Cerpen: Widuri

Cerpen :

Jelajahi kisah penuh makna dalam cerpen "Widuri"! Sebuah karya sastra yang mengangkat tema perjuangan, cinta, dan lika-liku kehidupan yang menyentuh hati. Bacalah dan temukan pesan mendalam yang tersembunyi di balik setiap kata.


Widuri

Di sebuah kota kecil yang sering diguyur hujan, hiduplah seorang perempuan bernama Widuri. Wajahnya elok bagai rembulan di malam purnama, namun matanya selalu menyimpan kesedihan yang tak terungkap. Ia sering terlihat duduk sendiri di bangku taman, menatap rintik hujan seolah menunggu sesuatu—atau seseorang.

Pada suatu senja, ketika langit baru saja menitikkan hujan ringan, seorang pemuda bernama Arka melihatnya dari kejauhan. Widuri duduk di bawah cahaya remang yang menyelinap melalui awan, wajahnya diterangi warna-warni pelangi yang muncul sesaat. Ada sesuatu tentang perempuan itu yang membuat Arka tak bisa berpaling.

Tanpa disadarinya, langkahnya membawanya mendekat. Widuri menoleh, lalu tersenyum. Senyum itu manis, tapi Arka bisa merasakan ada kepahitan di baliknya.

"Kau sering duduk di sini sendirian," ujar Arka, mencoba memulai percakapan.

Widuri mengangguk pelan. "Aku suka melihat hujan. Rasanya... seperti semua hal yang tak terucap bisa larut bersamanya."

Arka duduk di sampingnya. Ia melihat Widuri mengusap pipinya dengan cepat—seolah menghapus sesuatu yang tak ingin dilihat orang.

"Kau menangis?" tanyanya lembut.

Widuri memejamkan mata. "Hujan selalu membuatku ingat pada hal-hal yang seharusnya sudah kulupakan."

Arka tak bertanya lebih jauh. Ia hanya diam, menemaninya dalam keheningan yang nyaman.

Pertemuan itu menjadi awal dari kebiasaan baru. Arka sering datang ke taman itu, dan Widuri perlahan mulai membuka diri. Suatu hari, ia mengajak Arka ke rumah kecilnya di pinggir kota. Di sana, Arka melihat puluhan lukisan yang tersimpan rapi. Setiap gambar adalah potongan hidup Widuri—pemandangan hujan, langit kelabu, dan sosok-sosok bayangan yang tak pernah jelas wajahnya.

"Lukisan-lukisan ini..."

"Kenanganku," bisik Widuri. "Dan juga penjaraku."

Arka mengerti. Ia tak perlu mendesak. Ia hanya mengambil kuas di sebelahnya, lalu mulai mencoretkan warna-warna cerah di atas kanvas kosong.

"Kau tak harus terus melukis hujan, Widuri," katanya sambil tersenyum. "Coba lihat ke luar—pelangi selalu muncul setelahnya."

Widuri memandangnya lama. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ada kehangatan yang mengisi dadanya.
****

Pada suatu pagi, Arka menemukan sebuah lukisan baru di depan pintunya. Gambar itu menunjukkan dua sosok berdiri di tengah hujan, tapi kali ini—tidak ada kesedihan. Hanya cahaya, dan senyuman yang tulus.

Di sudut kanvas, tertulis dengan huruf kecil:

"Terima kasih untuk pelangimu."

Dan di kejauhan, hujan pun berhenti.

Musim hujan telah tiba lagi. Rintik-rintik air membasahi jalanan kota kecil itu, menciptakan genangan yang memantulkan cahaya lampu jalan seperti mozaik pecah. Di beranda rumahnya yang sederhana, Widuri duduk memandang hujan sambil memegang erat buku sketsanya. Lukisan terakhirnya—gambar dua sosok di bawah payung—masih terasa asing di tangannya.

Arka datang dengan membawa dua cangkir teh hangat. "Kau masih memandangi lukisan itu?" tanyanya sambil duduk di samping Widuri.

Widuri mengangguk pelan. "Aku masih tidak percaya... bahwa aku bisa melukis sesuatu yang tidak kelabu."

Arka tersenyum. Tiba-tiba, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah foto lama yang sudah kusam. "Aku menemukan ini di toko barang antik. Lihat, pelangi persis seperti yang kau lukis."

Widuri tertegun. Di foto itu, terlihat pelangi sempurna membentang di atas bukit tempat ia sering menyendiri dulu. Tiba-tiba, ingatannya melayang pada masa lalu yang selama ini coba ia kubur.
*****

Kilas Balik

Lima tahun silam, Widuri pernah berjanji pada seseorang di bawah pelangi itu. Lelaki itu—seorang seniman jalanan—pernah berbisik: "Aku akan membawamu melihat pelangi di setiap hujan." Tapi suatu hari, ia menghilang tanpa penjelasan, hanya meninggalkan sketsa-sketsa yang kini menjadi hantu dalam setiap lukisan Widuri.
*****

"Arka..." Widuri menarik napas dalam. "Aku perlu memberitahumu sesuatu."

Dengan suara bergetar, ia menceritakan segalanya. Tentang cinta pertamanya yang berakhir dengan kepergian tanpa kata, tentang lukisan-lukisan kelabu yang selama ini menjadi pelariannya, dan tentang ketakutannya—bahwa Arka akan pergi seperti yang lain.

Arka mendengarkan dengan tenang. Ketika Widuri selesai, ia hanya mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya. "Aku sudah menyewa sebuah studio kecil di tepi bukit. Tempat dimana pelangi itu selalu muncul setelah hujan." Matanya berbinar. "Ayo kita buat lukisan baru di sana, Widuri. Lukisan yang tidak lagi tentang rintik hujan, tapi tentang cahaya yang menembusnya."

Widuri menatapnya, air mata mengalir di pipinya. Tapi kali ini, ia tersenyum. "Kau yakin?"

"Lebih yakin dari apapun," jawab Arka sambil memegang tangannya. "Karena seperti lagu itu—'Di suatu senja, di musim yang lalu'—kisah kita bukan lagi tentang hujan. Tapi tentang pelangi yang datang setelahnya."

Di luar, hujan mulai reda. Sinar matahari pertama menembus awan, menyinari wajah Widuri yang kini berseri. Dan di kejauhan, lengkung warna-warni pelangi mulai terbentuk—seperti mengukir janji baru di antara rintik-rintik kenangan lama.

Senyum Widuri di Antara Rintik

Senja itu datang dengan rintik hujan yang sama seperti pertemuan pertama mereka. Arka berdiri di tepi bukit, memandangi Widuri yang sedang asyik menyapukan kuas di kanvas barunya. Pelangi tipis mulai muncul di langit kelabu, menyinari profil wajah Widuri yang sedang serius.

"Di suatu senja, di musim yang lalu..."

Arka teringat pertama kali melihatnya—di bawah pelangi yang sama, dengan senyum yang sama misteriusnya. Kini, setelah berbulan-bulan bersama, ia masih sering menemukan Widuri tersenyum sendiri seperti itu. Senyum yang indah namun menyimpan sesuatu.

"Lukisan apa yang kau buat?" tanya Arka mendekat.

Widuri menoleh, segera menutupi kanvasnya dengan kain. "Belum siap untuk dilihat," bisiknya, tapi kali ini senyumnya berbeda. Ada getar kebahagiaan yang jujur.

"Lalu engkau tersenyum, ku menyesali diri. Tak tahu apakah arti senyummu..."

Arka duduk di sampingnya, membiarkan bahunya bersentuhan dengan Widuri. "Aku ingin tahu," katanya pelan. "Selama ini, setiap kau tersenyum di tengah hujan, seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tak kulihat."

Widuri memandang pelangi yang semakin jelas. "Dulu, di tempat ini, seseorang pernah berjanji akan selalu menungguku di setiap hujan." Tangannya menggenggam liontin kecil berbentuk setengah hati. "Tapi dia pergi ketika aku sedang berjuang melawan sakitku."

Arka diam. Angin senja membawa rintik hujan yang terasa hangat.

"Tapi sekarang," Widuri membuka kain penutup kanvas, memperlihatkan lukisan dua sosok di bawah payung—satu dengan jelas adalah Arka, sedang yang satu lagi... adalah dirinya sendiri yang tersenyum bahagia. "Aku baru mengerti. Senyumku selama ini adalah kerinduan pada pelangi yang terlambat datang."
Di kejauhan, pelangi semakin terang membentang. Arka menarik Widuri dalam pelukan hangat. Tak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan.

"Widuri, bukalah pintu hati untukku. Widuri, ku akan menyayangi..."

Dan untuk pertama kalinya, Widuri merasa hujan tak lagi membawa kesedihan. Karena sekarang, ada tangan hangat yang selalu siap menangkap air matanya, dan senyuman yang tak lagi perlu disembunyikan.

 

 

 


Sinopsis

"Widuri" mengisahkan tentang seorang perempuan tangguh bernama Widuri yang menghadapi berbagai ujian hidup. Dari kehilangan hingga pengkhianatan, ia tetap berusaha bangkit dengan tekad yang kuat. Cerpen ini menggambarkan perjalanan emosionalnya dalam meraih kebahagiaan sekaligus menyimpan rahasia masa lalu yang kelam. Apakah Widuri akhirnya menemukan kedamaian? Temukan jawabannya dalam cerpen ini!


Kesimpulan

Cerpen "Widuri" memberikan pelajaran berharga tentang ketabahan, pengorbanan, dan arti sesungguhnya dari sebuah kebahagiaan. Kisah ini mengajak pembaca untuk merenung sekaligus menghargai setiap proses dalam hidup. Jangan lewatkan karya sastra yang memukau ini!


© 2025 Cerpen Diono Pieter Rianto.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa