Egrang
Permainan Egrang di Tengah Kehampaan
Di sebuah desa kecil yang terkurung oleh hutan rimbun, di mana sinar matahari hanya menyelinap melalui celah-celah dedaunan lebat, dua anak lelaki, Aji dan Raka, menyisir jalan setapak penuh kerikil menuju lapangan terbuka. Kehidupan di desa itu seolah terhenti dalam dekapan waktu. Rumah-rumah yang mulai keropos menghuni tanah yang subur, sementara langit biru yang suram menggambarkan harapan yang perlahan pudar.
Aji, yang berusia sepuluh tahun, dikenal dengan senyumnya yang cerah dan semangat yang tak pernah padam. Ia selalu melihat dunia dari sisi positif, berusaha mencari kebahagiaan meski dalam kesulitan. Sementara Raka, sahabatnya yang berumur sembilan tahun, lebih pendiam dan sering kali meragukan kemampuan dirinya sendiri. Meskipun begitu, ia memiliki ketekunan yang luar biasa; sekali ia menetapkan tujuan, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Hari itu, Aji dan Raka bertekad untuk membuat egrang dari bambu yang mereka temukan di pinggir hutan. Mereka memotong dan menggosok bambu hingga halus, dengan penuh rasa ingin tahu dan kegembiraan. Saat mereka membangun, tawa mereka mengisi udara, membangkitkan kenangan akan hari-hari yang hilang di tengah kepingan-kepingan masa lalu yang kelam.
“Coba kita lihat siapa yang bisa berjalan paling jauh!” Aji menantang, matanya bersinar.
“Baiklah! Tapi aku akan menang!” Raka menjawab dengan keyakinan yang menggetarkan, meskipun di hatinya, keraguan itu masih menyelinap.
Saat mereka mulai bermain, suara tawa seakan menggema di antara pepohonan. Namun, di pertengahan permainan, ketika Aji berusaha menunjukkan trik baru, kakinya terjerat. Ia jatuh, terinjak kayu yang belum sepenuhnya kering, dan terjatuh dengan keras. Raka melihat dengan panik, hatinya bergetar melihat sahabatnya terdiam.
“Aji! Kau baik-baik saja?” teriaknya, berlari menuju Aji yang tergeletak. Dalam sekejap, keceriaan itu berubah menjadi kepanikan. Aji mengerang kesakitan, merasa seolah dunia di sekitarnya runtuh.
Di sinilah titik balik bagi keduanya. Ketika Aji tampak kehilangan harapan, Raka mendapati bahwa ia harus menemukan keberanian dalam diri sendiri. Mengingat janji mereka untuk saling mendukung, ia menggenggam tangan sahabatnya, “Aji, bangkitlah! Kita bisa melalui ini bersama. Ingat, kita selalu bisa bermain egrang lagi!”
Perlahan, Aji mengambil nafas dalam. Ketika ia menggenggam tangan Raka, rasa sakit mulai surut digantikan oleh kekuatan tak terduga dari persahabatan mereka. “Iya, kita akan bermain lagi. Kali ini, kita akan lebih hati-hati,” Aji tersenyum meski air mata masih menggenang.
Beberapa hari kemudian, saat Aji mulai sembuh, mereka kembali ke lapangan dengan semangat baru. Kini, bukan hanya sekadar permainan; egrang mereka lambaian harapan untuk masa depan yang lebih cerah. Mereka sepakat untuk membangun lebih banyak egrang, berbagi pengetahuan dengan anak-anak lain, dan membuat sebuah pertandingan yang meriah.
Di tengah hutan yang rimbun, di bawah langit yang perlahan mulai cerah, Aji dan Raka berdiri berdua, berjanji akan terus melangkah meski jalanan terjal menanti. Desa kecil itu, meski terkurung dalam bayang-bayang kesedihan dan kesulitan, tidak akan menghapus tawa mereka.
Pelajaran Sejati
Seiring waktu berlalu, saat kehidupan terus berjalan dalam ritme monoton, Aji dan Raka menyadari bahwa persahabatan dan harapan adalah kekuatan yang selalu ada—di mana pun dan kapan pun. Mereka belajar bahwa meski egrang mungkin terjatuh, impian yang dibangun di atasnya tidak akan pernah padam.
Dengan semangat yang berkobar, mereka bersiap untuk petualangan selanjutnya—karena setiap langkah adalah kesempatan untuk menemukan kebahagiaan baru.
Komentar
Posting Komentar