Cerpen : Kisah di Balik Vespa Biru

Cerpen :

"Jika kamu pernah kehilangan seseorang yang berarti, bacalah cerita ini. Mungkin, seperti Kartono dan Maya, kamu juga punya kesempatan untuk memulai kembali."


Matahari sore menyemburatkan cahaya keemasan melalui jendela garasi tua di kawasan Ngampilan, Yogyakarta. Debu-debu beterbangan ketika Kartono membuka pintu kayu yang sudah lapuk. Matanya langsung tertuju pada sebuah Vespa biru tua yang terparkir di sudut, tertutup kain terpal usang. Perlahan, ia menarik kain itu, mengungkap bodi Vespa yang masih kokoh meski penuh goresan kecil.

Kartono, pria berusia 45 tahun itu, mengenakan kemeja lengan pendek putih yang sedikit kusut, celana chino cokelat, dan sepatu sneakers hitam yang sudah mulai aus. Rambutnya yang hitam beruban terlihat rapi, tapi kerutan di dahinya menceritakan beban hidup yang ia bawa. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di atas Vespa itu. Tangannya mengusap setang kemudi yang dingin, seolah mencoba merasakan kembali kehangatan masa lalu.

"Masih bisa nyala nggak, kau?" gumamnya sambil tersenyum getir.

Vespa ini bukan sekadar kendaraan. Ia adalah saksi bisu kisah cintanya dengan Maya, gadis seniman yang dulu membuatnya jatuh hati hanya dengan senyum dan tawanya yang lincah.

***


Kenangan di Jalanan Jogja

Pikirannya melayang ke tahun 1999, saat ia masih menjadi mahasiswa arsitektur UGM yang idealis. Maya, mahasiswi seni rupa ISI, adalah perempuan yang sama sekali berbeda dengannya. Jika Kartono selalu teratur dan kaku, Maya adalah angin yang bebas—selalu membawa sketsa buku ke mana-mana, rambutnya diikat sembarangan, dan matanya selalu berbinar saat membicarakan seni.

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil di Malioboro. Maya sedang menggambar sketsa seorang pengamen tua, sementara Kartono asyik membaca buku teori arsitektur. Tanpa sengaja, mata mereka bertemu, dan sejak saat itu, mereka tak bisa lepas.

"Kamu terlalu serius, Ri. Lihat sekelilingmu! Jogja ini bukan cuma tentang tembok dan garis lurus," ucap Maya suatu hari sambil menunjuk langit senja yang berwarna jingga.

Mereka sering menghabiskan waktu bersama dengan Vespa biru pemberian kakek Kartono. Berkeliling kota, menikmati sunset di Candi Prambanan, atau sekadar duduk di tepi Kali Code sambil berbagi cerita. Maya selalu membawa cat airnya, sementara Kartono menulis puisi-puisi pendek di buku kecil.

Tapi kemudian, kehidupan memisahkan mereka. Kartono mendapat tawaran kerja di Jakarta, sementara Maya memilih tetap di Jogja untuk mengejar mimpinya sebagai pelukis. Perpisahan itu terasa seperti pisau yang mengiris hati.

"Kita pasti bisa melewati ini. Aku janji akan kembali," kata Kartono saat itu, memeluk Maya erat di Stasiun Tugu.

Tapi janji tinggal janji. Kesibukan, jarak, dan waktu perlahan mengikis hubungan mereka. Surat-surat yang dulu rutin dikirim kini berhenti.

***


Kembali ke Masa Lalu

Kartono tersentak dari lamunannya ketika tetesan air hujan mulai jatuh di atap seng garasi. Ia memutuskan untuk mencoba menyalakan Vespa itu. Setelah beberapa kali dicoba, mesinnya akhirnya hidup dengan suara khas yang ia ingat betul.

"Masih setia, ya?"

Esok harinya, Kartono membawa Vespa itu ke bengkel langganan dulu. Pak Warsito, sang montir tua, langsung mengenalinya.

"Wah, ini Vespa-nya Mas Kartono! Masih ingat saya? Dulu saya yang selalu servis ini motor," ujar Pak Warsito sambil tersenyum.

"Iya, Pak. Ini masih bisa dipakai?"

"Bisa saja! Cuma perlu ganti beberapa onderdil. Ini motor kuat!"

Sementara menunggu Vespa-nya diperbaiki, Kartono berjalan-jalan di sekitar Malioboro. Kota ini masih sama—ramai, penuh warna, tapi juga menyimpan ketenangan di sudut-sudutnya. Tanpa sadar, kakinya membawanya ke sebuah galeri seni kecil di Kotabaru.

Dan di sana, di antara puluhan lukisan, matanya tertuju pada satu gambar: Pemandangan Kali Code di senja hari, dengan dua sosok samar duduk di tepian sungai.

Di sudut kanvas, tertulis tanda tangan: Maya, 2023.

Jantungnya berdegup kencang.

***


Pertemuan yang Tak Terduga

Setelah bertanya pada pemilik galeri, Kartono mendapatkan alamat Maya—sebuah rumah kecil di kawasan Bantul, dikelilingi kebun dan pohon-pohon rindang. Dengan Vespa birunya yang sudah bersih dan kinclong, ia melaju pelan menuju rumah itu.

Perasaannya campur aduk. Apa kabarnya sekarang? Masih ingatkah dia padaku? Atau jangan-jangan dia sudah bahagia dengan kehidupan baru?

Sesampainya di sana, ia melihat seorang perempuan paruh baya sedang menyiram tanaman di halaman. Rambutnya diikat longgar, mengenakan daster biru tua yang sederhana. Tapi senyumnya—itu masih sama.

"Maya?" suaranya serak.

Perempuan itu menoleh, matanya membesar.

"Kartono?"

Mereka diam sejenak, saling memandang, seolah mencocokkan wajah yang sudah berubah dengan ingatan masing-masing.

"Aku… cuma lewat. Nemu lukisanmu di galeri," ucap Kartono, gugup.

Maya tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. "Masih suka nongkrong di Kali Code ya?"

Dan tawa mereka pecah, mengikis sedikit rasa canggung.

Bicara Tentang Waktu yang Hilang

Mereka duduk di teras rumah Maya, ditemani secangkir teh jahe dan piring kecil kue lapis.

"Jadi, kamu sekarang arsitek sukses di Jakarta?" tanya Maya.

"Iya. Tapi… rasanya ada yang kurang."

"Rumah mewah, mobil bagus, tapi hati kosong?" Maya menyipitkan mata, seperti dulu saat mengejeknya.

Kartono tertawa. "Kamu masih bisa membaca pikiranku."

Maya menghela napas. "Aku juga pernah merasakan itu. Setelah kamu pergi, aku mencoba pindah ke Bali, mencoba cari inspirasi. Tapi selalu ada yang mengingatkanku pada Jogja… pada kamu."

Kartono menatapnya. "Aku menyesal, Maya. Aku seharusnya tidak membiarkan kita terpisah."

Maya mengangguk pelan. "Tapi kita tidak bisa mengubah masa lalu. Yang penting sekarang… kita di sini."

Matahari mulai tenggelam, meninggalkan langit berwarna ungu kemerahan. Vespa biru Kartono terparkir di halaman, seolah tersenyum melihat mereka.

***


Sinopsis

Kartono, seorang arsitek sukses di Jakarta, pulang ke Jogja setelah 20 tahun meninggalkan kota itu. Di garasi rumah lamanya, ia menemukan Vespa biru tua yang dulu menjadi saksi cintanya dengan Maya, seorang seniman lukis. Kenangan masa muda mereka yang penuh petualangan dan janji-janji manis kembali menghantui hari-harinya. Saat Kartono mencoba mencari Maya, ia menemukan lukisan di sebuah galeri yang membawanya pada pertemuan tak terduga. Akankah cinta mereka yang pernah pupus bisa bersemi kembali?


Kesimpulan

"Kisah di Balik Vespa Biru" adalah cerita tentang cinta, waktu, dan kesempatan kedua. Terkadang, kita harus pergi jauh untuk menyadari bahwa kebahagiaan sejati ada di tempat yang pernah kita tinggalkan.


© 2025 Cerpen Diono Pieter Rianto.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa