Perempuan Penjaga Sungai: Kisah Laras dan Rusa Bertanduk Cahaya
"Di balik setiap aliran air, terdapat cerita yang menghubungkan kita dengan alam dan warisan yang harus kita jaga."
Di hutan sunyi, seorang perempuan muda menjaga air dan hutan dari kemarahan manusia. Cerpen ini mengisahkan hubungan suci antara Laras dan makhluk hutan, dalam suasana magis yang menggugah hati.
Matahari pagi menyusup di antara sela-sela pepohonan, menari di atas permukaan air sungai yang jernih. Kabut tipis masih menggantung rendah, menyelimuti hutan kecil yang terlupakan waktu itu. Di tepi aliran air yang tenang, seorang perempuan muda berlutut sambil mencelupkan kendi bening ke dalam sungai. Gaunnya sederhana, berwarna pucat tanah, dan rambutnya dikepang rapi lalu disampirkan ke bahu.
Namanya Laras. Ia tinggal seorang diri di gubuk kayu yang tersembunyi di balik semak pakis dan akar pohon beringin tua. Banyak yang bilang Laras bukan gadis biasa. Anak-anak desa menatapnya dengan rasa ingin tahu dan takut, karena konon ia bisa berbicara dengan binatang dan membuat tanaman tumbuh dengan bisikan lembutnya.
Namun pagi itu, ia tak sedang menanam atau bicara pada bunga. Ia mengisi kendinya, lalu menumpahkan sebagian airnya kembali ke sungai—gerakan yang tampak seperti ritual. Di hadapannya berdiri seekor rusa jantan dengan tanduk besar yang menjulang anggun. Tak ada rasa takut, tak ada keinginan untuk lari. Mereka seperti dua makhluk dari dunia yang sama, berdamai dalam sunyi.
Rusa itu menundukkan kepala pelan, dan Laras tersenyum tipis.
“Aku tahu kau haus, Doro,” bisiknya.
Rusa itu mendekat, dan Laras mengulurkan tangannya, membiarkan rusa itu menjilat air dari telapak tangannya seperti kucing jinak. Tidak ada yang luar biasa bagi Laras dalam momen itu, tapi bagi siapa pun yang mengintip dari balik semak, itu akan tampak seperti kisah dongeng.
Doro bukan sekadar rusa. Ia penjaga hutan. Konon, makhluk itu adalah titisan leluhur desa yang dikutuk untuk menjaga hutan dari kerakusan manusia. Ia hanya menampakkan diri pada mereka yang hatinya bening seperti aliran sungai.
Beberapa waktu lalu, desa di kaki gunung mulai resah. Sungai-sungai kecil mulai mengering, sawah-sawah retak seperti kulit tua. Banyak yang berkata bahwa alam sedang marah. Tapi para tetua tahu, ini adalah peringatan. Seseorang dari desa telah melanggar batas hutan—menebang pohon keramat yang sudah berdiri sebelum nenek moyang mereka lahir.
Laras mengetahuinya lebih awal dari siapa pun. Malam sebelum kemarau aneh itu dimulai, ia bermimpi. Dalam tidurnya, Doro datang dalam bentuk manusia tua berjubah hijau lumut dan berkata, “Tebing Utara telah dilukai. Air akan pergi jika luka tidak diobati.”
Keesokan harinya, Laras naik ke hutan dan menemukan pohon beringin besar telah tumbang. Bekas gergaji dan jejak kaki masih segar. Ia menangis bukan karena pohon itu telah tiada, tapi karena ia tahu, tak semua luka bisa disembuhkan hanya dengan air dan doa.
Setiap pagi setelah itu, Laras melakukan ritual kecil. Mengambil air dari sungai, menuangkannya kembali, seolah mengembalikan sesuatu yang pernah diambil. Ia tahu, air tidak hanya untuk diminum atau mengairi ladang. Air adalah roh, dan roh yang marah harus ditenangkan.
Desa mulai memperhatikan Laras lagi. Beberapa ibu datang padanya, meminta air untuk menyembuhkan anak-anak mereka yang demam. Dan anehnya, mereka sembuh. Tak lama, seorang petani tua datang dan memohon agar ladangnya diberkahi. Laras memberinya segenggam abu dari tungku dan menyuruhnya mencampur dengan air sungai. Dalam seminggu, ladangnya kembali hijau.
“Apa kau dukun?” tanya seorang anak kecil padanya suatu siang.
Laras hanya tersenyum. “Aku bukan dukun. Aku hanya mendengarkan apa yang dikatakan hutan.”
Namun tidak semua orang percaya pada kebaikan. Kepala desa, Pak Wiryo, seorang yang pragmatis, mulai merasa gelisah. Ia takut Laras mengumpulkan pengikut. Ia takut orang-orang lebih percaya pada perempuan muda yang hidup di hutan daripada pada pemimpin yang tinggal di rumah besar dengan genteng merah.
Suatu pagi, ketika kabut masih menggantung dan Doro baru saja pergi, dua orang lelaki dari desa datang membawa tombak. Mereka menuduh Laras menyimpan kekuatan gelap. Mereka menuntutnya kembali ke desa untuk diadili.
“Apa kesalahanku?” tanya Laras dengan tenang.
“Kau membuat orang percaya bahwa sungai ini milikmu! Kau membuat kami takut pada hutan!”
“Sungai ini bukan milikku. Tapi ia juga bukan milik siapa pun. Ia hidup, seperti aku, seperti kalian.”
Lelaki-lelaki itu tak mendengarkan. Mereka mendekat, siap menangkapnya. Tapi sebelum mereka menyentuh Laras, Doro muncul dari balik semak, matanya bersinar liar, tanduknya bersiap menusuk.
Lelaki-lelaki itu lari terbirit-birit, melemparkan tombak mereka ke tanah.
Sejak hari itu, tak ada lagi yang mengganggu Laras.
Musim pun berganti. Hujan kembali turun, pertama-tama rintik, lalu deras. Sungai yang tadinya tinggal seutas aliran tipis kini mengalir gagah. Sawah-sawah kembali menghijau, dan anak-anak kembali bermain lumpur. Tapi Laras tak kembali ke desa.
Ia tetap tinggal di hutan, merawat tanaman, mendengar bisikan air, dan berbicara pada Doro.
Namun, legenda tentangnya mulai beredar. Setiap anak yang lahir dibisikkan cerita tentang perempuan yang bisa membuat sungai kembali mengalir dengan air yang dituangkan kembali.
Tahun demi tahun berlalu. Laras menua perlahan, namun keteduhan wajahnya tak pernah pudar. Rusa-rusa lain mulai muncul, mengikuti Doro, dan seakan menganggap Laras sebagai bagian dari kawanan mereka.
Di suatu pagi yang bening, saat embun masih menempel di pucuk rumput, Laras kembali ke sungai seperti biasa. Ia membawa kendi beningnya, mengisi, lalu menuangkannya perlahan.
Namun kali ini, Doro tak datang.
Ia menunggu, lama. Tapi hanya angin yang menyapanya.
Ia menunduk, mencelupkan tangannya ke air, lalu menatap bayangannya.
“Waktuku hampir selesai,” gumamnya.
Tiga hari kemudian, seorang anak kecil dari desa mengikuti jejak rusa yang melintas sawah. Ia tiba di tepi sungai dan melihat kendi kosong berdiri sendiri di atas batu. Tak ada Laras. Tak ada suara.
Tapi aliran sungai tetap mengalir. Dan di tempat Laras biasa menuangkan air, tumbuh sekuntum bunga aneh berwarna keemasan, tak pernah terlihat sebelumnya. Anak itu memetiknya, membawanya pulang, dan sejak hari itu, air sumur di rumahnya menjadi jernih tak pernah keruh.
Dan sejak hari itu, orang-orang desa mulai mengajarkan anak-anak mereka untuk mencintai sungai, bicara pada pohon, dan menghormati hutan.
Sebab mereka tahu, Laras mungkin telah tiada, tapi roh sungai, roh air, dan roh kasih tak pernah benar-benar pergi.
Sinopsis
"Perempuan Penjaga Sungai" menceritakan kisah Laras, seorang perempuan yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kebersihan dan kelestarian sungai di desanya. Sungai bukan hanya sumber kehidupan bagi masyarakat, tetapi juga memiliki makna spiritual yang dalam. Dalam perjalanannya, Laras menghadapi berbagai tantangan, mulai dari pencemaran lingkungan hingga kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga sungai. Melalui ketekunan dan keberaniannya, Laras berusaha mengedukasi masyarakat dan menginspirasi generasi muda untuk mencintai dan melestarikan lingkungan mereka. Cerita ini menggambarkan kekuatan perempuan dalam menjaga alam dan budaya, serta pentingnya kolaborasi dalam menjaga warisan untuk masa depan.
Kesimpulan
"Perempuan Penjaga Sungai" adalah sebuah kisah yang mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya menjaga lingkungan dan menghargai sumber daya alam. Melalui karakter Laras, cerita ini menyoroti peran perempuan dalam pelestarian alam dan bagaimana satu individu dapat membuat perbedaan besar. Dengan pesan yang kuat tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan, cerita ini mengingatkan kita bahwa menjaga alam adalah tugas bersama yang harus dilakukan demi keberlangsungan hidup dan warisan budaya kita.
Komentar
Posting Komentar