Cerpen: Pucuk Teh Terakhir

Pucuk Teh Terakhir

Embun pagi masih menggelayut di ujung daun-daun teh, berkilauan saat sinar matahari perlahan menembus kabut. Udara di lereng perbukitan ini selalu membawa kesejukan yang menusuk kulit, tetapi bagi Ratri, dingin seperti ini sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma daun teh basah meresap ke dalam dirinya sebelum mulai bekerja.

Kebaya biru yang dikenakannya sedikit basah oleh embun, tetapi ia tidak menghiraukannya. Jemarinya lincah memetik pucuk teh dengan irama yang teratur, memasukkannya ke dalam keranjang bambu di punggungnya. Suara-suara pemetik teh lainnya terdengar di kejauhan, tawa ringan bercampur dengan gesekan ranting dan dedaunan.

Namun, pagi ini, pikirannya tidak sepenuhnya ada di kebun teh.

Ia mengingat seorang pemuda dari kota yang datang ke sini beberapa bulan lalu.

Bayu.

*****

Bayu pertama kali muncul di kebun teh dengan kamera tergantung di lehernya dan raut wajah penuh keingintahuan. “Aku jurnalis,“ katanya saat Ratri menatapnya curiga. “Sedang menulis tentang teh dan orang-orang yang hidup dari teh.“

Ratri hanya mengangguk singkat, lalu kembali memetik teh.

Tetapi Bayu tidak menyerah. Ia mengikuti langkah Ratri, bertanya ini dan itu. Tentang cara memetik, tentang tanah, tentang bagaimana teh diproses setelah dipetik. Awalnya, Ratri kesal. Ia tidak suka orang luar datang dan bertanya seolah-olah mereka bisa memahami seluruh hidupnya dalam satu hari.

Namun, Bayu berbeda.

Ia tidak hanya bertanya, tetapi juga mendengar.

Saat Ratri bercerita tentang ibunya yang dulu juga pemetik teh sebelum sakit-sakitan, Bayu tidak sekadar mengangguk. Ia benar-benar mendengarkan, matanya memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibir Ratri, seolah-olah kata-kata itu sangat berharga.

“Sebenarnya, kenapa kamu memilih menulis tentang teh?“ tanya Ratri suatu sore ketika mereka berteduh di gubuk kecil di tengah kebun.

Bayu tersenyum, menatap cangkir teh di tangannya. “Karena teh itu seperti hidup,“ katanya. “Kadang pahit, tapi kalau diseduh dengan sabar, bisa memberi kehangatan.“

Ratri tertawa kecil. “Kamu bicara seperti penyair.“

“Mungkin karena aku mulai melihat teh lebih dari sekadar minuman.“

Sejak saat itu, Bayu sering berada di kebun teh. Ia duduk di antara para pemetik teh, mendengar cerita mereka, bahkan mencoba memetik teh sendiri meskipun caranya masih kaku.

Dan tanpa sadar, Ratri mulai menunggu kehadiran Bayu setiap pagi.

*****

Tapi, seperti semua yang datang dari kota, Bayu akhirnya pergi.

“Aku harus kembali ke Jakarta,“ katanya suatu sore, suaranya terdengar berat.

Ratri tidak menjawab. Ia hanya terus menatap kebun teh di hadapannya, mencoba menyembunyikan sesuatu yang mulai menggenang di matanya.

“Aku akan kembali,“ lanjut Bayu. “Mungkin bukan besok, bukan bulan depan. Tapi aku akan kembali.“

Ratri tetap diam.

Sebelum pergi, Bayu menyerahkan sebuah buku catatan kecil kepadanya.

“Untuk Ratri, yang mengajarkan bahwa teh bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang perasaan.“

Dan begitu saja, Bayu menghilang.

*****

Ratri menutup matanya, membiarkan angin pagi menyapu wajahnya. Sudah tiga bulan sejak Bayu pergi, dan kebun teh masih sama. Pagi tetap dingin, daun teh tetap hijau, dan embun tetap berkilauan di bawah cahaya matahari.

Tetapi bagi Ratri, ada sesuatu yang berbeda.

Ia membuka buku catatan yang ditinggalkan Bayu, membaca kata-kata yang pernah ditulis pemuda itu. Tentang kebun teh, tentang orang-orang di desa, tentang dirinya.

Ia tidak tahu apakah Bayu benar-benar akan kembali seperti yang ia janjikan.

Tetapi, seperti menyeduh teh yang membutuhkan kesabaran, Ratri memilih untuk menunggu.

Karena mungkin, seperti teh, beberapa hal memang harus melewati waktu agar terasa lebih manis.

*****

Ratri menekan buku catatan itu ke dadanya, merasakan debu-debu halus dari kertas yang mulai menguning. Setiap halamannya berisi potongan-potongan kenangan—gambar sketsa wajahnya yang sedang asyik memetik teh, deskripsi tentang kabut pagi yang menyelimuti bukit, bahkan puisi pendek tentang sejumput daun teh yang terjebak di rambutnya suatu sore.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mengganggu lamunannya. Ratri menoleh, jantungnya berdegup kencang tanpa alasan yang jelas. Tapi yang muncul hanyalah Pak Jono, pemilik kebun, dengan topi jeraminya yang lapuk.

“Tehnya sudah siap diangkut, Nduk,“ katanya sambil mengusap keringat di pelipis.

Ratri mengangguk, segera menyembunyikan buku itu di balik lipatan kebayanya. “Aku lanjutkan sebentar lagi, Pak.“

Pak Jono memandangnya sekilas, lalu tersenyum kecil. “Masih menunggu si anak kota itu?“

Ratri mengerutkan kening, tapi tidak menyangkal.

“Orang-orang kota punya dunianya sendiri, Ratri. Jangan sampai kau terluka.“

Tapi Ratri sudah memutuskan. Ia tidak menunggu dengan putus asa. Ia menunggu seperti daun teh menunggu air panas—percaya bahwa pada waktunya, segala sesuatu akan menemukan rasanya sendiri.

*****

Beberapa minggu kemudian, sebuah surat tiba di desa. Amplop putih itu dibawa oleh tukang pos yang langganan melewati lereng bukit. Ratri menerimanya dengan tangan gemetar.

“Ratri,
Aku tidak bisa kembali sekarang. Tapi aku tidak melupakan kebun tehmu, atau janjiku. Aku sedang mengerjakan sesuatu—sesuatu yang mungkin bisa membuat suara kalian didengar lebih banyak orang. Maaf jika ini terdengar samar. Aku harap kau masih menyimpan buku itu.

Salam hangat,
Bayu“

Ratri membaca surat itu berulang kali, lalu melipatnya rapat. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan Bayu, tapi ia percaya pada kata-kata yang pernah diucapkannya: “Beberapa hal butuh waktu.“

Hari-hari berlalu seperti biasa. Ratri tetap memetik teh, tapi sekarang ia kadang tersenyum saat menemukan pucuk yang paling segar—seolah suatu hari nanti, ia bisa bercerita pada Bayu tentang pucuk itu.

*****

Musim berganti. Kabut pagi mulai jarang datang, dan udara terasa lebih terik. Suatu siang, ketika Ratri sedang beristirahat di gubuk kecil, terdengar suara mesin mendekat. Sebuah mobil jeep berhenti di pinggir jalan setapak, dan seorang lelaki melompat keluar.

Ratri berdiri, jantungnya berhenti sejenak.

Bayu.

Tapi ia tidak sendirian. Ada beberapa orang lain bersamanya, membawa peralatan yang tidak Ratri kenal.

“Ratri!“

Bayu menyapanya, wajahnya bersinar seperti matahari yang menembus kabut.

“Aku kembali. Dan kali ini, aku membawa cerita kita ke dunia.“

Ratri terdiam. Baru kemudian ia mengerti—Bayu telah membuat dokumenter tentang kehidupan pemetik teh, tentang desanya, tentang dirinya.

Dan di antara semua kegembiraan itu, Ratri hanya bisa memandang Bayu dan berkata pelan,

“Jadi, kau benar-benar menyeduh janjimu dengan sabar.“

Bayu tertawa, dan kali ini, Ratri tidak menahan senyumnya.

Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa