Gadis dari Jalan Cinta

Suatu pagi yang suram di kota tua yang sudah penat oleh debu dan cerita-cerita basi, seorang gadis melangkah perlahan di antara lalu-lalang manusia. Jaket wol panjang membungkus tubuhnya, kedua tangan tenggelam di saku—seolah menyembunyikan rahasia yang terlalu besar untuk diucap. Namanya Cici. Wajahnya tenang, matanya tajam, dan setiap langkahnya seakan membawa keputusan yang sudah lama diambil. Orang-orang menoleh saat ia lewat. Bukan karena ia mencolok, tapi karena ada sesuatu darinya yang membuat waktu diam sebentar, menahan napas.

"Itu dia lagi," gumam seorang pria paruh baya pada temannya sambil menyuap roti keras. "Jalan kayak detektif, tapi mukanya kayak lukisan di galeri mahal."

Cici tentu mendengar bisikan itu. Tapi, seperti biasanya, ia membiarkan saja. Ia sudah akrab dengan tatapan ingin tahu yang tak pernah cukup berani bertanya. Toh, siapa yang punya waktu untuk menjelaskan kenapa ia tiap pagi berjalan menyusuri Jalan Cinta—jalanan sepi yang masih menyimpan bau roti gandum dan suara mesin ketik tua?

Yang tak mereka tahu, Cici sedang menjalankan sebuah misi.

Bukan misi menyelamatkan dunia. Itu terlalu dramatis. Misinya jauh lebih rumit: mencari kucing tetangga yang hilang.

"Kucing?" mungkin kamu tertawa. Tapi di kota ini, kucing bisa lebih misterius dari mafia. Apalagi kalau kucing itu milik Bu Marta—wanita tua yang bisa menebak cuaca hanya dari rasa kopi paginya. Buat Bu Marta, kehilangan kucing adalah tanda semesta sedang miring.

Jadi, tiap pagi, Cici menyusuri jalanan kota. Dari toko buku tua hingga gang sempit beraroma sambal tumis dan mimpi yang sudah basi. Ia pernah dikira petugas sensus, pencari jodoh, bahkan agen rahasia—yang terakhir membuatnya dapat kopi gratis di kedai kopi dengan kursi yang selalu goyang satu.

Sampai pada suatu pagi, saat kabut turun lebih rendah dari biasanya dan burung-burung mendadak bungkam, Cici menemukan sesuatu di balik tong sampah dekat gedung teater tua. Sepasang mata mengintip. Lalu... "Meeeooong…"

Kucing itu. Dengan bulu belepotan saus tomat dan ekspresi seperti habis ikut lomba lari tanpa kaki belakang.

"Kalau kamu bisa ngomong, cerita kamu pasti bisa dijual ke Netflix," bisik Cici, membungkus si kucing dengan jaket dalamnya.

Tapi cerita ini belum berakhir.

Saat ia berbalik, seorang pria berdiri di sana. Rambut panjang, wajahnya seperti tokoh yang keluar dari mimpi orang yang kebanyakan nonton film perang, dan senyum yang bisa bikin pintu terkunci sendiri.

"Kau baru saja menyelamatkan salah satu informan kami," katanya.

Cici menyipitkan mata. "Informan yang makan ikan asin dan tidur di atas kardus?"

Pria itu tertawa, ringan seperti lagu lama yang baru diputar lagi. "Kau tahu, kota ini lebih aneh dari yang orang kira. Dan kau, Cici... kelihatannya bukan orang biasa."

Di sanalah titik balik dimulai.

Tentu saja, Cici mengembalikan kucing itu ke Bu Marta. Tapi sejak hari itu, ia mulai sadar bahwa langkah-langkah kakinya bukan cuma tentang trotoar dan debu. Ia sedang diajak—atau dijebak—oleh semesta. Mungkin diberi peran dalam kisah yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Sejak itu, tiap pagi ia masih berjalan di Jalan Cinta. Tapi kini, ia bukan hanya gadis misterius yang membuat orang menoleh. Ia adalah teka-teki yang terus bergerak. Cerita yang belum selesai ditulis.

---

Hari-hari berikutnya semakin aneh. Cici, si gadis pendiam penyuka teh melati dan novel detektif lusuh, mulai menerima kiriman amplop cokelat setiap pagi. Tak ada nama pengirim. Tak ada prangko. Hanya satu kata tertulis dengan rapi: "Ikuti jejaknya."

Awalnya ia pikir itu salah alamat. Mungkin dari tetangga sebelah—yang pernah salah kirim undangan ulang tahun untuk hamster bernama Rambo. Tapi saat amplop keempat datang, dan yang kelima berisi foto dirinya yang diambil dari atap gedung, lengkap dengan tanggal dan jam, ia tahu—ini bukan main-main.

"Kalau ini prank, mereka niat banget," gumamnya sambil memutar ulang semua episode Sherlock Holmes di kepalanya.

Malam itu, ia nekat mengikuti jejak dari surat terakhir. Di ujung gang yang biasanya dihindari orang waras, ia menemukan tanda: jejak kaki. Kecil. Tapi terlalu rapi. Seperti dicetak sepatu yang lulus etiket.

Jejak itu membawanya ke toko antik yang seingatnya sudah tutup tujuh tahun lalu, meski masih memajang tulisan "Segera Buka Kembali".

Saat ia masuk, lonceng pintu berbunyi nyaring. Seperti memanggil masa lalu.

"Selamat datang... akhirnya," sapa penjaga toko—pria tua dengan rambut seputih kapur dan mata setengah mengantuk.

"Saya... cari seseorang," ucap Cici. Setengah yakin, setengah takut menemukan dirinya sendiri.

"Bukan seseorang," jawab si kakek. "Sesuatu."

Ia mengambil kotak kecil dari bawah meja. Berdebu. Terkunci. Di atasnya tertulis: Cici – Jangan dibuka kecuali siap kehilangan logika.

Cici menatap kotak itu. Ia bisa menolak. Tapi kamu tahu kan, orang seperti Cici tak pernah benar-benar bisa menolak rasa ingin tahu?

Ia membukanya.

Bukan batu ajaib. Bukan surat warisan. Tapi sebundel tiket kereta api—menuju tempat yang bahkan tak ada di peta. Nama stasiunnya: Peron 0.5 – Menuju Jawaban.

---

Dua hari kemudian, Cici berdiri di peron yang seharusnya tak ada. Seorang masinis tua, dengan topi kebesaran, menyapanya.

"Kereta ke jawaban hanya berangkat jika penumpangnya tak lagi ingin tahu," ucapnya, seperti kutipan bijak di Instagram yang ditemani foto kopi senja.

Cici tertawa kecil. "Kalau begitu, saya duduk dulu. Tapi jangan berhenti bikin saya penasaran."

Kereta pun bergerak. Perlahan. Seperti kisah yang baru mulai ditulis.

Kereta yang ditumpangi Cici tidak berbunyi sebagaimana mestinya. Tidak ada dentang atau derak besi yang saling menggigit. Roda-roda itu justru seolah berbisik, pelan, nyaris tak terdengar. Kalau kamu betul-betul menyimak, mungkin akan menangkap gumaman samar: "Rahasia tidak suka diburu, tapi senang ditemukan."

Gerbongnya biasa saja. Tidak mewah, tapi bersih. Seperti ruang tamu milik nenek yang gemar menyetrika taplak meja bermotif bunga kecil. Cici memilih duduk di dekat jendela—meski ia tak tahu apa yang bisa dilihat di luar sana. Kabut. Tebal. Seperti tumpukan kapas yang baru saja patah hati.

Tak lama, seorang pria muda masuk ke dalam gerbong. Rambutnya gondrong, tersisir rapi. Wajahnya seperti aktor teater yang gagal audisi tapi tetap percaya panggung akan mencarinya suatu hari nanti. Ia tersenyum kepada Cici.

