Di Mana Angin Bercerita
oleh: Diono Pieter Rianto
Paradissa duduk di tepi padang rumput yang lembut, membiarkan angin sore menyibakkan rambut panjangnya yang dikepang rapi. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna gading, yang tampak kontras dengan rerumputan hijau yang melambai seperti penonton setia. Dari kejauhan, suara burung-burung yang sedang berdebat ringan terdengar—setidaknya begitu menurut Paradissa, karena mereka berkicau seolah sedang membahas siapa yang paling berbakat dalam hal bersuara merdu.
Hari itu, Paradissa sebenarnya ingin beristirahat. Namun, pikirannya justru sibuk memikirkan sesuatu yang jauh lebih rumit daripada menentukan apakah rumput di sebelah kanan atau kiri lebih hijau. Ia tengah merencanakan perubahan besar: membuka ruang belajar alam untuk anak-anak desa. Ia ingin mengajarkan mereka mengenai tumbuhan, sungai, angin, dan semua hal sederhana yang sering luput dari perhatian. Menurutnya, alam jauh lebih sabar daripada guru mana pun. Tidak pernah bosan mengulang pelajaran, meski muridnya kadang pura-pura tidak mendengar.
Sambil menatap langit yang berwarna jingga lembut, Paradissa menghela napas pendek. Ia tahu perubahan tidak mudah—apalagi jika melibatkan orang-orang yang memiliki pendapat berbeda-beda. Namun, ia yakin setiap langkah kecil bisa memicu gelombang besar. Yang ia butuhkan hanyalah keberanian… dan mungkin sedikit keberuntungan, seperti tidak diganggu seekor kumbang yang hobi mendarat di hidung.
Keesokan paginya, Paradissa kembali ke padang rumput, kali ini dengan membawa buku catatan lusuh yang sampulnya sudah miring sebelah. Ia berniat menuliskan rancangan awal ruang belajar alam yang sedang ia bayangkan. Namun, baru saja ia duduk, sebuah suara dari balik semak membuatnya menoleh cepat—meski tidak secepat kelinci yang kaget melihat bayangannya sendiri.
Seorang pemuda muncul sambil menepuk-nepuk celananya yang penuh serpihan rumput. “Maaf… saya tidak sengaja tersesat.” ujarnya dengan wajah sedikit memerah. Paradissa menahan tawa. Dari cara pemuda itu berdiri, jelas sekali ia sebenarnya tidak tersesat—ia hanya memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan peta.
Paradissa memperkenalkan diri, dan pemuda itu menyebut namanya: Renato. Ia mengaku sedang melakukan survei kecil tentang tumbuhan lokal untuk pekerjaannya. Namun ia juga mengaku—setelah sedikit ragu—bahwa ia lebih sering bingung daripada berhasil menemukan apa yang ia cari.
Percakapan mereka berkembang dengan cepat. Paradissa menjelaskan mimpinya tentang ruang belajar alam, sementara Renato mengangguk-angguk begitu bersemangat sehingga topinya hampir terbang. Ia menawarkan bantuan, meski Paradissa belum paham bantuan seperti apa yang dimaksud. “Saya pandai mengangkat barang.” katanya mantap, seolah itu keahlian yang bisa menyelesaikan segala persoalan.
Paradissa tersenyum kecil. Pertemuan ini jelas tidak direncanakan, tetapi justru itu yang membuatnya menarik.
Paradissa bangun lebih pagi dari biasanya, meski ia sendiri tidak yakin apakah itu karena semangat baru atau karena ayam tetangga yang tampaknya sedang mengikuti kompetisi menyanyi tingkat dunia. Ia membawa buku catatan dan bertemu Renato di padang rumput, tempat pertemuan mereka sebelumnya. Renato sudah menunggu sambil memegang dua gelas air jeruk, salah satunya hampir tumpah karena ia terlalu bersemangat melambai.
“Ini untuk memulai hari yang produktif.” katanya bangga. Paradissa menerima gelas itu sambil menahan tawa, karena Renato tampak seperti seseorang yang baru saja menemukan tujuan hidup: membantu proyek yang ia sendiri belum benar-benar pahami.
Mereka mulai berdiskusi tentang ruang belajar alam yang Paradissa bayangkan. Paradissa ingin kegiatan sederhana—mengamati daun, mempelajari aliran air, atau mendengar bunyi angin. Renato mencatat semuanya dengan sangat serius, meski beberapa kali ia menulis terlalu besar sehingga kertasnya tinggal setengah halaman untuk ide lainnya.
Saat mereka menyusun daftar kebutuhan, Renato tiba-tiba mengusulkan sesuatu yang membuat Paradissa menatapnya heran. “Bagaimana kalau kita membuat sudut eksperimen sederhana? Misalnya… percobaan tentang bagaimana tanaman merespons cahaya.”
Paradissa terdiam sejenak. Bukan karena idenya buruk—justru sebaliknya—ia tidak menyangka Renato memiliki sisi ilmiah selain sisi mudah tersesatnya. Entah bagaimana, rencana yang tadinya kecil kini mulai membesar.
Paradissa dan Renato menghabiskan beberapa hari berikutnya untuk menyiapkan berbagai perlengkapan. Mereka mengumpulkan papan kayu bekas, botol kaca, tali, serta beberapa alat sederhana untuk eksperimen kecil. Meski begitu, perjalanan mereka tentu tidak sepenuhnya mulus. Setiap ada kemajuan, selalu saja muncul hal tak terduga yang membuat Paradissa ingin menepuk dahinya—atau menepuk Renato, tapi itu kurang sopan.
Suatu pagi, Renato datang sambil membawa kotak besar. “Aku sudah mengumpulkan semua daun contoh untuk kelas nanti!” ujarnya bangga. Paradissa membuka kotak itu… lalu menutupnya lagi dengan perlahan. “Renato… itu bukan daun. Itu rumput. Banyak sekali rumput. Bahkan ada yang masih ada tanahnya.”
Renato terlihat terpukul, tapi hanya selama tiga detik. “Ah, itu… latihan pemanasan. Untuk koordinasi tangan.” katanya, mencoba menyelamatkan harga dirinya yang terancam runtuh.
Meski begitu, Paradissa tidak bisa menahan senyum. Keberadaan Renato, dengan segala kekonyolannya yang jujur, membuat proses persiapan terasa lebih ringan. Setiap kesalahan kecil berubah menjadi alasan untuk tertawa—dan entah bagaimana, dari semua tawa itu, ide-ide baru justru bermunculan.
Namun pada sore hari itu, ketika mereka meninjau lokasi yang akan dipakai, Paradissa melihat sesuatu yang membuatnya terdiam. Ada perubahan kecil di area itu—sebuah tanda bahwa tantangan baru sedang menunggu.
Paradissa berdiri memandangi area yang akan digunakan untuk ruang belajar alam. Ada sesuatu yang berubah: sebagian tanah tampak tergeser, seperti baru dilewati hewan besar yang sedang mencoba mengikuti tren olahraga lari pagi. Renato memeriksa jejak itu dengan gaya seorang ahli, meski ekspresinya lebih mirip orang yang mencoba mengingat apakah ia sudah menutup keran air di rumah.
“Aku rasa ini jejak… hmm… sesuatu.” katanya dengan yakin yang rapuh. Paradissa menahan tawa. “Itu jelas jejak,” balasnya ringan, “pertanyaannya: jejak apa?”
Mereka memutuskan mengecek area sekitar. Tidak jauh dari situ, terlihat beberapa dahan kecil patah dan tumpukan daun yang terseret. Paradissa mengusap dagunya sambil berpikir. Mungkin hewan liar sedang lewat, atau mungkin angin kencang membuat ranting jatuh, lalu menyeret daun. Renato, tentu saja, punya teori yang lebih dramatis: “Bisa jadi hewan besar sedang melakukan manuver seni… semacam tarian alam.”
Paradissa tertawa. “Kalau begitu, hewan itu punya bakat.”
Mereka kemudian membersihkan area itu bersama-sama. Meski ada sedikit kekhawatiran, semangat untuk melanjutkan proyek tetap lebih besar. Bahkan, kejadian itu membuat mereka semakin bertekad mempersiapkan ruang belajar dengan lebih baik.
Pada pagi yang cerah, Paradissa kembali ke lokasi sambil membawa papan kayu kecil yang baru ia cat. Di papan itu tertulis: “Ruang Belajar Alam — Tempat Bertanya Tanpa Batas.” Tulisan sederhana itu membuatnya tersenyum.
Renato datang beberapa menit kemudian sambil membawa tas besar yang tampak mencurigakan. Dari dalam tas itu, ia mengeluarkan beberapa benda kecil: lup, kompas, dan kertas bergaris yang sudah ia susun rapi.
“Aku pikir, kalau kita ingin mengajarkan alam, sebaiknya kita juga memberi mereka alat untuk mengeksplorasi.” ujar Renato bangga… meski kemudian ia tersandung akar pohon kecil.
Paradissa hanya tertawa kecil. Bukan hanya karena Renato bekerja keras, tetapi karena proyek kecil ini kini terasa lebih hidup, lebih nyata.
Saat mereka menata ruang belajar itu untuk pertama kalinya, angin sore bertiup lembut, seolah ikut merayakan. Paradissa menatap ke segala arah—rumput, pepohonan, langit yang tenang—dan yakin bahwa semua ini baru permulaan.
Komentar
Posting Komentar