Tatapan Seribu Tanya

Tatapan Seribu Tanya

Angin malam berdesir pelan melalui jendela-jendela kaca patri istana, membawa aroma bunga melati yang mekar di taman kerajaan. Cecilia berdiri tegap di tengah ruang tamu pribadinya, kedua tangannya mengepal erat di samping tubuhnya. Gaun hijau zamrudnya berkilauan lembut dalam cahaya lilin, menciptakan bayangan bergoyang di dinding batu yang dingin. Delapan tahun. Delapan tahun lamanya ia menunggu momen ini. Jari-jarinya yang ramping tanpa sadar memainkan sulaman benang emas di pinggir gaunnya, sebuah kebiasaan lamanya ketika gugup.

Di luar, suara jangkrik bernyanyi riang terdengar samar, bersahutan dengan dentang lonceng istana yang menandakan pukul sembilan malam. Cecilia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Bau lilin yang mulai meleleh tercampur aroma kayu cendana dari lemari tua di sudut ruangan. Ia masih ingat betul hari ketika Dyon diusir—bau hujan yang menyengat, teriakan para pengawal, dan wajah Dyon yang hancur saat dibawa pergi.

Pintu kayu ek yang berat perlahan terbuka dengan bunyi berderit yang familiar. Seorang pria melangkah masuk, bayangannya memanjang di lantai marmer yang mengilap. Rambut hitamnya kini dihiasi uban di pelipis, tetapi sorot matanya—masih sama seperti dulu—hangat seperti cahaya perapian di musim dingin. Ia mengenakan jubah sederhana berwarna cokelat tua dengan sedikit sobekan di bagian lengan, bukti perjalanan panjang yang baru saja dilaluinya.

"Dyon," bisik Cecilia, suaranya serak oleh waktu. Bibirnya yang merah muda gemetar ringan, seperti daun yang tertiup angin musim gugur. Tangannya tanpa sadar meraih kalung mutiaranya, mengusik-usik butiran mutiara yang dingin itu.

Dyon berdiri diam di ambang pintu, matanya tak lepas dari wanita di hadapannya. "Aku tidak menyangka..." ujarnya pelan, suaranya lebih dalam dari yang Cecilia ingat, "...ruangan ini masih sama persis."

Cecilia merasa ada yang mengganjal di tenggorokannya. "Aku sengaja tidak mengubah apapun," jawabnya sambil menatap rak buku di sebelah kanan Dyon, tempat mereka dulu sering bersandar dan berdiskusi hingga larut malam. "Bahkan buku-buku filsafat Yunani itu masih di tempatnya."

Dyon mengambil langkah perlahan ke dalam ruangan. Suara sepatu botnya yang berdebu mengetuk lantai marmer dengan ritme yang tidak beraturan. "Delapan tahun," gumamnya, matanya menyapu setiap sudut ruangan yang penuh kenangan. "Kau masih menyimpan vas bunga itu." Ia menunjuk ke sebuah vas keramik biru di atas meja kecil, yang sekarang berisi setangkai mawar merah.

"Hadiah ulang tahunmu yang ke-25 untukku," Cecilia tersenyum getir. "Masih utuh, meski sempat hampir pecah ketika...ketika kau pergi." Tangannya yang halus meraih vas itu dengan lembut, jari telunjuknya menelusuri pola emas yang melingkar di pinggirannya.

Dyon kini sudah berdiri tepat di hadapannya, hanya terpisah oleh meja kecil yang penuh dengan goresan-goresan tak beraturan—coretan-coretan yang mereka buat dulu saat berdebat tentang puisi. Aroma khas Dyon—kayu pinus dan tinta—masih sama, bercampur dengan bau debu jalanan yang melekat di jubahnya.

"Kau masih memakai minyak wangi lavender," ujar Dyon tiba-tiba, hidungnya berkedut mencium aroma halus dari leher Cecilia. "Aku ingat, dulu aku selalu membelikanmu botol-botol kecil itu dari pasar gelap."

Cecilia tiba-tiba merasa lututnya lemas. Kenangan itu datang beruntun—Dyon yang menyelinap ke kamarnya larut malam dengan bungkusan kecil berisi minyak wangi, tawa mereka yang tertahan karena takut ketahuan pengawal, dan ciuman pertama mereka di balik tirai tebal itu...

Tanpa sadar, air mata mulai menggenang di matanya. "Kenapa sekarang?" tanyanya, suaranya pecah. "Delapan tahun tanpa sepucuk surat, tanpa kabar...dan tiba-tiba kau muncul dengan pertanyaan itu—'Kau masih percaya padaku?'"

Dyon mengulurkan tangannya, tetapi Cecilia mundur selangkah. "Aku punya alasan," katanya, matanya tiba-tiba gelap. "Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang harus kau lihat." Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sebuah buku kecil yang sudah lusuh, kulitnya hampir terlepas. "Masih ingat buku catatan harianku yang selalu kausembunyikan di bawah bantalmu?"

Cecilia terkesiap. Buku itu—ia pikir sudah hancur dibakar bersama barang-barang Dyon yang lain setelah pengusirannya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil buku itu dan membuka halaman pertamanya. Tulisan Dyon yang rapi masih terlihat jelas, meski sudah memudar.

"Baca halaman terakhir," bisik Dyon.

Cecilia membalik halaman dengan hati-hati. Di sana, tertulis sebuah tanggal—tepat sehari sebelum Dyon diusir—dan sebuah kalimat yang membuat nafasnya tersangkut:

"Besok aku akan pergi. Cassian telah menjebakku dengan dokumen palsu. Tapi aku temukan sesuatu yang lebih berbahaya—rencana kudeta terhadap Ratu. Aku harus menghilang untuk menyelidiki ini. Cecilia, jika kau membaca ini, berarti aku gagal kembali tepat waktu. Tapi percayalah, aku akan menemukan jalan pulang."

Air mata Cecilia kini mengalir deras, membasahi halaman buku yang sudah menguning. "Selama ini..." isaknya, "aku pikir kau pergi karena menyerah."

Dyon dengan hati-hati mengambil buku itu dari tangan Cecilia dan meletakkannya di meja. "Aku menghabiskan delapan tahun menyusun bukti-bukti," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah kantong kulit dari sabuknya. "Ini semua yang kukumpulkan—surat-surat rahasia, catatan transaksi gelap, bahkan pengakuan dari salah satu konspirator."

Cecilia melihat isi kantong itu dengan mata berbinar. "Ini...ini bisa membersihkan namamu! Dan membongkar konspirasi Cassian!"

Dony mengangguk pelan. "Tapi ada harga yang harus kita bayar," bisiknya. "Mereka sudah tahu aku kembali. Tidak akan lama sebelum—"

Tiba-tiba, suara teriakan dari halaman istana memecah keheningan. Cecilia bergegas ke jendela dan menyibak tirai berat. "Pengawal kerajaan...mereka menggeledah asrama pelayan!"

Dyon menarik lengan Cecilia dengan sigap. "Kita harus pergi. Sekarang."

Cecilia merasakan dinginnya pegangan jendela merambat di ujung jarinya saat menyaksikan keributan di bawah. "Tidak mungkin mereka sudah mencium kehadiranmu," bisiknya, suara serak oleh adrenalin. "Aku sudah menyogok penjaga gerbang untuk diam."

Dyon menariknya menjauh dari jendela, bayangan wajahnya terlihat tajam di bawah cahaya lilin yang mulai redup. "Bukan aku yang mereka cari," katanya sambil mengeluarkan selembar kertas dari balik ikat pinggangnya. Kertas itu sobek di bagian tengah dan bernoda kecoklatan—bekas darah atau karat, Cecilia tak bisa memastikan.

"Surat perintah penggeledahan," baca Cecilia dengan cepat, matanya menyusuri tulisan yang hampir pudar. "Ditandatangani oleh... Cassian sendiri?" Tangannya gemetar memegang dokumen itu. "Tapi dia sudah diadili seminggu yang lalu!"

Dyon menghela napas panjang. Bau keringat dan debu jalanan yang melekat di bajunya semakin terasa dalam jarak sedekat ini. "Itu yang ingin kubicarakan. Cassian tidak pernah benar-benar dipenjara. Pengadilan itu sandiwara—aku menyaksikannya sendiri di Gerbang Utara tiga hari lalu. Dia berbicara dengan seseorang yang memakai jubah Penasihat Agung."

Cecilia menekan pelipisnya. Dunia terasa berputar. "Itu mustahil. Aku hadir di persidangan itu. Aku melihatnya diborgol!"

"Yang kau lihat adalah seorang pelaku sandiwara," Dyon membuka halaman belakang buku hariannya yang tadi, menunjukkan sketsa wajah seorang pria dengan bekas luka di dagu. "Ini orangnya. Seorang narapidana dari penjara bawah tanah yang wajahnya mirip Cassian. Aku menemukan mayatnya di selokan dekat Gerbang Timur kemarin—dibunuh dengan racun."

Suara langkah berat bergema di koridor luar. Cecilia secara refleks meraih pisau belati kecil yang selalu tersembunyi di balik ikat pinggang gaunnya. "Kita terjebak," desisnya.

Dyon justru tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang dulu selalu muncul ketika ia punya rencana gila. "Kau masih ingat jalan rahasia ke perpustakaan bawah tanah? Yang kita temukan waktu kau berusia lima belas tahun?"

Kenangan itu menyambar Cecilia seperti kilat—mereka tersesat di balik rak buku tua, secara tak sengaja menemukan sebuah tuas tersembunyi di balik patung dewi pengetahuan, lalu...

"Pintu itu masih ada," bisiknya, mata berbinar. "Tapi kita butuh waktu untuk—"

Denting logam dari kunci pintu yang diputar memotong ucapannya.

Dyon bergerak cepat, menendang bangku kayu ke arah pintu untuk menghalangi sebelum menarik Cecilia ke sudut ruangan. Di balik lukisan potret Ratu generasi ketiga, jarinya menekan batu pualam yang tampak biasa—dan dengan suara berderak pelan, sebagian dinding terbuka.

"Pergi duluan," perintah Dyon sambil menyodorkan lentera kecil dari meja. "Aku akan menyusul setelah membuat mereka kehilangan jejak."

Cecilia menggigit bibir bawahnya sampai nyaris berdarah. Delapan tahun lalu, ia tidak punya pilihan. Tapi sekarang... "Tidak," katanya dengan suara yang lebih keras dari yang ia rencanakan. "Kali ini kita pergi bersama."

Dentuman keras di pintu membuat mereka berdua menoleh. Kayu pintu mulai pecah di bagian tengah—seseorang sedang membobolnya dengan kapak.

Dyon tanpa bicara lagi menarik Cecilia masuk ke lorong sempit yang gelap. Pintu rahasia menutup tepat ketika pecahan kayu pertama beterbangan masuk ke ruangan.

---

Udara di lorong rahasia itu pengap dan berdebu, membuat Cecilia harus menahan bersin. Lentera kecil di tangannya hanya menerangi beberapa langkah ke depan—tembok batu yang ditumbuhi lumut dan laba-laba yang bergegas menjauh.

"Kau masih menyimpan belati itu," bisik Dyon tiba-tiba, suaranya beresonansi di lorong sempit. "Hadiah ulang tahunmu yang ketujuh belas."

Cecilia menyentuh hulu belati yang diukir dengan inisialnya. "Aku hampir menusukmu sekali, ingat? Waktu kau mengejutkanku di dapur istana tengah malam."

Tawa kecil Dyon menggema. "Aku masih punya bekas luka di lengan kanan."

Mereka berjalan dalam gelap selama beberapa menit, belokan demi belokan yang sudah tak asing meski bertahun-tahun tak dilewati. Tiba-tiba, Cecilia berhenti. Di dinding kiri, hampir tersembunyi oleh bayangan, ada coretan kecil berbentuk bintang yang mereka buat dengan pisau dulu.

"Kita dekat dengan ruang baca terlarang," katanya sambil menunjuk ke depan dimana lorong bercabang dua.

Dyon mengangguk, tapi wajahnya berkerut. "Ada yang berbeda." Tangannya meraba udara di depan mereka. "Dulu tidak ada angin sekuat ini."

Dan benar—dari arah cabang kanan, hembusan udara dingin yang tidak wajar berhembus, membawa serta aroma aneh: seperti bunga yang sudah busuk dicampur logam.

Cecilia merinding. "Itu arah yang salah. Seharusnya menuju ke..."

Suara gesekan logam di batu memotong ucapannya. Lalu sebuah dentuman—jauh tapi jelas—bergema dari kedalaman lorong.

"Seseorang sudah membuka pintu jebakan di ruang bawah tanah," Dyon menarik Cecilia ke belakangnya secara refleks. "Mereka tahu jalur ini."

Dari kegelapan di depan mereka, sebuah suara mendesing—dan sebelum sempat bereaksi, sebuah pisau kecil menancap di dinding tepat di samping kepala Cecilia.

"Lari!" teriak Dyon, mendorongnya ke cabang kiri yang sempit.

Tapi sudah terlambat.

Figur-figur bertudung hitam muncul dari kegelapan, pedang-pedang pendek mereka berkilat dalam cahaya lentera. Yang paling depan melemparkan sesuatu ke tanah—sebuah bola kecil yang pecah dan mengeluarkan asap ungu.

Cecilia merasakan kepalanya langsung pusing. "Dyon...!" tangannya meraih kosong, karena tubuhnya sudah limbung.

Penglihatannya kabur saat melihat Dyon berkelahi dengan dua penyerang, darah sudah mengalir dari luka di bahunya. Suara terakhir yang ia dengar sebelum kegelapan menyergap adalah teriakan Dyon yang parau:

"Cari sang Ratu! Mereka akan—"

Dan kemudian...

---

Cecilia terbangun dengan kepala berdenyut-denyut. Bau asap ungu masih melekat di tenggorokannya, membuatnya tersedak. Pandangannya perlahan fokus—ruangan sempit dengan dinding batu basah, diterangi obor yang nyaris padam. Tangannya terikat di belakang punggung, tetapi ikatannya longgar.

Dyon terduduk di seberangnya, wajahnya berlumuran darah. "Sudah kubilang... lari," ujarnya dengan suara parau, tapi matanya berbinar lega melihat Cecilia sadar.

Dari balik bayangan, sosok tinggi berjubah merah melangkah maju. "Akhirnya bangun juga," suaranya seperti logam berkarat.

Cecilia mengenali suara itu. "Cassian."

Cassian melemparkan tudungnya, memperlihatkan wajah yang setengah terbakar. "Delapan tahun aku menunggu momen ini." Tangannya mencengkeram dagu Cecilia. "Kau dan si pecundang ini merusak segalanya."

Dyon menggeram, mencoba berdiri, tetapi dua pengawal langsung menendangnya kembali ke lantai.

Cecilia memutar pergelangan tangannya dengan hati-hati. Ikatannya hampir terlepas. "Ratu tahu tentang ini?"

Cassian tertawa. "Ratu? Dia hanya boneka." Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan segel kerajaan—tapi ada retakan di bagian tengah. "Yang Mulia baru akan segera bertahta."

Tiba-tiba, suara terompet perang menggema dari luar. Cassian mengerutkan kening.

Ini kesempatannya. Dengan gerakan cepat, Cecilia melepas ikatan terakhir dan menyambar belatinya. Satu tusukan tepat di betis Cassian.

"Elara!" teriaknya sekuat tenaga.

Denting pedang mengisi ruangan saat pasukan pengawal pribadi Cecilia—dipimpin Elara—menerobos masuk.

Cassian berusaha melarikan diri ke lorong belakang, tapi Dyon yang sudah bersiap melompat, menjatuhkannya dengan tackle keras. "Untuk delapan tahun itu," desis Dyon sebelum meninju wajah Cassian hingga tak sadarkan diri.

---

Tiga hari kemudian, Cecilia berdiri di balkon istana, menyaksikan matahari terbit. Dyon berada di sampingnya, luka di bahunya sudah dibalut.

"Kau yakin Cassian bekerja sendirian?" tanya Dyon.

Cecilia mengedipkan mata. "Tidak. Tapi kita punya waktu untuk menyelidiki."

Di bawah, anak-anak desa sedang bermain di taman baru—tempat yang dulu mereka impikan akan menjadi sekolah.

Dyon memegang tangannya. "Bab baru?"

Cecilia tersenyum. "Bab baru."

Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa