Saat Renee Menemukan Dirinya Sendiri

Renee selalu percaya bahwa kebiasaan membaca di halaman depan rumah dapat memperbaiki suasana hati seketika—bahkan ketika dunia terasa seperti lembar buku yang terselip di bawah sofa: sulit dijangkau dan penuh debu. Pagi itu, ia duduk di anak tangga kayu yang hangat oleh sinar matahari, mengenakan cardigan biru kesayangannya yang entah mengapa selalu membuatnya merasa lebih bersemangat. Di pangkuannya, sebuah buku bersampul kuning terbuka, meski kenyataannya ia sudah membaca halaman yang sama selama lima menit terakhir.

Penyebabnya sederhana: seekor kucing oranye dari rumah sebelah terus menatapnya seolah bertanya, “Tidak ada makanan di sini, Tuan Oranye. Coba pintu belakang.” Renee tertawa kecil, merasa konyol karena bernegosiasi dengan kucing lewat tatapan. Ia mengibaskan tangannya. Kucing itu hanya mengedip malas, tampak tidak terkesan.

Di sampingnya, sebuah keranjang kecil berisi tiga buku lain menunggu giliran dibaca. Renee sempat bermimpi menamatkan semuanya hari itu, tetapi ia sudah realistis sejak halaman pertama: rencana membaca sering kali berakhir menjadi rencana mengamati awan, atau rencana memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak terlalu dipikirkan, seperti alasan mengapa daftar belanjanya selalu hilang tepat saat ia sampai di toko.

Pagi itu, pikirannya lebih sibuk dari biasanya. Besok, ada sesuatu yang mungkin mengubah kesehariannya—hal yang membuat dirinya deg-degan sejak seminggu lalu. Ia menutup bukunya pelan. “Tenang, ini hanya kesempatan baru,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Namun hal itulah yang justru membuatnya duduk lebih lama di tangga rumah: ia sedang mencari keberanian, sambil berharap sedikit keajaiban muncul dari halaman buku. Dan tanpa ia sadari, seseorang sedang berjalan mendekat, membawa kabar yang akan memulai rangkaian kejadian tak terduga…

---ooOoo---

Langkah kaki yang mendekat itu ternyata milik Bram, tetangga Renee yang sejak dulu dikenal sebagai "ahli muncul tanpa suara." Orang-orang suka bercanda bahwa Bram pasti punya bakat alami sebagai ninja, meski kenyataannya ia hanya berjalan terlalu ringan karena kebiasaan memakai sandal tipis. Pagi itu, ia muncul sambil membawa sekotak roti tawar dan ekspresi kemenangan, seperti baru saja memenangkan perlombaan yang tidak diikuti siapa pun.

Pagi, Renee! Kau tidak akan percaya apa yang baru terjadi,” katanya sambil duduk seenaknya di anak tangga paling atas, tanpa diminta.

Renee menutup bukunya. “Jika itu tentang roti yang diskon besar, aku akan pura-pura terkejut.

Bram mengibaskan kotak roti di tangannya. “Bukan. Tapi itu ide bagus juga.” Ia bersandar, lalu menambahkan, “Aku menemukan ponselku di kulkas.

Renee mengerutkan dahi. “Kenapa bisa di kulkas?

Itu dia,” jawab Bram mantap, “misteri yang akan kuteruskan pada generasi berikutnya.

Renee menahan tawa. Bram memang punya kemampuan unik: ia bisa membuat segala hal sederhana terdengar seperti pengalaman luar biasa. Mungkin itu sebabnya Renee merasa suasana paginya mendadak lebih ringan.

Ngomong-ngomong,” Bram melirik keranjang buku di samping Renee, “kau kelihatan gelisah. Mau ujian membaca cepat?

Tidak lucu,” Renee mendesah, tapi senyumnya muncul juga. “Besok ada wawancara. Yang itu.

Yang itu?” Bram mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Wah, ini serius. Jadi ini alasan kau membaca halaman yang sama berkali-kali?

Renee ingin menyangkal, tetapi tatapan Bram terlalu tepat sasaran. “Mungkin,” jawabnya pelan.

