Ladang Harapan
Embun pagi masih menggantung di ujung daun padi. Di tengah hamparan hijau itu, dua sosok tampak duduk bersisian di pematang sawah. Lelaki itu bertelanjang dada, kulitnya legam terbakar matahari, namun matanya teduh. Di sampingnya, seorang perempuan berwajah ramah mengenakan kain cokelat tua, dengan tudung caping menutupi rambutnya. Mereka berdua tengah menikmati sarapan sederhana: nasi bungkus berisi sambal teri dan tempe goreng yang masih hangat.
"Kalau nasi bungkus ini dijual di kota, pasti disebut ‘menu tradisional khas pedesaan’, harganya lima kali lipat," kata lelaki itu sambil tertawa.
Perempuan di sampingnya tersenyum lebar. "Tapi rasanya belum tentu seenak ini, Pak. Di kota, sambalnya pasti lebih banyak gaya daripada rasa."
Keduanya tertawa. Angin membawa aroma lumpur dan rumput basah, mengaduk kenangan lama di antara tawa mereka. Hari baru saja dimulai, tapi ada semacam kelegaan yang melingkupi udara. Mereka tahu, pekerjaan hari ini panjang, namun perbincangan kecil itu sudah cukup membuat semangat kembali tumbuh—seperti tunas padi yang baru menembus tanah.
Siang belum datang, tapi matahari sudah mulai menebar panasnya. Lelaki itu berdiri, menepuk celananya yang belepotan lumpur, sementara perempuan di sampingnya masih sibuk merapikan bungkus daun pisang bekas makan pagi. Ia menatap lelaki itu dan berkata, "Capingmu miring, nanti dikira padi yang berjalan."
Lelaki itu tertawa kecil. "Justru bagus, Bu. Biar burung-burung takut, dikira orang tinggi besar!"
Perempuan itu menggeleng sambil tersenyum, "Burungnya malah kasihan, kira-kira manusia tapi kok jalannya lambat sekali."
Mereka kembali ke petak sawah masing-masing. Sambil menanam bibit padi satu demi satu, lelaki itu melirik istrinya dari kejauhan. Ada sesuatu yang aneh pagi itu. Istrinya tampak sering tersenyum sendiri, seperti menyimpan rahasia kecil.
Setiap kali ia menatap, istrinya buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan lumpur.
"Ada apa, Bu? Dapat surat cinta dari belalang?" tanyanya setengah menggoda.
Perempuan itu tersenyum, menatap langit sebentar lalu menjawab pelan, "Nanti sore saya kasih tahu, kalau kau sanggup menebak dulu rahasianya."
Lelaki itu menatap bingung, namun matanya menyimpan rasa penasaran. Angin berembus lembut, dan rahasia itu pun ikut menari di antara rumpun padi muda.
Menjelang sore, sawah mulai redup diterpa cahaya keemasan. Lelaki itu duduk di pematang sambil mencuci kaki di air irigasi. Ia melirik istrinya yang masih sibuk mengikat bibit. "Sudah sore, Bu. Saatnya menepati janji. Tapi sebelum itu, biar saya tebak rahasiamu."
Perempuan itu berhenti bekerja, menatapnya dengan wajah penuh antusias. "Silakan, Tuan Detektif Sawah. Saya beri tiga kesempatan."
Lelaki itu menggaruk kepala yang tak gatal. "Pertama… hmm… kamu sembunyikan uang hasil jual gabah di bawah tikar."
Perempuan itu tergelak. "Kalau ada uangnya, pasti sudah saya belikan sandal baru buatmu, bukan tambalan karet itu."
"Baiklah," katanya sambil pura-pura serius. "Kedua, kamu mau pelihara bebek lagi?"
Perempuan itu menggeleng. "Tidak. Bebek yang dulu saja lebih suka jalan-jalan daripada bertelur."
Lelaki itu merenung, lalu menebak terakhir. "Ah! Kamu mau masak ikan nila malam ini!"
Perempuan itu tertawa sampai terbatuk. "Kau ini benar-benar… salah semua! Tapi bagus, tebakanmu sudah hampir menyentuh rahasianya."
Lelaki itu terdiam, mencoba membaca wajah istrinya. "Hampir menyentuh?" gumamnya.
Perempuan itu hanya tersenyum misterius. "Tunggu malam nanti. Kau akan tahu."
Sore pun kian senyap, hanya suara jangkrik yang tahu lebih dulu apa yang akan terjadi.
Malam turun perlahan di desa itu. Di rumah kecil berdinding anyaman bambu, aroma nasi hangat dan daun pisang yang baru disangrai menyebar ke udara. Lelaki itu duduk di bangku kayu, menatap dapur dengan sabar, meski perutnya sudah berlagu seperti kentongan ronda.
"Bu, kalau rahasiamu itu nasi goreng, aku janji akan pura-pura kaget," katanya sambil tertawa kecil.
Dari balik dapur terdengar suara perempuan itu terkekeh. "Bukan nasi goreng. Tapi sabar, sebentar lagi matang."
Tak lama kemudian, ia keluar membawa bungkusan daun pisang yang masih mengepul. "Nah, ini dia. Rahasia yang sejak pagi kutahan."
Lelaki itu membuka bungkusan itu perlahan, matanya langsung berbinar. Di dalamnya ada lemper isi ikan asap—makanan kesukaannya sejak muda.
"Lho, dari mana ikan asapnya? Bukankah belum musim panen di kolam?" tanyanya heran.
Perempuan itu tersenyum bangga. "Aku barter dengan Bu Sarti. Kuberi dua ikat daun kelor, dia kasih dua ekor ikan. Katanya, daun kelor bikin suaminya kuat nyangkul."
Lelaki itu tertawa terbahak. "Kalau begitu, besok kuberi dia satu karung daun kelor!"
Tawa mereka pecah di malam yang hangat. Namun di balik canda itu, perempuan itu menyembunyikan sesuatu—sesuatu yang lebih besar dari sekadar lemper ikan asap.
Pagi berikutnya, matahari muncul malu-malu di balik kabut. Lelaki itu bersiul kecil sambil memanggul cangkul, siap ke sawah lebih pagi dari biasanya. Namun sebelum ia melangkah keluar, istrinya memanggil pelan, "Tunggu sebentar, Pak. Saya ingin bilang sesuatu."
Nada suaranya lembut tapi terdengar agak ragu. Lelaki itu berhenti, menatapnya dengan senyum. "Wah, jangan-jangan ada rahasia baru lagi nih."
Perempuan itu menghela napas, lalu berkata, "Kemarin sore waktu menjemur padi di pinggir jalan, lewat truk besar dari kota. Sopirnya berhenti dan bertanya… apakah di desa ini ada yang bisa menyediakan sayur-sayuran segar untuk dibeli rutin."
Lelaki itu menaikkan alis. "Maksudnya, beli hasil kebun kita?"
Perempuan itu mengangguk. "Ya. Katanya, untuk restoran di kota. Kalau kita bisa kumpulkan sayur dari beberapa petak, mereka akan datang setiap minggu."
Lelaki itu terdiam sesaat, lalu tersenyum lebar. "Berarti mulai sekarang, kita bukan cuma petani padi, tapi juga petani ‘bisnis’."
Istrinya tertawa geli. "Tapi jangan dulu berangan jadi jutawan, Pak. Kita baru punya satu bedeng kangkung."
Namun di balik tawa itu, keduanya tahu: peluang kecil itu mungkin akan mengubah jalan hidup mereka.
Tiga minggu berlalu. Sawah mereka kini tampak berbeda—di salah satu sudutnya tumbuh deretan kangkung, bayam, dan cabai merah yang berjajar rapi seperti barisan murid di upacara. Lelaki itu menatap hasil kerja mereka dengan mata berbinar. "Siapa sangka, ya, sawah yang dulu cuma tempat lumpur kini jadi ladang harapan."
Perempuan di sampingnya tersenyum, menepuk pundaknya. "Itu karena kau rajin menyiram, bukan cuma menyiram janji."
Lelaki itu tergelak. "Kalau janji bisa tumbuh seperti cabai ini, mungkin sudah panen tiap hari."
Mereka berdua kembali bekerja sambil bercanda. Tak lama kemudian, sebuah truk putih berhenti di tepi jalan sawah—truk yang sama dengan yang disebut sang istri tempo hari. Seorang pria turun, menatap hasil tanam mereka dengan kagum. "Ini segar sekali. Kalau terus seperti ini, kami siap ambil rutin setiap minggu."
Setelah truk itu pergi, mereka berdiri lama di tepi pematang. Angin sore berhembus lembut membawa bau tanah dan daun muda. Lelaki itu berbisik pelan, "Kita mulai dari nasi bungkus di sawah, Bu. Sekarang, siapa tahu besok kita bisa jual sayur ke kota."
Perempuan itu tersenyum. "Asal jangan lupa, rahasia paling penting tetap sama: kerja dengan hati, dan makan tepat waktu."
Komentar
Posting Komentar