Cerpen : Secangkir Senyum di Sudut Kafe
Di sebuah kafe kecil di pojok jalan tua Kota Lama, seorang wanita bernama Larissa duduk di dekat jendela besar yang memandikan wajahnya dengan cahaya sore. Tangannya menggenggam cangkir kopi hangat, sementara jemarinya yang lain menari pelan di atas halaman buku catatan kecil di atas meja. Ia tampak tenang, namun sorot matanya menyimpan banyak kisah yang belum selesai.
Larissa bukan pelanggan baru di kafe itu. Ia datang hampir setiap sore, selalu memesan kopi hitam tanpa gula, duduk di kursi yang sama, dan kadang menuliskan sesuatu entah apa di buku kecilnya. Para barista sudah hafal pesanan dan senyum ramahnya. Namun hari itu, ada sesuatu yang berbeda—dia duduk sedikit lebih lama, dan lebih sering memandang ke pintu.
Beberapa pengunjung lain datang dan pergi. Seorang pria bersetelan jas sempat menoleh ke arahnya dan tersenyum sopan. Larissa membalas dengan anggukan kecil, lalu kembali menatap kopinya. Hari itu adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Lima tahun lalu, di kafe yang sama, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Arka—seniman muda yang suka melukis diam-diam orang-orang di kafe.
Mereka jatuh cinta lewat obrolan sederhana, lewat tawa kecil saat kopi tumpah dan peluk hangat di hari hujan. Tapi hidup tidak selalu seindah lukisan. Arka harus pergi ke luar negeri untuk mengikuti pameran dan belajar. Mereka berjanji akan bertemu lagi tepat lima tahun kemudian, di tempat yang sama.
Dan hari ini, Larissa datang tepat waktu. Duduk di tempat yang sama. Dengan hati yang berdebar.
Jam di dinding sudah melewati angka empat. Hujan mulai menitik lembut. Larissa tetap diam, menahan harap, menahan kecewa yang perlahan menyelinap.
Namun tiba-tiba, pintu kafe terbuka. Seorang pria dengan mantel panjang dan kanvas tergantung di bahu masuk. Dia berhenti di depan Larissa. Mata mereka bertemu.
“Maaf membuatmu menunggu,” ucap Arka dengan suara yang belum berubah.
Larissa tersenyum, mata berkaca-kaca. “Kamu terlambat sepuluh menit.”
“Masih lebih baik dari lima tahun,” jawabnya sambil duduk.
Cangkir kopi kedua pun tiba, dan di sudut kafe itu, dua hati yang pernah terpisah akhirnya kembali menyatu—ditemani secangkir kopi dan senyuman yang tak pernah berubah.
---
Arka menatap Larissa dengan tatapan yang nyaris tak berkedip. Lima tahun berlalu, tapi senyum perempuan itu—dan cara dia menggenggam cangkir kopi dengan jari telunjuk menyentuh gagangnya—masih sama.
“Aku masih ingat, kamu selalu menulis sambil ngopi. Kamu bilang, ide terbaik datang saat aroma kopi menyapa pikiran,” ucap Arka sambil menyampirkan mantelnya ke sandaran kursi.
Larissa tertawa kecil, “Dan kamu bilang, kamu lebih suka melukis diam-diam orang yang tidak sadar sedang diamati.”
“Termasuk kamu,” jawab Arka cepat, “Lukisan pertamaku yang laku di galeri adalah potret kamu waktu membaca buku sambil tertawa.”
Larissa tersipu. “Kamu masih menyimpannya?”
Arka membuka tas kanvasnya. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah sketsa—lukisan Larissa dari lima tahun silam, duduk di tempat yang sama, cahaya senja menyapu rambutnya.
Larissa memandanginya dengan mata berkaca. “Ini… ini indah sekali. Kamu masih menyimpannya…”
“Aku tidak pernah bisa menjual lukisan ini,” jawab Arka pelan. “Bukan karena tidak laku. Tapi karena aku tahu, aku akan kembali… dan memberikannya padamu, bukan pada dunia.”
Hening menyelimuti mereka, namun itu bukan hening yang kaku. Itu adalah keheningan yang nyaman, seperti jeda di antara dua bait puisi yang saling memahami.
---
“Aku sempat takut kamu tidak akan datang,” bisik Larissa.
“Aku hampir tidak datang,” jawab Arka. “Banyak hal terjadi. Galeri, proyek, bahkan sempat kehilangan motivasi. Tapi setiap kali aku merasa hilang, aku selalu ingat satu tempat yang menenangkan—kafe ini. Dan kamu.”
Larissa menunduk. Matanya kini tak bisa menyembunyikan air yang menggenang.
“Aku juga hampir menyerah,” katanya. “Bukan pada hidup, tapi pada janji. Aku mulai berpikir itu cuma mimpi sore. Tapi entah kenapa, aku tetap datang. Hari ini. Di jam yang sama.”
Arka tersenyum, menggenggam tangan Larissa. “Terima kasih… karena percaya.”
---
Langit mulai menggelap. Lampu-lampu jalan menyala lembut di balik jendela kafe. Para pengunjung satu per satu pulang, tapi Larissa dan Arka tetap di tempatnya, seolah dunia di luar tidak ada.
“Apa kamu masih sendiri?” tanya Larissa, suara lirih.
Arka mengangguk. “Kamu?”
Larissa tersenyum, “Aku tidak pernah bisa jatuh hati lagi setelah sore itu.”
Arka tertawa kecil, “Lima tahun lalu, aku cuma seniman yang nggak punya rencana hidup. Sekarang pun belum banyak berubah.”
“Tapi sekarang kamu datang,” bisik Larissa.
Mereka saling memandang. Lalu tertawa. Tertawa yang lama tertahan.
---
“Aku masih punya waktu satu bulan di sini. Setelah itu, aku akan tinggal di Jakarta,” kata Arka. “Aku ingin membuka studio kecil. Mengajar anak-anak menggambar. Dan mungkin… menulis sedikit.”
Larissa menatapnya dengan penuh harap. “Kamu sudah punya tempat tinggal?”
“Belum,” jawab Arka cepat. “Tapi kalau kamu masih tinggal di apartemen yang dulu…”
Larissa mengangguk sambil tersenyum malu-malu. “Masih.”
Arka menghela napas lega. “Mungkin… kita bisa mulai dari kopi pagi.”
“Dan makan malam sesekali?”
“Dan akhirnya… melukis masa depan bersama.”
Mereka saling menggenggam tangan, tak peduli pada waktu yang terus bergulir.
Kisah mereka mungkin sempat tertunda, tapi cinta, seperti kopi yang diseduh dengan hati—selalu hangat saat disajikan di waktu yang tepat.
---
Sinopsis
Kesimpulan
Komentar
Posting Komentar