Cerpen : Ladang Terakhir Pak Raka

Ladang Terakhir Pak Raka

Langit sore itu membentang biru keemasan di atas hamparan ladang yang luas. Angin berhembus lembut, mengayun-ayun bulir padi yang menguning, nyaris panen. Di tengah ladang itu berdiri seorang pria dengan wajah keras dan sorot mata penuh perhitungan. Namanya Raka Suryana. Usianya 48 tahun, dan ini adalah musim tanam terakhirnya.

Raka bukan petani biasa. Ia dikenal sebagai pria yang memegang teguh kata-kata. Sejak istrinya meninggal lima tahun lalu, ia hidup sendirian di rumah panggung sederhana di ujung desa. Anaknya, Ardi, merantau ke kota, membawa ijazah teknik pertanian yang Raka perjuangkan dengan cucuran keringat dan hutang.

Namun hari ini berbeda. Raka berdiri lebih lama dari biasanya di pematang sawah. Seolah-olah dia tengah berbicara dengan ladang itu, ladang yang telah menjadi saksi hidupnya sejak remaja.

“Ini musim terakhir, Nduk,” gumamnya lirih. “Bapak mau menyerahkannya pada yang muda. Tapi nggak akan sembarang orang.”

Angin menjawab dengan desir halus, dan dalam hatinya, Raka mendengar suara almarhum istrinya, Lestari. Dulu mereka menanam padi berdua, tertawa dalam lumpur, bahkan menyanyi di bawah gerimis.

---

Banyak warga desa yang bilang, Raka menyimpan sesuatu di bawah petakan sawah itu. Sebagian bilang itu harta karun zaman perang. Sebagian lagi percaya itu hanya kenangan, atau lebih tepatnya: janji.

Janji kepada seorang lelaki tua yang menolong Raka ketika ia sekarat karena kelaparan, tiga puluh tahun lalu. Lelaki itu memberinya sebidang tanah dan berkata, “Rawat ladang ini. Suatu hari nanti, tanah ini akan menyelamatkan anakmu.”

Kini, janji itu makin sering berputar di kepala Raka.

---

Sore itu, saat mentari nyaris tenggelam, sebuah mobil pick-up berhenti di tepi jalan tanah. Dari dalamnya turun Ardi—dengan ransel besar di punggung dan wajah kelelahan tapi penuh harap.

“Pak…” panggilnya.

Raka menoleh. Senyum di wajahnya merekah lambat, seperti pagi yang pelan membuka kabut.

“Kamu pulang juga akhirnya.”

Ardi memandang ladang itu dengan mata berair. “Aku mau rawat ini, Pak. Aku nggak jadi kerja di kota. Aku mau balik.”

Raka mengangguk, menepuk bahu anaknya. “Kalau begitu, mari kita panen terakhir ini bareng-bareng. Setelah itu, ladang ini jadi milikmu.”

---

Dua minggu kemudian, panen selesai. Ladang dibersihkan. Tapi Raka tidak menjual tanahnya seperti yang dulu ia rencanakan. Ia menyerahkannya pada Ardi—bukan hanya ladang, tapi juga semua pengetahuan, catatan musim, hingga pupuk buatan sendiri.

Di rumah kecil mereka, Raka menggantungkan sebuah papan kayu bertuliskan:

“Ladang Terakhir — Kini Milik yang Muda”

Dan di pematang sawah itu, dua generasi berjalan berdampingan, menanam benih harapan yang baru.

---

Sudah hampir sebulan sejak Ardi kembali ke desa. Ladang ayahnya kini dikelola dengan sistem pertanian organik modern—sesuai ilmu yang ia pelajari di kota. Warga desa mulai tertarik, bahkan beberapa anak muda mendekatinya untuk belajar.

Namun, suasana tenang itu mulai terusik ketika seseorang datang ke rumah mereka malam itu. Seorang lelaki berjas, rambut klimis, berdiri dengan senyum penuh taktik.

"Selamat malam, Pak Raka, Mas Ardi. Saya Herman, dari PT AgriNova." Suaranya licin seperti oli.

"Apa keperluan Anda?" Raka tak suka basa-basi.

"Kami tertarik membeli tanah Bapak, terutama area belakang yang berbatasan dengan sungai. Kami akan bangun gudang distribusi hasil pertanian di sana. Harga tinggi, dan Bapak tidak perlu repot lagi kerja."

Ardi memandang ayahnya. Tapi Raka hanya menatap tajam. "Tanah ini bukan untuk dijual. Terima kasih."

Lelaki itu tersenyum tipis. “Pikirkan lagi. Kami akan datang lagi minggu depan.”

---

Keesokan harinya, Raka mengajak Ardi ke ujung ladang, dekat batas sungai kecil yang mengalir tenang. Di sanalah rahasia yang selama ini disimpannya berada.

“Dulu… tempat ini pernah jadi lahan kuburan korban penjajahan,” ujar Raka perlahan. “Orang-orang tua dulu menyebutnya Tanah Janji. Kata mereka, selama tanah ini dijaga dengan niat baik, maka desa ini akan subur dan damai. Tapi kalau dijual ke orang rakus... tanah ini akan mengering.”

Ardi terdiam. “Pak... itu legenda atau...?”

“Sebut saja warisan. Tapi aku percaya. Dan sekarang, kamu yang jaga itu.”

---

Seminggu kemudian, Herman datang lagi—kali ini bersama dua pria bertubuh kekar. Mereka menawarkan harga dua kali lipat.

“Ini peluang besar, Mas Ardi. Bisa buka usaha, bisa ke luar negeri. Bapakmu orang lama. Tapi kamu? Kamu punya masa depan.”

Ardi menatap ayahnya. “Aku belajar pertanian bukan untuk menjual tanah. Tapi merawatnya. Seperti yang Ibu dan Bapak lakukan dulu.”

Raka tersenyum kecil di sudut bibirnya. Bangga.

“Kalau begitu,” ujar Herman kesal, “jangan salahkan kami kalau nanti ada tekanan dari pihak desa.”

---

Minggu berikutnya, truk PT AgriNova dilarang masuk ke desa. Warga mendukung Raka dan Ardi. Ladang mereka kini jadi pusat pembelajaran pertanian ramah lingkungan.

Pak Raka tak lagi sekuat dulu, tapi tiap sore ia duduk di bale bambu dekat sawah, melihat anaknya menanam, mengajar, dan tertawa bersama generasi baru.

“Ladang ini bukan cuma soal padi,” katanya suatu hari, “tapi soal keteguhan hati.”

Dan di bawah cahaya senja yang hangat, tanah itu tetap subur—karena ia dirawat oleh hati yang setia.

---

Beberapa hari setelah penolakan itu, Ardi menemukan selembar surat tua di dalam laci meja kerja almarhumah ibunya. Kertasnya mulai rapuh, tapi tulisan tangan halus itu masih terbaca. Isinya adalah pesan Lestari untuk masa depan Ardi:

"Jika kamu membaca ini, berarti kamu sudah memilih jalan pulang. Tanah ini bukan sekadar ladang, tapi tempat semua kenangan terbaik kita tumbuh. Rawatlah, dan kamu akan menemukan rumah bukan hanya di bangunan, tapi di hati orang-orang yang kamu sayangi."

Surat itu mengguncang batin Ardi. Ia menyadari bahwa apa yang sedang ia perjuangkan bukan hanya demi idealisme pertanian, tetapi juga demi menjaga nilai yang telah dibangun oleh cinta dan pengorbanan orang tuanya.

Malam itu ia duduk di beranda, menatap bintang-bintang bersama Pak Raka. Tak banyak kata, hanya keheningan yang menyatukan pemahaman mereka.

---

Keesokan paginya, Ardi mulai menyusun program pelatihan pertanian untuk anak-anak muda desa. Ia menamai program itu "Benih Harapan", dengan mimpi bahwa ladang tak hanya menghasilkan panen, tapi juga masa depan.

Pak Raka, meskipun sudah lelah usia, tetap membantu semampunya. Ia sering menjadi pembicara, membagikan ilmu, dan menceritakan sejarah tanah mereka. Warga mulai berdatangan, bukan untuk membeli, tetapi untuk belajar.

Ladang yang dulunya sunyi, kini hidup dengan suara cangkul, tawa, dan harapan.

---

Namun, di tengah kegembiraan itu, kabar mengejutkan datang. PT AgriNova mengklaim bahwa sebagian kecil dari tanah di pinggir sungai adalah milik mereka, berdasarkan peta tua yang mencurigakan.

Raka tahu ini bukan sekadar sengketa tanah biasa. Ini permainan orang-orang yang tak suka melihat rakyat kecil berdaya.

Tapi kali ini, Raka tidak sendiri. Ia berdiri di balai desa, diapit Ardi dan para pemuda yang diajarnya.

“Kalau mereka pikir kami akan tunduk, mereka salah besar,” katanya tegas. “Ladang ini tidak bisa dibeli, karena yang kami tanam di sini bukan sekadar padi, tapi harga diri.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa