Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Dua Orang di Ujung Gang

Gambar
Gang sempit itu sudah lama tak mendengar suara selain langkah kaki ayam atau nyanyian ibu-ibu yang menjemur cucian. Matahari pagi menembus sela-sela atap genteng, menciptakan pola cahaya seperti puzzle yang belum lengkap. Tapi hari itu, gang tersebut menjadi saksi kejadian langka—dua pria dewasa, berdiri kikuk di tengah jalan, saling mengulurkan tangan, seperti mau berjabat tapi ragu-ragu, atau sedang transaksi sangat rahasia... padahal yang mereka pegang hanyalah... sebilah sendok. "Jadi... ini sendoknya?" tanya pria dengan jaket biru lusuh, rambut disisir ke belakang dengan air keran. Ia bernama Tarjo. Seorang tukang servis radio yang lebih sering memperbaiki nasib sendiri daripada barang pelanggan. "Bukan sembarang sendok, Pak Tarjo. Ini... sendok warisan. Dari nenek saya. Katanya, siapa pun yang memakainya untuk makan bubur, tidak akan pernah kehabisan topping kacang kedelai goreng," jawab pria satunya, sedikit lebih muda, mengenakan jas cokelat dan cel...

Gadis dari Jalan Cinta

Gambar
Suatu pagi yang suram di kota tua yang sudah penat oleh debu dan cerita-cerita basi, seorang gadis melangkah perlahan di antara lalu-lalang manusia. Jaket wol panjang membungkus tubuhnya, kedua tangan tenggelam di saku—seolah menyembunyikan rahasia yang terlalu besar untuk diucap. Namanya Cici. Wajahnya tenang, matanya tajam, dan setiap langkahnya seakan membawa keputusan yang sudah lama diambil. Orang-orang menoleh saat ia lewat. Bukan karena ia mencolok, tapi karena ada sesuatu darinya yang membuat waktu diam sebentar, menahan napas. "Itu dia lagi," gumam seorang pria paruh baya pada temannya sambil menyuap roti keras. "Jalan kayak detektif, tapi mukanya kayak lukisan di galeri mahal." Cici tentu mendengar bisikan itu. Tapi, seperti biasanya, ia membiarkan saja. Ia sudah akrab dengan tatapan ingin tahu yang tak pernah cukup berani bertanya. Toh, siapa yang punya waktu untuk menjelaskan kenapa ia tiap pagi berjalan menyusuri Jalan Cinta—jalanan sepi yang masih ...

Misteri Dapur Bambu

Gambar
Misteri Dapur Bambu Angin sore merayap masuk melalui celah-celah dinding dapur bambu, membawa aroma basah dari tanah yang baru tersiram hujan. Cahaya senja menerobos kisi-kisi jendela, menari-nari di atas anyaman tikar pandan. Di sudut dapur itu, Sari duduk bersila di samping ibunya, Nyai Lestari, yang mengenakan kebaya cokelat dengan motif batik halus. "Sari, lihat ini. Daun harus dilipat begini, seperti ini," ujar Nyai Lestari lembut, tangannya lincah membentuk lembaran daun menjadi wadah kecil untuk menyajikan sega liwet. Sari, gadis kecil berusia delapan tahun, mengangguk penuh perhatian. Tangannya yang mungil mencoba meniru lipatan ibunya, tapi hasilnya lebih mirip kapal kertas yang nyaris tenggelam. Nyai Lestari tertawa kecil. "Tidak apa-apa, Le. Kau akan belajar." Malam itu, dapur terasa hangat oleh obrolan mereka. Sari selalu menyukai saat-saat seperti ini, ketika hanya ada ia dan ibunya, duduk di atas lantai bambu, membicarakan hal-hal ...

Hujan, Cinta dan Kenangan

Gambar
Hujan, Cinta dan Kenangan Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hutan lebat dan sawah yang subur, ada sebuah tempat bernama Desa Harmoni. Tempat ini terkenal dengan hujan deras yang datang setiap tahun, menandakan datangnya musim padi. Masyarakat setempat percaya, setiap tetesan hujan membawa kenangan dan harapan baru. Di balik kegembiraan itu, terdapat tiga karakter utama: Tina, seorang wanita paruh baya yang telah mencintai desa ini sejak kecil; Rudi, pemuda yang baru saja kembali dari kota besar setelah mengejar impian yang kini pupus; dan Pak Darto, mantan guru desa yang penuh teka-teki dan misteri. Tina adalah pemilik warung makan di desa tersebut. Ia dikenal sebagai sosok yang ramah, selalu memberikan senyuman dan cerita kepada siapa saja yang datang. Memepertahankan warungnya membuatnya terhubung dengan banyak orang, tetapi ia menyimpan satu rahasia besar: cinta pertamanya yang hilang karena memilih pergi ke kota. Rudi, seorang pemuda yang kembali ke desa setelah be...

Tatapan Seribu Tanya

Gambar
Tatapan Seribu Tanya Angin malam berdesir pelan melalui jendela-jendela kaca patri istana, membawa aroma bunga melati yang mekar di taman kerajaan. Cecilia berdiri tegap di tengah ruang tamu pribadinya, kedua tangannya mengepal erat di samping tubuhnya. Gaun hijau zamrudnya berkilauan lembut dalam cahaya lilin, menciptakan bayangan bergoyang di dinding batu yang dingin. Delapan tahun. Delapan tahun lamanya ia menunggu momen ini. Jari-jarinya yang ramping tanpa sadar memainkan sulaman benang emas di pinggir gaunnya, sebuah kebiasaan lamanya ketika gugup. Di luar, suara jangkrik bernyanyi riang terdengar samar, bersahutan dengan dentang lonceng istana yang menandakan pukul sembilan malam. Cecilia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Bau lilin yang mulai meleleh tercampur aroma kayu cendana dari lemari tua di sudut ruangan. Ia masih ingat betul hari ketika Dyon diusir—bau hujan yang menyengat, teriakan para pengawal, dan wajah Dyo...

Cerpen : Ladang Terakhir Pak Raka

Gambar
Ladang Terakhir Pak Raka Langit sore itu membentang biru keemasan di atas hamparan ladang yang luas. Angin berhembus lembut, mengayun-ayun bulir padi yang menguning, nyaris panen. Di tengah ladang itu berdiri seorang pria dengan wajah keras dan sorot mata penuh perhitungan. Namanya Raka Suryana. Usianya 48 tahun, dan ini adalah musim tanam terakhirnya. Raka bukan petani biasa. Ia dikenal sebagai pria yang memegang teguh kata-kata. Sejak istrinya meninggal lima tahun lalu, ia hidup sendirian di rumah panggung sederhana di ujung desa. Anaknya, Ardi, merantau ke kota, membawa ijazah teknik pertanian yang Raka perjuangkan dengan cucuran keringat dan hutang. Namun hari ini berbeda. Raka berdiri lebih lama dari biasanya di pematang sawah. Seolah-olah dia tengah berbicara dengan ladang itu, ladang yang telah menjadi saksi hidupnya sejak remaja. “Ini musim terakhir, Nduk,” gumamnya lirih. “Bapak mau menyerahkannya pada yang muda. Tapi nggak akan sembarang orang....

Cerpen : Secangkir Senyum di Sudut Kafe

Gambar
Cerpen : Di sebuah kafe kecil di pojok jalan tua Kota Lama, seorang wanita bernama Larissa duduk di dekat jendela besar yang memandikan wajahnya dengan cahaya sore. Tangannya menggenggam cangkir kopi hangat, sementara jemarinya yang lain menari pelan di atas halaman buku catatan kecil di atas meja. Ia tampak tenang, namun sorot matanya menyimpan banyak kisah yang belum selesai. Larissa bukan pelanggan baru di kafe itu. Ia datang hampir setiap sore, selalu memesan kopi hitam tanpa gula, duduk di kursi yang sama, dan kadang menuliskan sesuatu entah apa di buku kecilnya. Para barista sudah hafal pesanan dan senyum ramahnya. Namun hari itu, ada sesuatu yang berbeda—dia duduk sedikit lebih lama, dan lebih sering memandang ke pintu. Beberapa pengunjung lain datang dan pergi. Seorang pria bersetelan jas sempat menoleh ke arahnya dan tersenyum sopan. Larissa membalas dengan anggukan kecil, lalu kembali menatap kopinya. Hari itu adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Lima tah...

Cerpen: Pucuk Teh Terakhir

Gambar
Pucuk Teh Terakhir Embun pagi masih menggelayut di ujung daun-daun teh, berkilauan saat sinar matahari perlahan menembus kabut. Udara di lereng perbukitan ini selalu membawa kesejukan yang menusuk kulit, tetapi bagi Ratri, dingin seperti ini sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma daun teh basah meresap ke dalam dirinya sebelum mulai bekerja. Kebaya biru yang dikenakannya sedikit basah oleh embun, tetapi ia tidak menghiraukannya. Jemarinya lincah memetik pucuk teh dengan irama yang teratur, memasukkannya ke dalam keranjang bambu di punggungnya. Suara-suara pemetik teh lainnya terdengar di kejauhan, tawa ringan bercampur dengan gesekan ranting dan dedaunan. Namun, pagi ini, pikirannya tidak sepenuhnya ada di kebun teh. Ia mengingat seorang pemuda dari kota yang datang ke sini beberapa bulan lalu. Bayu. ***** Bayu pertama kali muncul di kebun teh dengan kamera tergantung di lehernya dan raut wajah penuh keingintahuan. “Aku jurnal...

Cerpen: Rintik

Gambar
Rintik   Hujan bukan sekadar tetesan air bagi Galih. Hujan adalah guru yang mengajarkannya tentang kesabaran, ketegaran, dan kejutan yang datang tanpa permisi. Hujan mencintai bumi dengan caranya sendiri—kadang lembut, kadang menghantam. Baru saja Galih mengangkat jemuran yang basah kuyup oleh hujan tiba-tiba. Ia mendapati tubuhnya sendiri juga basah oleh keringat. Ia duduk di lantai dapur dekat pintu, menatap tungku tempat tadi merebus air—kini terendam genangan, asapnya sudah sirna, hanya sisa bau kayu hangus yang masih menggantung. Dari balik jendela buram, terlihat seekor induk ayam merangkul anak-anaknya di bawah sayapnya. Ah, baru ia sadar, sayap bukan hanya untuk digoreng, tapi juga untuk melindungi. Galih mencintai hujan, menikmati basahnya—kecuali saat harus menuruti perintah ayahnya. Hujan begini, seorang duda tua yang kulitnya legam terbakar matahari sejak istrinya meninggal saat melahirkan Galih, berseru dari dalam rumah: "Belikan kopi! Setengah kilo saja!...