"Pertama kali?" tanyanya.

"Naik kereta yang tidak tercatat di Departemen Perhubungan? Ya, pertama kali," jawab Cici dengan alis terangkat.

Pria itu terkekeh. "Saya Damar. Penumpang tetap."

"Penumpang tetap dari kereta yang tak punya jadwal?"

Damar mengangguk, sambil merapatkan jaket. "Ironis, ya? Tapi bukankah hidup juga begitu? Kita naik, kita jalan, tapi tak pernah tahu kapan dan di mana harus turun."

Cici nyaris menjawab dengan kutipan bijak dari buku favoritnya, tapi saat itu suara pengeras kereta terdengar, datar dan entah kenapa agak berdebu:

"Stasiun berikutnya: Ingatan yang Terhapus. Penumpang harap memilih dengan jujur—apa yang ingin diingat, dan apa yang siap dilupakan."

Mereka berpandangan. "Ini... semacam permainan?" gumam Cici.

Damar menarik napas. "Bukan. Ini pilihan."

---

Kereta berhenti. Peron itu sepi. Sunyi seperti perpustakaan yang kehilangan koleksi sastra. Di tengahnya, hanya ada meja kecil, dua lembar formulir, dan sebuah pena—dari bulu burung, tampaknya dari merpati lulusan universitas.

Cici membaca instruksi yang tertulis di sana:

"Tuliskan satu kenangan yang paling ingin kau simpan, dan satu yang paling ingin kau buang. Tapi hati-hati—yang kau simpan bisa tumbuh membesar, dan yang kau buang bisa kembali mencakar."

Ia terdiam cukup lama. Haruskah ia membuang kenangan tentang ayahnya yang pergi tanpa pamit? Atau menyimpan momen di taman kota saat ia pertama kali berhasil membuat puisi dari nama-nama bunga?

Akhirnya ia menulis:

Simpan: Ketika aku pertama kali membuat orang lain tertawa.

Buang: Rasa takut saat bicara jujur.

Damar melirik, lalu tertawa pelan. "Lucu, ya. Kita semua selalu ingin buang ketakutan, padahal mereka itu paling bandel kembali."

Peron itu mulai memudar. Bukan karena hujan atau kabut, tapi karena ia memang tak suka diingat terlalu lama. Mereka kembali ke kereta, dan suara roda kini berbeda—bukan lagi bisikan, melainkan tawa kecil. Seolah kereta ikut senang dengan keputusan Cici.

---

Beberapa stasiun kemudian, mereka sampai di tempat yang tak biasa. Tidak ada papan nama. Tak ada kabut. Hanya jalan setapak yang ditaburi daun gugur, dan di ujung jalan... seorang perempuan tua duduk di balik mesin tik.

"Siapa dia?" bisik Cici.

Damar hanya mengangkat bahu. "Penulis cerita. Kadang dia tahu akhirnya, kadang dia hanya mengetik sambil berharap akhir itu datang sendiri."

Cici melangkah mendekat. Pelan. Perempuan tua itu mendongak dan tersenyum.

"Kau terlambat tiga babak. Tapi tak apa. Prologmu sudah cukup kuat."

Cici duduk di bangku seberang. "Saya hanya ingin tahu... kenapa saya?"

Sang penulis tak langsung menjawab. Ia menekan tombol mesin tik, dan setelah beberapa detik, menyodorkan selembar kertas pada Cici:

"Karena dunia ini butuh pembaca yang tak takut jadi tokoh utama."

Dan untuk pertama kalinya, Cici paham. Bahwa mungkin semua ini bukan tentang menemukan jawaban. Tapi tentang keberanian untuk terus bertanya.

---

Kereta berikutnya akan datang tanpa jadwal. Tapi jangan khawatir.

Cici sudah ada di dalam.

Dan ia menyisakan satu bangku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa