Dua Orang di Ujung Gang
Gang sempit itu sudah lama tak mendengar suara selain langkah kaki ayam atau nyanyian ibu-ibu yang menjemur cucian. Matahari pagi menembus sela-sela atap genteng, menciptakan pola cahaya seperti puzzle yang belum lengkap. Tapi hari itu, gang tersebut menjadi saksi kejadian langka—dua pria dewasa, berdiri kikuk di tengah jalan, saling mengulurkan tangan, seperti mau berjabat tapi ragu-ragu, atau sedang transaksi sangat rahasia... padahal yang mereka pegang hanyalah... sebilah sendok.
"Jadi... ini sendoknya?" tanya pria dengan jaket biru lusuh, rambut disisir ke belakang dengan air keran. Ia bernama Tarjo. Seorang tukang servis radio yang lebih sering memperbaiki nasib sendiri daripada barang pelanggan.
"Bukan sembarang sendok, Pak Tarjo. Ini... sendok warisan. Dari nenek saya. Katanya, siapa pun yang memakainya untuk makan bubur, tidak akan pernah kehabisan topping kacang kedelai goreng," jawab pria satunya, sedikit lebih muda, mengenakan jas cokelat dan celana krem. Namanya Damar. Ia guru sejarah paruh waktu, dan kolektor barang-barang aneh sepenuh waktu.
Tarjo melirik sendok itu, matanya menyipit seperti sedang mengamati teka-teki Sphinx.
"Bubur kacang kedelai goreng? Itu nama makanan atau mantra pengusir tikus?"
Damar tertawa renyah, lalu cepat-cepat menutup mulut ketika seorang nenek membuka jendela lantai dua dan menatap mereka tajam seperti CCTV hidup.
"Psst... pelan. Nenek itu bisa lempar sandal dari jarak 10 meter dan masih kena dahi," bisik Damar.
Tarjo angkat alis, menatap sendok perak kecil yang memantulkan cahaya pagi seperti sedang memberikan isyarat Morse.
"Kalau warisan, kenapa kamu tukar?"
Damar menghela napas. "Soalnya saya butuh senter kuno yang Bapak punya. Yang lampunya bisa nyala walau nggak ada baterai. Katanya, bisa dipakai buat ngelihat masa lalu."
Tarjo langsung menegakkan punggung, sedikit bangga. "Itu bukan senter. Itu peninggalan kakek buyut saya yang dulu katanya penjelajah waktu. Tapi dia nyasar terus. Terakhir katanya mau ke tahun 1945, eh, malah muncul di konser dangdut 2003."
Keduanya terdiam sebentar. Saling menimbang keanehan masing-masing.
Transaksi ini bukan soal harga. Bukan juga soal nilai logis. Ini soal rasa penasaran dua orang dewasa yang hidup di kota kecil yang bosan.
"Deal?" tanya Damar.
"Deal," jawab Tarjo, sambil menyerahkan senter ajaibnya.
Seketika, terdengar suara jendela terbanting keras. Nenek di lantai dua akhirnya menyerah melihat dua orang aneh tukar sendok dan senter di pagi buta.
Damar menggenggam senter itu penuh harapan. "Kalau saya putar ke kiri, ini akan memperlihatkan masa lalu?"
Tarjo mengangguk, "Kalau putar ke kanan, cuma nyala biasa. Tapi kalau ke kiri... ya, siap-siap lihat hal-hal yang nggak mau kamu ingat."
"Seperti waktu saya jatuh dari panggung saat pidato kelas 6?"
"Lebih parah."
Damar tersenyum canggung. Tarjo juga. Keduanya menyimpan benda baru mereka seperti piala.
"Gimana kalau kita tes bareng?"
---
Dan itulah awal dari petualangan mereka.
Yang seharusnya hanya tukar-menukar barang aneh, berubah menjadi kisah yang akan menuntun mereka ke gang-gang lebih sempit, pintu-pintu lebih tua, dan masa lalu yang lebih... menggelikan daripada menyakitkan.
Tapi tentu saja, mereka belum tahu itu.
Yang mereka tahu saat ini, hanyalah bahwa sendok itu sangat berkilau, dan senter itu... nyala tanpa baterai.
Dan di gang itu, dua pria berdiri lama tanpa bicara, cuma menatap benda masing-masing, sampai ayam lewat sambil berkokok tidak pada tempatnya.
---
Suasana di rumah Damar pagi itu begitu sunyi hingga bunyi detik jam dinding terdengar seperti langkah sepatu di aula kosong. Di ruang tamu yang berisi rak penuh buku sejarah dan satu pot kaktus yang sudah mati namun masih diberi nama "Benito", Damar duduk bersila di lantai dengan senter ajaib di tangannya.
Di sebelahnya, Tarjo duduk bersandar pada kursi rotan yang sudah berderit sejak Orde Baru. Keduanya terdiam, menatap senter seolah itu remote TV universal yang bisa ganti saluran hidup mereka.
"Apa kamu yakin ini bakal memperlihatkan masa lalu?" tanya Damar dengan nada setengah penasaran, setengah takut melihat dirinya saat masih pakai behel dan kacamata tebal.
Tarjo mengangguk. "Saya nggak janji kamu bakal suka. Tapi kamu pasti bakal... ngerti."
Sebuah kalimat yang terdengar bijak sampai kamu sadar itu diucapkan oleh orang yang pernah menjual radio bekas untuk beli kebab isi mie instan.
Damar menarik napas dalam-dalam, lalu memutar kepala senter ke arah kiri, seperti instruksi Tarjo.
Klik.
Gelap.
Kemudian...
Cahaya itu menyorot ke dinding, tapi yang terlihat bukanlah bayangan biasa. Bukan bayangan mereka. Tapi adegan.
Adegan tahun 2006.
Seorang bocah kecil berlari di halaman sekolah, membawa selembar kertas gambar dengan bangga. Di belakangnya, terlihat Damar kecil—dengan baju seragam SD kebesaran dan ekspresi panik—mengejar bocah itu.
Tarjo mendekat. "Eh, itu kamu, ya?"
Damar mengangguk pelan, matanya terbelalak. "Itu... saat aku salah kirim surat cinta. Aku tulis buat Sari, tapi malah dikasih ke Anton. Lalu Anton bacain keras-keras di depan kelas... dan gurunya ikutan nangis karena mengira itu puisi pengakuan perasaan murid teladan."
Tarjo langsung tergelak. "HA! Jadi kamu adalah legenda itu?! Dulu waktu saya masih teknisi radio keliling, saya sering dengar kisah itu. Nggak nyangka pelakunya duduk di sebelah saya!"
Damar hanya bisa menutupi wajah dengan tangan, malu.
"Sekarang gantian!" seru Damar, lalu menyodorkan senter pada Tarjo.
---
Klik.
Cahaya menyala lagi. Kali ini, bayangan di dinding menampilkan seorang remaja berjaket jeans sedang berdiri di panggung kecil, memegang mikrofon dengan gemetar.
"Lho, ini... kamu waktu ikut lomba stand-up comedy, ya?" tanya Damar.
Tarjo langsung pucat. "Aduh, jangan yang itu…"
Suara dari masa lalu menggema di dinding:
"Kenapa ayam nyebrang jalan? Karena di ujung sana ada promo nasi padang dua ribu perak! HAHAHA!"
Tak ada yang tertawa. Bahkan jangkrik pun tampak malas berdiri dari kursi mereka.
"Dan setelah itu... saya jatuh dari panggung karena kabel nyangkut di kaki saya," desah Tarjo, tepat saat adegan itu muncul. Tarjo remaja terguling seperti singkong rebus dilempar kucing.
Damar sudah tak kuat menahan tawa. Ia terguling di lantai, memegangi perutnya.
"Ini luar biasa!" seru Damar. "Kita bisa melihat hidup kita dari sudut pandang yang... absurd!"
Tarjo mencoba membela diri. "Eh, dari pada kamu, surat cinta buat cowok!"
"Eh, itu kecelakaan teknis!"
---
Mereka mulai menelusuri masa lalu masing-masing. Momen-momen memalukan, aneh, dan kadang menyentuh. Seperti saat Damar tanpa sengaja memotong rambut ibunya pakai gunting kertas karena mengira rambutnya adalah wig boneka. Atau saat Tarjo mencoba mengirim surat lamaran kerja, tapi malah kirim resep sambal buatan ibunya.
Waktu berjalan cepat. Hari sudah menjelang malam. Senter mulai redup.
"Kita harus isi ulang?" tanya Damar.
Tarjo mengangkat bahu. "Nggak tahu. Mungkin harus... dikenang. Supaya baterainya penuh lagi?"
Mereka terdiam.
Damar menatap sendok ajaib yang kini tergeletak di meja. "Kalau sendok ini bisa membawa topping kedelai goreng tak terbatas, mungkin bisa bantu kita makan malam?"
Tarjo menatap sendok itu dengan serius. "Coba saja. Tapi jangan harap bisa bantu gorengin telur."
Dan mereka pun membuat semangkuk bubur. Tarjo memegang sendok warisan, lalu mengaduk perlahan.
Seketika, dari permukaan bubur, muncullah kacang kedelai goreng... dari mana saja. Muncul, muncul, dan terus muncul, sampai semangkuk itu penuh seperti pasar kaget.
"Ini... ajaib beneran," gumam Damar.
"Cuma satu masalah," sahut Tarjo.
"Apa?"
"Saya alergi kacang kedelai."
---
Dan begitulah.
Hari itu, mereka belajar bahwa masa lalu bisa jadi lucu kalau dilihat dari jauh. Bahwa memori memalukan bisa jadi bahan ketawa, bukan cuma luka.
Dan bahwa sendok ajaib tak bisa menyelamatkanmu dari alergi.
Sementara itu, di balik lemari tua rumah Damar, senter itu berkedip satu kali. Seolah memberi peringatan:
Petualangan ini baru dimulai.
---
Minggu pagi yang biasanya dihabiskan Damar dengan menyiram tanaman plastik dan membaca ulang buku sejarah Perang Dunia II untuk kelima kalinya, kini berubah menjadi misi berskala nasional—atau setidaknya, berskala gang sempit tempat mereka tinggal.
Senter ajaib mereka sudah mulai bertingkah. Semalam, benda itu menyala sendiri dan memproyeksikan bayangan yang bukan kenangan mereka. Bukan Tarjo. Bukan Damar. Tapi sosok seorang pria tua mengenakan jas panjang dan topi fedora, berjalan menyusuri gang yang... sangat mirip gang tempat mereka tinggal.
"Pak, ini sudah mirip film dokumenter yang gak diundang," ujar Damar dengan suara setengah berbisik, setengah gemetar.
Tarjo mengangguk, lalu membuka catatan lamanya yang penuh coretan seperti tugas kuliah mahasiswa tingkat akhir yang nyontek dari dua sumber berbeda tapi tetap salah.
"Ini... ini kayaknya berhubungan sama legenda gang Tembok Tiga," ujar Tarjo penuh gaya, seolah ia adalah arkeolog keliling dari NatGeo.
"Gang apa?"
"Gang Tembok Tiga. Konon katanya dulu di gang ini pernah tinggal seorang penemu. Eksentrik. Gila. Tapi jenius. Dia menciptakan alat yang bisa melihat ke masa lalu, dan juga alat yang bisa menahan kenangan... agar tidak hilang."
"Jadi... senter dan sendok ini... ciptaan dia?"
Tarjo mengangguk penuh gaya. "Iya, dan namanya bukan sembarangan. Namanya... Pak Gito."
Damar menyipit. "Itu nama bapak pemilik toko paku dekat gang!"
"Bukan, beda Gito. Ini Gito yang ini hilang secara misterius."
---
Dengan modal keyakinan setipis kulit lumpia dan sendok ajaib yang kini mereka selipkan di saku belakang, mereka menelusuri gang demi gang, berbekal senter yang hanya bisa menyala saat kenangan muncul.
Saat mereka sampai di gang buntu yang disebut "Tembok Tiga" oleh penduduk lokal, suasana berubah. Udara jadi dingin. Sepi. Bahkan lalat pun tampak takut terbang.
Senter menyala sendiri.
Muncul proyeksi lagi—bukan bayangan seperti sebelumnya, tapi seperti hologram masa lalu. Terlihat Pak Gito muda, dengan rambut acak-acakan dan mata semangat seperti mahasiswa baru dapat beasiswa.
Ia bicara sendiri, kepada buku catatan:
"Hari ini aku berhasil membuat sendok yang bisa mengingat rasa makanan yang paling dirindukan seseorang. Aku menyebutnya... Sendok Sentimentalia."
Damar dan Tarjo saling pandang.
"Pantas saja pas aku pakai sendok itu, langsung muncul rasa bubur kacang buatan nenekku... yang sudah almarhum 10 tahun lalu," gumam Damar.
Lalu proyeksi berlanjut.
"Dan senter ini... aku beri nama Lumen Nostalgius. Siapa pun yang menyalakannya akan melihat kenangan yang pernah ia lupakan. Tapi jika digunakan terlalu sering... senter ini akan memutar kenangan siapa pun di sekitarnya."
Tarjo langsung pucat. "Berarti kita... mungkin sudah lihat kenangan orang lain juga?"
Damar tiba-tiba menegang. Ia teringat satu proyeksi yang semalam membuatnya terjaga semalaman: seorang perempuan muda, duduk di sebuah balkon, menulis surat yang tak pernah dikirim. Surat untuk seseorang bernama... Damar.
"Aku... kenal dia," gumamnya.
"Siapa?"
"Sinta. Dulu dia teman SMA-ku. Aku suka dia. Tapi aku terlalu pengecut buat bilang."
Tarjo menepuk pundaknya. "Jangan bilang sendok ini juga tahu siapa cinta pertamamu?"
"Kayaknya begitu."
Tarjo melirik sendok itu seolah ingin melemparnya ke got, lalu batal karena teringat ini satu-satunya alat makan yang mereka punya sejak seminggu lalu.
"Lalu... kita harus gimana sekarang?" tanya Tarjo.
Proyeksi terakhir dari Pak Gito muncul.
"Kalau kau menemukan alat-alatku, jangan jadikan itu sekadar tontonan nostalgia. Gunakan untuk berdamai. Berdamai dengan masa lalu, agar masa depanmu tidak diisi oleh penyesalan."
Senter padam.
Sendok dingin.
Damar berdiri. "Aku harus cari Sinta."
Tarjo mengangkat alis. "Sekarang? Serius? Pakai sendok itu?"
"Enggak, ya enggak gitu juga. Aku mau cari tahu dia tinggal di mana. Aku mau... minta maaf. Karena pernah janji bantu dia bikin karya ilmiah, tapi malah kabur ikut lomba panjat pinang."
Tarjo tertawa pelan. "Aku pikir kamu bakal bilang ‘karena aku mencintaimu.’"
"Aku bukan tokoh drama Korea."
Keduanya tertawa. Tapi di mata Damar, ada cahaya baru. Bukan dari senter, tapi dari keinginan untuk menyelesaikan sesuatu yang dulu ia biarkan menggantung.
---
Dua minggu kemudian, Damar berdiri di depan sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Tangan kanannya membawa bungkusan bubur. Di dalamnya, sendok sentimentalia.
Ia mengetuk pintu.
Pintu dibuka. Sinta berdiri di sana, masih seperti yang ia ingat—tenang, cerdas, dan tampak sedikit bingung.
"Damar?"
"Hai... ini mungkin terdengar aneh, tapi aku bawa bubur. Dan sendok yang bisa menampilkan kenangan. Mau coba?"
Sinta tertawa kecil. "Kamu tetap aneh, ya."
"Tapi kali ini... aku datang sesuai janji."
---
Sementara itu, di rumah Tarjo...
Ia membuka bengkel radionya, menaruh senter ajaib di etalase. Di bawahnya, ditulis:
"Senter Penerang Masa Lalu – Gratis Dicoba, Tidak Dijual, Hati-Hati Tersentuh."
Dan tak butuh waktu lama, seorang anak kecil datang membawa radio rusak... dan segunung rasa penasaran.
Tarjo tersenyum. "Mau dengar kisah dari senter ini, Nak?"
Anak itu mengangguk semangat.
Dan begitulah, cerita terus berjalan.
Masa lalu mungkin tidak bisa diubah.
Tapi bisa ditertawakan.
Dan dari sana, masa depan pun terasa sedikit lebih ringan.
Komentar
Posting Komentar