Cerpen : Bangku Hari Selasa, Sepatu, Senyum, dan Sebuah Pertemuan

Cerpen :

"Kadang, yang kita butuhkan bukan jawaban, tapi bangku yang nyaman dan seseorang yang duduk diam di sebelah kita." — Temukan kisah Resti dan Arvin yang dimulai dari bangku biasa, tapi membawa luar biasa.


 

Hari itu Selasa. Hari yang secara ilmiah terbukti paling malas untuk memulai apa pun. Tapi Resti, perempuan 29 tahun dengan sepatu hak pendek warna nude dan senyum setengah matang, justru duduk di bangku taman dengan tenang. Ia bukan pegawai kantoran yang kabur dari rapat, bukan pula pengangguran yang sedang kontemplasi hidup. Ia cuma... butuh duduk.


Bangku itu, dari kayu jati yang sudah mulai berderit, berada di halaman belakang kantor tempatnya bekerja. Lokasi yang tidak terlalu ramai, tapi cukup strategis untuk diam tanpa dibilang penyendiri. Dan di sinilah semua mulai terjadi.

Seorang pria datang. Kemeja biru muda, celana bahan, sepatu yang jelas-jelas belum disemir tiga minggu terakhir. Ia membawa dua cup kopi, dan entah mengapa duduk di bangku yang sama. Tanpa permisi. Tanpa basa-basi. Hanya sebuah senyuman dan kata, “Selasa butuh kafein, kamu setuju?”

Resti menoleh. Mengernyit. Tapi menerima kopi itu.

Namanya Arvin. Ia ternyata bekerja di divisi sebelah. Mereka sering satu lift, tapi tak pernah benar-benar bicara. Sampai bangku kayu itu menjadi mediator semesta.

“Aku suka duduk di sini,” kata Resti sambil menyeruput kopi. “Bangkunya agak miring ke kiri, kayak hati yang belum move on.”

Arvin tertawa. “Aku suka orang yang bisa ngajak bangku ngomong.”


Hari itu mereka ngobrol seperti teman lama yang baru sadar pernah satu TK. Tentang film, tentang nasi goreng abang belakang kantor, bahkan tentang sepatu formal yang katanya tidak formal sama sekali.

“Sebenarnya,” kata Resti, “aku suka diam. Tapi kalau diamnya bareng orang yang tahu cara diam dengan benar.”

Arvin mengangguk. “Aku tahu caranya. Duduk, kasih kopi, dan jangan ngomong soal politik.”

Mereka tertawa. Dan dunia terasa sedikit lebih ringan dari biasanya.


Hari Rabu datang seperti mantan yang tiba-tiba balas chat setelah tiga tahun hilang: mengejutkan tapi bikin deg-degan.

Resti tidak punya rencana spesifik hari itu. Tapi saat jam makan siang tiba, langkah kakinya seperti otomatis mengarah ke bangku kayu itu. Seolah-olah tubuhnya sudah paham, bahwa ia butuh duduk, senyum, dan mungkin... bertemu seseorang.

Dan benar saja.

Arvin sudah duduk di sana. Dengan kopi di tangan kanan dan kantong plastik berisi pastel di tangan kiri.

“Aku tahu kamu bakal datang,” katanya dengan senyum percaya diri yang menyebalkan tapi lucu.

Resti nyaris tertawa. “Kamu stalker ya? Atau paranormal dadakan?”

“Bukan. Cuma punya insting kuat soal cewek yang suka senyum ke bangku,” jawab Arvin sambil membuka plastik pastel. “Mau?”

Resti duduk di sebelahnya. “Kalau aku pingsan karena keracunan pastel, kamu siap tanggung jawab?”

“Tenang. Ini beli di warung sebelah. Aman. Warung itu legendaris, bahkan tikus pun antre.”

Mereka tertawa.


Obrolan hari itu mengalir seperti sungai kecil. Ringan, lucu, kadang absurd.

Arvin bercerita tentang proyek naskah drama radio berjudul “Suami Ketukar Sandal” yang katanya nyaris viral karena tokohnya ngomong pakai pantun. Resti membalas dengan cerita tentang kolega kantornya yang menyimpan 27 mug di meja kerja, satu untuk tiap suasana hati.

“Serius? Dua puluh tujuh mug?” tanya Arvin.

“Serius. Dia pernah marah gara-gara ada yang minum dari ‘mug Senin Galau’ padahal hari Jumat.”

Resti tertawa sampai menutupi mulut. Arvin memperhatikannya sebentar. Lalu diam-diam mencatat di ponselnya: Resti, tawa = pelangi + kejutan.

“Eh, kamu nulis apa?” tanya Resti, penasaran.

“Cuma... catatan kecil. Biar gak lupa.”

“Catatan tentang pastel?”

“Bukan. Tentang kamu.”

Resti mendelik, lalu pura-pura menyesap teh manis dari tumbler-nya untuk menyembunyikan pipi yang mulai merah.


Tapi seperti hukum semesta yang suka iseng, momen manis seringkali tak berlangsung lama.

Hari itu, saat mereka hendak berpisah, ponsel Arvin berdering. Nada deringnya aneh: suara burung beo menyanyi dangdut.

“Hei, tunggu dulu,” kata Arvin sambil mengangkat telepon. Suaranya berubah. Wajahnya pun berubah. Seperti... kaget. Atau khawatir.

“Iya, aku ke sana sekarang. Oke. Iya. Tunggu ya,” ucapnya, lalu buru-buru berdiri.

Resti ikut berdiri. “Kenapa? Ada apa?”

Arvin tersenyum, tapi senyum itu tidak senyum yang sama.

“Maaf, Res. Aku harus pergi. Nanti aku kabari, ya?”

“Boleh aku tahu kenapa?”

Arvin menatap matanya sebentar, lalu berkata pelan, “Ibuku jatuh di rumah. Aku harus ke sana.”

Resti mengangguk. “Hati-hati. Semoga ibumu baik-baik saja.”

Dan Arvin pergi.


Hari Kamis, bangku itu sunyi.

Hari Jumat, tetap sunyi.

Resti mulai merasa bangku itu bukan lagi sekadar kayu dan paku. Ia merasa... kehilangan sesuatu. Atau seseorang.

Ia sempat mengetik pesan ke nomor Arvin (yang sempat ia dapatkan saat minta dikirimi draft cerita lucu). Tapi kemudian menghapusnya. Ia ragu. Mereka bahkan belum benar-benar dekat. Atau... sudah?


Malam Jumat, Resti tak bisa tidur. Ia akhirnya menulis di laptopnya:

“Ada yang aneh tentang orang yang baru kau kenal tiga hari tapi rasanya seperti mengenal tiga dekade. Seseorang yang kau temui tanpa rencana, di bangku kayu yang berderit, tapi meninggalkan gema di kepala, lebih keras dari alarm kantor.”

Lalu ia tekan tombol “Simpan” dan tidur.


Hari Sabtu, kejutan datang.

Pagi-pagi, Resti membuka pintu rumahnya dan menemukan kantong kertas tergantung di gagang pintu. Di dalamnya: pastel favorit, secangkir teh manis (masih hangat, luar biasa!), dan sebuah catatan tangan.

“Ibuku sudah pulih. Dan dia titip pesan: jangan biarkan bangku itu kesepian. Aku kembali. Tunggu aku Senin. —A.”

Resti tersenyum. Senyum yang pelan-pelan menghapus sunyi.

Ia menatap langit pagi. Hari itu tidak terlalu cerah. Tapi entah kenapa, ia merasa hatinya terang.

 

Senin pagi. Jakarta seperti biasa: padat, gerah, dan agak menyebalkan. Tapi pagi ini terasa beda untuk Resti.

Ia berangkat lebih awal dari biasanya. Rambutnya disisir lebih rapi, kemejanya disetrika dua kali, dan sepatu nude kesayangannya disemprot parfum. Ya, sepatu. Biar semangat dari ujung kaki.

Saat ia melewati lorong kantor dan melangkah ke taman belakang, bangku itu sudah terisi.

Arvin duduk dengan gaya santai, memegang koran lama (yang jelas cuma alat gaya-gayaan), dan secangkir kopi dengan tulisan “Untukmu yang Tak Pernah Tahu Betapa Aku Menunggu.”

“Pagi, Res,” sapanya, dengan senyum setengah jenius setengah ngantuk.

Resti hampir pura-pura tidak deg-degan. “Wah, kembali ke habitat ya?”

“Aku gak bisa jauh dari bangku ini. Apalagi kalau tahu kamu duduk di sini,” jawab Arvin.

Resti duduk di sampingnya. Ada jeda sejenak. Seperti jeda dalam lagu jazz sebelum nada manis berikutnya datang.


“Hari ini hujan,” gumam Resti, menatap langit mendung yang seperti hati orang habis gajian, lalu sadar cicilan.

“Hujan itu romantis,” kata Arvin. “Kecuali kamu lagi bawa cucian yang belum kering.”

Resti tertawa. “Kamu selalu punya cara bikin hal biasa jadi lucu.”

“Dan kamu punya cara bikin tawa orang lain jadi sesuatu yang ingin aku dengar terus,” jawab Arvin.

Lalu hening. Tapi bukan hening yang canggung. Justru hening yang membuat detak jantung terasa lebih jelas.


“Waktu kecil,” kata Resti tiba-tiba, “aku suka duduk di bawah pohon mangga depan rumah. Sendirian. Bawa buku, cemilan, dan khayalan.”

“Khayalan soal apa?”

“Soal seseorang yang datang, duduk di sebelahku, dan bilang, ‘Aku gak punya alasan kuat, cuma merasa tempat ini jadi lebih enak kalau aku duduk di sini juga.’”

Arvin menatap Resti. Lama. Tapi tidak menyeramkan. Justru seperti seseorang yang sedang membaca puisi tanpa kata-kata.

“Aku punya alasan kuat,” katanya pelan. “Kamu.”

Resti terdiam. Menunduk. Hujan mulai turun, rintik-rintik. Tapi mereka tidak beranjak.

“Bangku ini,” Arvin melanjutkan, “bukan sekadar tempat duduk. Ini seperti saksi diam dari sesuatu yang belum tahu mau jadi apa, tapi rasanya benar.”

Resti tertawa kecil. “Kamu kayak narasi film pendek di YouTube.”

“Yang 7 menit tapi bikin nangis?”

“Persis.”

Mereka tertawa. Hujan makin deras. Tapi Arvin mengeluarkan payung kecil dari tasnya. Bukan payung romantis ukuran pasangan. Ini payung kecil, payung sisa promo sabun cuci. Jadi saat mereka berdua berteduh di bawahnya, posisi mereka jadi... sangat dekat.

Sangat dekat.


Resti bisa mencium aroma kopi dari napas Arvin. Arvin bisa melihat bulu mata Resti yang gemetar sedikit saat tertawa. Dan waktu seakan berhenti di sana.

“Aku gak tahu ini akan jadi apa,” kata Arvin akhirnya.

“Aku juga,” jawab Resti.

“Tapi aku tahu satu hal.”

“Apa?”

“Aku gak mau berhenti datang ke bangku ini. Selama kamu juga ada di sini.”

Resti tersenyum. “Bangku ini sudah mengikat kontrak sama kita, ya?”

“Mungkin nanti akan minta royalti,” timpal Arvin.

Mereka tertawa lagi.


Beberapa pegawai kantor melewati taman, menatap mereka dengan ekspresi campur aduk: iri, kagum, dan sedikit heran kenapa ada dua orang bisa basah-basahan tapi tetap terlihat seperti poster iklan teh rasa cinta.

Tapi mereka tak peduli.

Karena kadang, saat kamu duduk dengan orang yang tepat, semua hal terasa ringan. Bahkan beban hidup, hujan Senin pagi, dan pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan yang biasanya bikin insomnia.


Sore harinya, saat Resti kembali ke bangku itu sendirian (Arvin harus pulang lebih dulu karena adiknya nonton sinetron pakai TV-nya), ia menemukan sesuatu terselip di bawah papan bangku: sebuah catatan kecil.

Tulisan tangan Arvin. Tidak rapi, tapi jujur.

“Kalau suatu hari aku lupa cara bercerita, kamu cukup duduk di sini. Karena setiap cerita selalu dimulai dengan kamu. —A.”

Resti menatap tulisan itu, lalu langit, lalu bangku yang basah. Tapi dadanya hangat.

Ia tak tahu akan seperti apa kisah ini nanti. Tapi satu hal pasti: ia tidak sendiri.

Dan bangku kayu itu, entah bagaimana, berubah menjadi bagian dari takdir yang tak pernah ia duga.


 


Sinopsis

Resti, wanita muda yang cerdas dan tenang, tak pernah menyangka bahwa bangku taman belakang kantor bisa mengubah harinya. Di sanalah ia bertemu Arvin—pria dengan segudang kalimat tak terduga, penuh spontanitas dan tawa kecil yang menenangkan. Setiap pertemuan di bangku itu membawa mereka semakin dekat, menyusun cerita diam-diam yang tumbuh antara gerimis, secangkir kopi, dan kalimat-kalimat sederhana yang berarti banyak. Sebuah kisah romantis ringan, dibalut humor, penuh makna yang bisa membuat pembaca tersenyum dan merenung dalam waktu yang sama.


Kesimpulan

Cerpen Bangku Hari Senin bukan sekadar kisah cinta biasa. Ia mengajak pembaca untuk menyadari bahwa dalam hidup yang penuh kesibukan, kadang pertemuan sederhana di tempat yang tak terduga bisa menyulut cerita luar biasa. Dengan alur yang mengalir, tokoh yang hidup, dan humor yang tak dipaksakan, cerita ini membuat siapa pun yang membacanya betah berlama-lama. Karena kadang, kisah paling indah bukan yang kita rencanakan—melainkan yang datang tanpa sengaja, lalu menetap di hati.


© 2025 Cerpen Diono Pieter Rianto.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja

Cerpen Haru : Langkah di Lembah Fajar

Cerpen: Rahasia Serabi Daun Pisang: Kisah Misteri dari Dapur Jawa