Tenang saja,” ujar Bram sambil menyodorkan selembar roti kepadanya, “kau itu Renee. Kalau kau bisa mengatasi kegagapan waktu presentasi lima tahun lalu, kau bisa mengatasi apa pun.

Renee tertawa kecil. “Jangan ingatkan aku soal itu.

Namun sebelum ia sempat mengalihkan topik, seseorang lain muncul di ujung jalan, melambaikan tangan ke arah mereka—membawa berita yang membuat Renee menegakkan punggungnya.

Seolah pagi yang tenang itu baru saja berubah menjadi bab baru yang lebih seru.

---ooOoo---

Orang yang melambaikan tangan itu adalah Dina, sahabat Renee sejak kuliah. Dina terkenal sebagai pemberi kabar tercepat di lingkungan itu—bahkan kabar yang belum sepenuhnya terbentuk pun bisa ia sampaikan dengan penuh semangat. Rambutnya yang selalu diikat rapi bergerak naik turun seiring langkah cepatnya mendekati tangga tempat Renee dan Bram duduk.

Renee! Aku mencarimu sejak tadi!” serunya sambil menarik napas panjang, seperti baru saja berlari maraton padahal jarak rumahnya hanya beberapa rumah saja.

Renee menatapnya cemas. “Ada apa? Kau kelihatan seperti melihat bros diskon yang hampir habis.

Lebih penting dari itu,” kata Dina sambil duduk di samping Renee. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop putih. “Ini. Kau harus baca.

Bram bersiul pelan. “Wah, amplop putih. Pasti serius. Atau undangan rapat warga.

Bukan rapat,” jawab Dina ketus. “Sudah kubilang, jangan mulai.

Renee mengambil amplop itu hati-hati. Kertasnya agak tebal, dengan tulisan tangan yang ia kenal betul: milik editor yang beberapa bulan lalu membaca naskah pendek yang Renee kirimkan—sekadar iseng, begitu pikirnya waktu itu. Renee menelan ludah, lalu membuka amplop itu perlahan.

Di dalamnya ada surat singkat. Sangat singkat. Tetapi cukup untuk membuat jantung Renee berdebar lebih cepat dari sebelumnya.

Mereka ingin bertemu untuk membahas naskahku…” gumam Renee, hampir tidak percaya.

Bram tepuk tangan kecil, terlalu cepat. “Lihat? Aku bilang juga apa. Kau itu hebat. Bahkan kulkas pun tidak cukup dingin untuk membekukan bakatmu.

Dina mengangguk antusias. “Kau harus datang. Ini kesempatan langka!

Namun Renee justru terdiam. Besok sudah ada wawancara yang membuatnya gelisah. Dan kini muncul satu lagi kesempatan besar—tapi waktunya berdekatan. Terlalu berdekatan.

Dina mencondongkan tubuh. “Renee… kau harus memilih. Tapi ingat, apa pun pilihanmu, kami ada di sini.

Renee menarik napas panjang, memandang buku kuning di pangkuannya. Pagi itu, hidupnya terasa seperti halaman yang berlipat: harus diratakan agar bisa dibaca dengan jelas.

---ooOoo---

Sore itu, Renee duduk di meja kerjanya sambil memandangi dua catatan kecil yang ia tempelkan berdampingan. Di sebelah kiri tertulis: "Wawancara Besok – 09.00". Di sebelah kanan: "Pertemuan Editor – Waktu Fleksibel, tapi segera." Dua catatan itu terasa seperti dua pintu yang sama-sama menarik, tetapi hanya satu yang bisa ia buka terlebih dahulu.

Ia mengetuk-ngetukkan ujung pensil di meja, kebiasaan lamanya ketika sedang bingung. “Mengapa semua hal penting harus datang bersamaan?” gumamnya. Bahkan jam dinding pun terdengar seperti sedang mengejeknya dengan setiap detik yang lewat.

Bram mampir tanpa mengetuk—seperti biasa—membawa sekotak biskuit yang nyaris kosong. “Aku hanya punya tiga biskuit terakhir. Dua buatmu, satu buatku. Itu tanda persahabatan,” katanya sambil duduk.

Renee mengangkat alis. “Kenapa dua buatku?

Karena kau sedang berpikir keras. Orang yang berpikir keras butuh gula lebih banyak.

Meskipun Renee tertawa, pikirannya tetap berkutat pada dua pilihan itu. Dina kemudian muncul melalui pintu, seolah rumah Renee adalah kedai umum. “Baiklah, bagaimana perkembangan keputusanmu?” tanyanya sambil duduk dengan gaya formal yang justru membuatnya terlihat semakin cemas.

Renee menyandarkan kepala pada kursi. “Wawancara itu stabil, pasti. Editor itu… ya, itu kesempatan besar, tapi belum tentu.

Kadang yang belum tentu justru membuka jalan yang tidak kita duga,” kata Dina.

Bram mengangguk setuju, meski ia tampak tidak tahu alasan mengapa ia setuju. “Benar sekali. Seperti ketika aku menaruh ponsel di kulkas. Tidak direncanakan, tapi aku menemukan yogurt yang sudah hilang tiga hari!

Renee menutup wajahnya dengan tangan. “Ini bukan membantu.

Namun perlahan, di balik candaan mereka, Renee merasa pikirannya mulai terang. Ia menyadari satu hal: apa pun keputusannya, ia tidak akan menjalaninya sendirian.

Saat matahari mulai turun, Renee berdiri dan menatap dua catatan kecil di dinding. Satu keputusan mulai terbentuk—perlahan, tetapi pasti.

---ooOoo---

Pagi berikutnya datang lebih cepat dari yang Renee harapkan. Langit tampak cerah, tetapi perutnya justru terasa seperti diisi kupu-kupu yang ikut senam pagi. Di meja makan, dua catatan yang semalam ia pindahkan kini tergeletak berdampingan. Namun, berbeda dari sebelumnya, Renee sudah tahu mana yang harus ia ambil.

Ia meraih salah satu kertas itu. Yang tertulis di atasnya: "Pertemuan Editor."

Keputusan itu membuatnya menarik napas panjang—bukan karena takut, tetapi karena lega. Ada sesuatu dalam menulis yang selalu membuatnya merasa hidup, meski tak pernah ia akui dengan lantang. “Kalau tidak kucoba sekarang,” bisiknya pada dirinya sendiri, “kapan lagi?

Bram muncul tepat saat Renee hendak bersiap pergi, seperti alarm tidak resmi. “Jadi, kau sudah memilih?” tanyanya sambil memegang cangkir minuman panas yang aromanya memenuhi ruang tamu.

Renee mengangguk. “Ya. Aku akan bertemu editor itu hari ini.

Bram tersenyum lebar. “Bagus! Aku sudah siapkan kalimat penyemangat. Mau dengar? ‘Keberanian adalah—’

Tidak perlu,” potong Renee cepat, sambil tersenyum. “Kata-kata semangat darimu biasanya membuatku berpikir terlalu keras.

Dina menyusul beberapa menit kemudian, membawa tas kecil berisi bekal dan sesuatu yang tampak seperti buku catatan baru. “Ini untukmu,” katanya. “Kau mungkin ingin menulis sesuatu setelah pertemuan nanti.

Renee menerimanya dengan hati hangat. “Kalian ini, selalu lebih siap daripada aku.

Bram menepuk bahu Renee. “Yang penting kau melangkah. Sisanya bisa dipikirkan sambil jalan. Kalau kau tersesat, telepon kami. Kami akan datang… setelah sarapan.

Renee tertawa, lalu berdiri di depan pintu. Untuk sekali ini, ia tidak merasa ragu. Ia tahu jalan di depannya mungkin panjang, mungkin berliku, mungkin penuh hal-hal yang tidak ia duga. Namun langkah pertama sudah diambil.

Dan ketika ia melangkah keluar, sinar matahari menyambutnya—seolah dunia juga ikut berkata: “Ayo, Renee. Mari mulai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja