan ini,” suara lembut terdengar, “berarti waktumu telah tiba. Dunia di luar membutuhkanmu lagi, Elara.”

Elara melongo. “Lagi? Jadi… ini bukan kali pertama aku dibutuhkan?” Bayangan itu tersenyum samar. “Kau hanya lupa. Angin selalu menyimpan rahasia mereka yang ingin beristirahat.”

Sebelum Elara sempat bertanya lebih jauh, bayangan itu memudar, menyisakan wangi bunga kering dan secarik peta kecil di lantai. Peta itu menggambar jalur dari lembah menuju gunung berkabut di utara — tempat yang bahkan para nelayan enggan mendekat karena “anginnya bisa mencubit.”

Elara mendesah panjang. “Jadi, aku harus ke gunung yang bisa mencubit. Menarik sekali. Semoga setidaknya ada penginapan dengan sarapan gratis.” Ia menatap keluar jendela. Awan bergerak perlahan, seolah memberi isyarat bahwa perjalanan sesungguhnya baru akan dimulai. Dan kali ini, Rumah Angin benar-benar sunyi — seolah sedang menahan napas, menunggu kepulangannya.

---ooOoo---

Elara memulai perjalanannya menuju gunung berkabut dengan bekal sederhana: roti kering, sebotol madu, dan semangat yang kadang naik-turun seperti cuaca di bulan hujan. Ia menapaki jalan setapak yang berliku, sementara angin terus berdesir di telinganya, berbisik pelan seolah menuntun.

“Sedikit ke kanan, Elara…” Ia menghela napas. “Kalau kau bisa bicara, bisa sekalian bantu dorong dari belakang? Naiknya lumayan curam, tahu.”

Langit mulai berwarna jingga ketika ia tiba di puncak bukit terakhir sebelum gunung. Di sanalah ia melihat sesuatu yang membuat langkahnya berhenti — pusaran cahaya besar, berkilau lembut di antara kabut, seperti jantung bumi yang sedang berdenyut.

Angin di sekitarnya berputar pelan, membentuk lingkaran yang semakin rapat. Di tengahnya, muncul bayangan yang mirip dirinya sendiri — namun lebih tua, lebih tenang, dan entah kenapa tampak tahu segala hal yang tidak ia ketahui.

“Selamat datang kembali, Penjaga Angin,” suara itu bergema. Elara mengernyit. “Tapi aku belum benar-benar pergi, bukan? Aku bahkan masih punya tagihan tepung di toko sebelah.” Bayangan itu tertawa lembut. “Kau selalu seperti itu. Dunia bisa bergetar, dan kau masih sempat bercanda.”

Cahaya di sekitarnya mulai menari. Elara merasakan hembusan hangat mengelilingi tubuhnya, seolah seluruh udara di dunia sedang menyambut pulangnya seseorang yang telah lama ditunggu. Dalam sekejap, kenangan pun datang — tentang masa lalu, tentang tugasnya menjaga keseimbangan angin, dan tentang mengapa ia harus beristirahat selama ini.

Ia menutup mata. Segalanya terasa damai. Ketika ia membuka mata lagi, pusaran cahaya telah lenyap, berganti dengan langit biru yang bersih. Di tangannya, tersisa sehelai daun baru — kosong, tanpa tulisan.

Elara tersenyum kecil. “Mungkin kali ini, aku yang akan menulis ceritaku sendiri.” Dan saat ia menuruni gunung, angin kembali berhembus lembut — kali ini bukan sebagai pembawa pesan, melainkan sebagai teman lama yang setia menemani langkah pulang.

>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja