Cerpen: Rintik

Rintik

 

Hujan bukan sekadar tetesan air bagi Galih. Hujan adalah guru yang mengajarkannya tentang kesabaran, ketegaran, dan kejutan yang datang tanpa permisi. Hujan mencintai bumi dengan caranya sendiri—kadang lembut, kadang menghantam.

Baru saja Galih mengangkat jemuran yang basah kuyup oleh hujan tiba-tiba. Ia mendapati tubuhnya sendiri juga basah oleh keringat. Ia duduk di lantai dapur dekat pintu, menatap tungku tempat tadi merebus air—kini terendam genangan, asapnya sudah sirna, hanya sisa bau kayu hangus yang masih menggantung. Dari balik jendela buram, terlihat seekor induk ayam merangkul anak-anaknya di bawah sayapnya. Ah, baru ia sadar, sayap bukan hanya untuk digoreng, tapi juga untuk melindungi.

Galih mencintai hujan, menikmati basahnya—kecuali saat harus menuruti perintah ayahnya.

Hujan begini, seorang duda tua yang kulitnya legam terbakar matahari sejak istrinya meninggal saat melahirkan Galih, berseru dari dalam rumah: "Belikan kopi! Setengah kilo saja!"

Galih menghela napas. Tak bisakah ayahnya memberinya waktu sebentar untuk menikmati rintik di luar?

"Dengar tidak, Galih? Jangan diam saja!" Suara ayahnya menggelegar sampai ke belakang rumah, memaksanya berdiri, meninggalkan ketenangan hujan. Ia menjawab dengan lirih sebelum asap rokok ayahnya yang pekat menyergap hidungnya—mirip hidung ayahnya—pesek dan keras.

"Ambilkan uang di dompetku, belikan juga kue buat nenek!"
"Jangan lupa beli minyak, lampu tinggal sedikit!"

Hari-hari Galih dipenuhi titah ayahnya. Meski kadang turun hujan atau terik menyengat, ia tak pernah berani membantah—hanya bergumam dalam hati. Mungkin karena uang bisa membungkam mulut, atau karena ikatan darah yang membuatnya tunduk pada "rezim" kecil ayahnya.

Di buku The Weight of Silence yang pernah dibacanya, dikatakan ada dua jenis kebebasan: kebebasan untuk menginginkan, dan kebebasan dari keinginan. Yang pertama diagungkan dunia—hak asasi manusia, impian, ambisi. Galih pun pernah berharap ayahnya seorang pengusaha sukses, atau setidaknya seperti selebriti yang bisa memberinya segalanya. Tapi yang didapatnya hanyalah seorang kuli bangunan yang tangannya kasar, badannya bau adukan semen, dan hidupnya hanya kerja, kerja, kerja.

Kebebasan kedua—lepas dari keinginan—justru memberinya kedamaian. Ia berjanji tak akan seperti ayahnya saat punya anak nanti.

Tapi ironi selalu datang terlambat.

Kini, di usia ayahnya dulu, Galih menjadi ayah bagi Ragil, anaknya. Dan seperti mantra kutukan, ia mengulangi kesalahan yang sama: sibuk bekerja, lupa bicara, hanya bisa memberi perintah. Ragil tumbuh menjadi versi muda Galih—asing di rumahnya sendiri.

Galih ingat dulu, saat ayahnya memaksanya pergi merantau dengan bus butut yang penuh bau keringat.

"Kau mau miskin seperti Bapak? Pergi! Sekolah yang tinggi!" teriak ayahnya suatu malam, suaranya bergetar meski tangannya mencengkeram rotan.

"Justru karena Bapak miskin, aku tak mau sekolah!" balas Galih.

Rotan itu mendarat di punggungnya. Esoknya, ia dijejalkan ke bus dengan koper usang. Di perjalanan, ia bersumpah akan melaporkan ayahnya ke polisi. Tapi kini, justru ia paham—tanpa kerasnya ayahnya, tak akan ada Galih yang hidupnya lebih baik.

Sejak Sari, istrinya, meninggal setahun lalu, Ragil semakin menjauh. Galih tak tahu cara bicara padanya. Layar ponsel Ragil lebih menarik daripada wajahnya.

"Aku capek, Yah," kata Ragil suatu hari, lalu pergi tanpa kabar.

Galih terpaku. Persis seperti dulu—hanya beda, ia tak pernah berani bilang itu pada ayahnya.

Sebelum telepon itu, hidupnya sepi. Ragil lebih memilih diam. Sampai suatu malam—

"Yah… tolong antar aku ke rumah sakit." Suara Galih parau.

"Nggak bisa. Sibuk," jawab Ragil singkat. Lalu sambungan terputus.

Detak jantung Galih berdebar kencang. Di luar, hujan mengguyur deras.

Saat segalanya mulai gelap, ia melihat bayangan ayahnya merentangkan tangan. Dan untuk pertama kalinya, Galih meminta maaf—pada ayah yang sudah tiada, dan Ragil yang mungkin tak akan mendengar.

Hujan mengajarkannya satu hal: cinta tak selalu lembut. Kadang, ia datang seperti petir—menyadarkanmu setelah terluka.

Telepon yang terputus itu seperti pisau yang menancap di dada Galih. Ia mencoba menelepon kembali, tetapi Ragil tak mengangkat. Tangannya gemetar saat menekan nomor itu berulang kali, namun yang terdengar hanya nada sambung yang dingin. Hujan di luar semakin deras, seolah menertawakan keputusasaannya.

Galih terpaksa berangkat sendiri ke rumah sakit dengan motor tuanya. Badannya lemas, tapi rasa sakit di dadanya lebih menyiksa. Di tengah jalan, pandangannya mulai kabur. Ia hampir menabrak pembatas jalan saat tiba-tiba sebuah mobil melambat di sampingnya.

"Pak, perlu tumpangan?"

Suara itu familiar. Galih menoleh pelan, dan di balik kaca mobil yang terguyur hujan, ia melihat wajah Ragil.

Ada diam yang berat di antara mereka. Ragil menghela napas, lalu membuka pintu. "Ayo, aku antar."

Di dalam mobil, bau parfum Ragil yang dulu sering dipuji ibunya menyergap hidung Galih. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokan.

"Aku… aku minta maaf," akhirnya Ragil yang memecah kesunyian. "Tadi aku sedang kesal. Tapi bukan berarti…"

Galih memejamkan mata. "Aku juga minta maaf. Selama ini, aku—"

"Sudah, Yah. Jangan bicara dulu. Istirahat saja."

Di ruang gawat darurat, dokter mendiagnosis Galih mengalami serangan jantung ringan. "Stres dan kelelahan berlebihan," kata dokter sambil menulis resep. "Harus lebih banyak istirahat."

Ragil mengangguk pelan. Matanya tak lepas dari ayahnya yang terbaring lemah.

Saat mereka pulang, hujan sudah reda. Jalanan masih basah, dan udara terasa lebih segar.

"Yah… besok aku cuti kerja. Aku mau anterin Yah kontrol lagi," ujar Ragil tiba-tiba.

Galih terkejut. "Tapi pekerjaanmu—"

"Bisa diatur."

Di rumah, Ragil memasak mi instan—satu-satunya makanan yang bisa ia buat. Galih tersenyum melihatnya berusaha membuka bumbu dengan gagap.

"Dulu… Bapak juga nggak bisa masak," bisik Galih. "Tapi demi aku, dipaksain belajar."

Ragil berhenti sejenak. "Aku nggak mau kayak Bapak dulu. Tapi ternyata… aku malah jadi mirip."

Galih menarik napas dalam. "Kita berdua harus belajar. Aku belajar jadi ayah yang lebih baik, kamu… jangan tunggu sampai aku sakit baru mau ngobrol."

Mereka tertawa kecil. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Sari pergi, rumah itu terasa hangat.

Di luar, bulan muncul dari balik awan. Rintik hujan terakhir menetes dari atap, seperti titik akhir di sebuah kalimat yang baru saja mereka tulis ulang bersama.

Dan Galih pun paham: hujan tak hanya mengajarkan tentang derasnya kehidupan, tapi juga tentang kesempatan kedua yang datang setelah badai reda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa