Cerpen: Lentera Keadilan
"Di balik lentera tua itu, ada cahaya yang tak bisa dipadamkan kekuasaan. Bacalah kisah ini, dan temukan bagaimana kebenaran bisa bersinar dari tempat paling sunyi sekalipun."
Langit senja memerah di atas Desa Sukamaju, seolah ikut meradang
menyaksikan ketidakadilan yang terus menggerogoti hati sebagian warganya. Di
balik rimbunnya pohon kelapa, seorang perempuan muda berdiri tegap di depan
balai desa, matanya berapi-api, namun bibirnya terkunci rapat. Namanya Sari,
seorang guru honorer yang hari itu memutuskan untuk tak lagi diam.
Mimpi yang Dipendam
Sejak kecil, Sari selalu bermimpi menjadi seorang guru. Namun, di desanya, perempuan dianggap hanya pantas mengurus dapur, sumur, dan kasur. Ayahnya, Pak Kardi, sering berkata, ”Perempuan sekolah tinggi-tinggi buat apa? Ujung-ujungnya juga di dapur!“
Tapi Sari tak menyerah. Dengan tekad baja, ia bekerja serabutan demi membiayai sekolahnya. Ia menjadi tukang cuci, penjaga warung, bahkan buruh tani. Semua dilakoninya sambil menyimpan mimpi besar: mengubah pola pikir warga desanya tentang perempuan.
Suatu hari, ketika lowongan guru honorer dibuka, Sari mendaftar. Tapi kepala desa, Pak Joko, hanya tertawa. ”Kamu perempuan, Sar. Lebih baik jadi istri yang baik saja. Biar laki-laki yang urusan mengajar.“
Sari menatapnya tajam. ”Apakah murid-murid di sini hanya butuh guru laki-laki,
Pak? Atau mereka butuh seseorang yang bisa mengajar dengan hati?“
Pertarungan di Balai Desa
Pertemuan desa bulanan berlangsung panas. Agenda utama: pembagian bantuan pertanian. Namun, Sari memotong pembicaraan. ”Saya ingin bicara tentang hak perempuan di desa ini.“
Suasana hening. Beberapa lelaki tertawa sinis. Tapi Sari tak gentar.
”Kenapa perempuan tidak boleh ikut musyawarah? Kenapa kami tidak boleh memimpin? Kenapa anak perempuan di sini dinikahkan muda, sementara anak laki-laki bebas sekolah setinggi langit?“
Pak Joko merah telinganya. ”Ini sudah tradisi, Sar! Jangan bawa-bawa pemikiran kota ke sini!“
Tiba-tiba, Bu Marni, seorang janda yang selama ini selalu diam, berdiri. ”Saya setuju dengan Sari. Saya ingin anak perempuan saya punya masa depan, bukan hanya jadi budak suami.“
Satu per satu, perempuan-perempuan lain mulai bersuara. Suara yang selama ini
dipendam, akhirnya meledak.
Perubahan yang Tak Terbendung
Beberapa bulan kemudian, Desa Sukamaju mulai berubah. Sekolah Perempuan didirikan, tempat anak-anak gadis belajar tanpa takut dianggap “tidak pantas“. Kelompok Tani Perempuan dibentuk, membuktikan bahwa mereka juga bisa mengelola lahan dengan baik. Musyawarah Desa akhirnya melibatkan perwakilan perempuan.
Sari, yang kini diangkat menjadi guru tetap, tersenyum melihat perubahan itu.
Tapi ia tahu, perjuangan belum selesai.
Di sebuah sudut, seorang anak perempuan bertanya padanya, ”Kak Sari, aku boleh
jadi apa saja nanti, kan?“
Sari mengusap kepala gadis kecil itu. ”Boleh. Dunia ini milik kita semua.“
---
Malam itu, bulan bersinar terang di atas Desa Sukamaju. Lentera-lentera kecil
mulai dinyalakan, satu per satu, menerangi jalan menuju kesetaraan.
Dan Sari tahu, selama ada yang berani bersuara, keadilan tak akan pernah padam.
Api dalam Diam
Meski perubahan mulai terlihat, bara perlawanan di hati Sari tak pernah padam.
Suatu sore, ia menemukan Lusi, murid tercerdas di kelasnya, tak masuk sekolah
selama tiga hari. Setelah mencari tahu, Sari mendapati gadis 12 tahun itu akan
dinikahkan dengan lelaki separuh baya anak seorang tengkulak kaya.
”Dia dijual, Kak! Cuma karena keluarganya terlilit hutang!“ bisik Rina, teman
sekelas Lusi, dengan mata berkaca-kaca.
Sari menggigit bibirnya sampai nyaris berdarah. Ia tahu, melawan orang-orang berkuasa di desa berarti mengundang bahaya. Tapi ia juga tak bisa membiarkan Lusi menjadi korban berikutnya.
Malam itu, dengan lampu senter dan secarik kertas berisi pasal-pasal perlindungan anak, Sari mendatangi rumah Lusi. Ibunya, Bu Yati, menerimanya dengan wajah lesu.
”Saya tidak punya pilihan, Sar. Suamiku sakit, hutang menumpuk...“
”Tapi Bu, Lusi bisa mati jika dipaksa melahirkan di usia segini!“ sergah Sari, memperlihatkan data kematian ibu muda di desa tetangga.
Dari balik tirai bambu, Lusi menatapnya dengan harapan. Matanya berbinar seperti
mencari pertolongan terakhir.
Dua Garis Air Mata
Esok harinya, Sari menghadap Pak Joko dengan dokumen dari dinas sosial kabupaten. Tapi kepala desa itu malah menyunggingkan senyum sinis.
”Kamu pikir dengan secarik kertas bisa mengubah takdir, Sar? Di desa ini, adat lebih kuat daripada hukum!“
Sari mengepalkan tangan. ”Kalau adatnya zalim, harus dilawan!“
Pertengkaran mereka terdengar sampai ke jalan. Beberapa warga berkerumun, termasuk Pak Kardi, ayah Sari yang selama malu melihat anak perempuannya “terlalu banyak bicara“.
”Pulang, Sar! Jauh-jauh dari urusan orang!“ bentaknya.
Tapi untuk pertama kalinya, Sari menolak patuh. ”Ayah, kalau kita diam melihat kezaliman, kita sama saja mendukungnya!“
Di tengah tensi yang memuncak, Bu Marni tiba-tiba maju. ”Saya akan jamin Lusi. Hutang keluarganya akan saya talangi sedikit-sedikit.“
Beberapa ibu lain mulai mengangguk. Bahkan Pak Dul, sesepuh desa yang terkenal
konservatif, menghela napas. ”Memangnya kita ini binatang? Sampai harus menjual
anak sendiri?“
Fajar yang Berbeda
Tiga bulan kemudian, di bawah pohon beringin tempat Lusi hampir dijual, kini berdiri sebuah papan tulis kecil. Setiap malam, puluhan perempuan—mulai dari anak-anak hingga nenek-nenek—berkumpul untuk belajar baca tulis. Sari mengajar mereka dengan sabar, sementara Lusi yang berhasil diselamatkan kini menjadi asistennya.
Pak Joko masih sesekali mencibir, tapi suaranya tak lagi sekeras dulu. Apalagi setelah kabar desa tetangga yang kena sanksi karena perkawinan anak menyebar.
Di tepi sawal, Pak Kardi memandangi anak perempuannya yang sedang memimpin kelas malam. Tanpa sepatah kata pun, ia meletakkan seikat pisang dan tebu di meja guru—isyarat permintaan maaf yang tak terucap.
Sari tersenyum. Ia tahu jalan masih panjang. Tapi setidaknya kini, di desanya
yang kecil itu, perempuan-perempuan mulai berani menyalakan lentera mereka
sendiri.
Sinopsis
Di sebuah desa yang diselimuti kabut ketidakadilan, seorang guru muda bernama Seno menemukan ketidakberesan dalam proyek pembangunan desa. Dengan lentera tua warisan ayahnya dan cahaya nurani yang tak padam, ia mencoba membuka tabir kebenaran yang ditutupi oleh kekuasaan dan ketakutan. Cerpen ini adalah kisah perjuangan sunyi seorang warga biasa dalam menyuarakan keadilan, di tengah masyarakat yang enggan bersuara.
Kesimpulan
“Lentera Keadilan” menggambarkan bahwa keberanian untuk menyuarakan kebenaran tak selalu datang dari tokoh besar—kadang justru lahir dari kesederhanaan seorang guru desa. Cerpen ini menyoroti pentingnya integritas, keteguhan hati, dan kekuatan cahaya dalam diri manusia untuk menerangi lorong-lorong gelap ketidakadilan.
Komentar
Posting Komentar